More

    “Tan Malaka, Sekali Lagi”

    Nama Tan Malaka sudah tidak asing lagi bagi sebagian kaum terpelajar maupun proletar. Ide dan gagasannya yang luar biasa, mewarnai perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam meraih kemerdekaan, tentu tidak semudah membuang sampah di sungai untuk sampai ke laut, perlu pengorbanan yang luar biasa untuk sampai pada titik itu. Pelarian demi pelarian dialami oleh Tan, bak buronan yang dianggap berbahaya oleh kolonial. Sekalipun demikian, saat kembali ke Indonesia, Tan Malaka terus melawan sampai akhir hayatnya.

    Surat Keputusan Presiden Nomor 53 pada tanggal 23 April 1963, Presiden Soekarno telah memberikan gelar pahlawan nasional kepada mendiang Tan Malaka. Tan Malaka adalah sosok penting dalam sejarah berdirinya negara Indonesia. Meski Presiden Soekarno telah menganugerahi gelar pahlawan nasional kepada dirinya, namun nama Tan Malaka seolah lenyap ketika rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto berkuasa. Hak-haknya sebagai pahlawan nasional tidak pernah dipenuhi. Namanya juga tidak pernah muncul dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Buku-buku karya lelaki kelahiran Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat, itu dicekal.

    Masih Seorang Minang

    Tampurung lenggang-lenggangkan

    Dibao urang ka suruaso.

    Anak dipangku kamanakan dibimbiang

    Urang kampuang di patenggangkan

    Jago Adat jan binaso.

    Pantun diatas menyiratkan bahwa tanggungjawab mulia seorang lelaki minang bukan hanya mendidik dan membimbing anak dan keponakan, tetapi juga memikirkan nasib orang-orang sekampung dan menjaga, serta memelihara adat dan budaya minang.

    - Advertisement -

    Konteks pemikiran Tan Malaka, memikirkan nasib orang-orang sekampung diperluas memikirkan pula nasib bangsanya. Pemikiran politik yang ditawarkan kepada bangsanya, sangat kental sekali pengaruh falsafah dan adat alam minang pada dirinya, terutama pada cara pengambilan keputusan yang berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana tercantung dalam peribahasa minang “Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena memufakat”.

    Selain adat minang, dalam pemikirannya sangat kental dengan Islam. Hal ini tak luput dari kewajiban setiap orang Minang untuk menjaga adat jangan sampai punah. Adat harus dijaga, karena adat Minang bersendikan syariat, syariat bersendikan Kitabullah, yang tidak lain adat harus bersendikan Al-Quran dan Hadist. Dalam bahasa Minang : “Adaik Basandi Syara, syara Basandi Kitabullah.

    Politik untuk Rakyat

    Tan Malaka, dalam meletakan konsepnya tentang politik selalu mengawali dengan pertanyaan. Bagaimana politik itu berguna untuk rakyat banyak?. Setelah mencermati perkembangan di berbagai Negara, baik hasil pengamatannya lewat media pers, buku dan menyaksikan langsung di Negara bersangkutan, seperti Inggris, dan Jerman, yang memilih sistem perwakilan (parlemen). Ternyata belum sepenuhnya rakyat berdaulat. Karena para wakil yang duduk dalam parlemen masih tetap dikendalikan para pemodal. Sebab itu, ia mengingatkan agar dalam memilih sistem “politik perwakilan” harus berhati-hati, sesuai dengan ruh yang menghidupi lembaga tersebut, yaitu “suara rakyat”. Ini yang kemudian menjadi lampu peringatan bagi Indonesia, yang memilih sistem politik perwakilan.

    Menurut Tan Malaka, Indonesia sendiri sudah mempunyai sebuah model. Ia menunjuk pada leluhur Minangkabau yang pernah diterapkan pada abad 14 sampai abad 16 yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi oleh Datuk Ketumenggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang.

    Konsep “Suara Rakyat” tercermin dari falsafah menjalankan kebijakan pemerintahan dalam adat minangkabau, yaitu “Rakyat beraja Penghulu; Penghulu beraja pada Mufakat; Mufakat beraja pada alur dan patut”. Jadi raja yang diakui lebih tinggi dari Penghulu sebagai wakil rakyat ialah kata mufakat. Kata mufakat mesti diperoleh dengan perundingan yang merdeka, tenang dan luas. Putusan yang diperoleh tiadalah takluk pada kata Raja atau Laskarnya, melainkan pada alur (logika) dan patut (keadilan). Alur dan patut merupakan “raja” tertinggi di Minangkabau pada masa Jaya Maharaja di Minangkabau masa silam, abad 14 abad 16. Menurut Tan Malaka, kearifan lokal ini dapat menjadi salah satu rujukan dalam pencarian suatu sistem politik bagi penyelenggaraan pemerintah Negara Indonesia Merdeka kelak.

    Surabaya, Nopember 1945 dia menyaksikan langsung bagaimana semangat perjuangan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan. Atas kejadian ini lah, tekadnya semakin membaja untuk merdeka 100% dari penjajahan mana pun. Dengan pemikiran ini, ia pun meyakini bahwa belum waktu Negara baru merdeka dibiarkan terkotak-kotak dalam partai-partai politik yang dipastikan bercamam-macam ideologi partai masing-masing. Atas situasi ini kemudian lahirnya pemikirannya tentang Persatuan Perjuangan.

    Di tengah-tengah partai yang sudah terlanjur menjamur, Tan Malaka dan kawan-kawannya berusaha menjawab situasi ini dengan mendirikan Persatuan Perjuangan (PP), semacam ‘front nasional’ untuk menyatukan kekuatan revolusioner dalam satu barusan. Upaya ini berhasil menyatukan 141 organisasi, partai, dan kelasakaran yang terpecah akibat maklumat Wakil Presiden 3 Nopember 1945.

    Ekonomi Kerakyatan

    Risalahnya dalam Gerilya Politik Ekonomi (GERPOLEK), ia membagi ke dalam dua musim situasi ekonomi. Pertama,  ‘musim jaya’ di mana keberhasilan rakyat merebut semua milik musuh ke tangan rakyat. Dan karenya rakyat berhank untuk membangunkan ekonomi atas kehendak sendiri, tenaga sendiri, dan bahan sendiri. tetapi hal itu sirna saat memasuki musim kedua ‘musim runtuh diplomasi’.

    Dalam konteks ekonomi bagi Negara yang baru merdeka ‘bayi republik’, dalam urusan ekonomi sangat diperlukan intervensi Negara. Perekonomian Indonesia harus diatur terencana tidak ‘anarkis’ seperti kapitalisme. Produksi harus diseimbangkan dengan pemakian, agar dihindari dari krisis ekonomi dan kompilasi sosial lainnya. Sebab itu, setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, dan untuk menjamin kehidupan ekonomi, maka perlu dilakukan nasionalisasi sumber-sumber ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak.

    Pandangannya tentang ekonomi, dimana Negara harus memberikan bantuan bagi kelompok usaha kecil baik moril maupun materiil. Hal ini untuk membatasi monopoli ekonomi, tidak ada batasan bagi kelompok manapun untuk membantu dalam urusan ekonomi, baik kaum murba maupun non-murba. Baginya, semangat revolusioner untuk menghapuskan imperalis lebih penitng, tetapi tidak untuk menghapus hak milik. Negara mempunyai peran untuk membentuk koperasi-koperasi yang menjadi miliki bersama.

    Program ekonomi bagi Tan, haruslah terencana dengan baik. Kalau pun harus melalui program di era hari ini, program itu harus menjadi ‘semen’ perekat bangsa Indonesia. Program itu harus terdistribusi sebagaimana mestinya, dan dalam rangka ini pula untuk mencoba menjawab kesenjangan ekonomi yang hari ini terjadi.

    Pendidikan untuk Anak Negeri

    Konsepnya mengenai pendidikan, lahir dari pengalama pahit saat ia mengajar di sekolah perkebunan tembakau Senembah Maatschappij di Deli, Sumatera. Selama mengajar dan bergaul, banyak pengalaman dan kenyataan bahwa anak negeri yang dianggap bodoh oleh orang-orang Belanda, tenyata mereka pandai. Bahkan, disatu momen, kepandaian mereka melebihi orang Belanda jika mereka mendapat pendidikan yang benar. Semisal, saat Tan bekerja di Tanjung Morawa kantor pusat Senembah Maatschappij saat seorang insinyur elektro (orang Belanda) tampak kebingungan saat mesin tak bisa jalan. Datanglah seorang Kario bekas kulit kontrak yg diangkat menjadi pegawai listrik. Sejenak saja dia menyusup setiap sendi mesin, sudah terdengar: cus..cus..cus tanda mesin sudah mulai hidup.

    Pengalamannya di Deli, kemudian melahirkan konsep Pendidikan Kerakyatan. Dalam pendidikan, Tan menerkannya pada tigal hal: Pertama, memberi senjata yang cukup buat mencair kehidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, membaca, menulis, ilmu bumi, bahasa asing, dan bahasa daerah); Kedua, memberi haknya terhadap murid-murid harus dengan jalan pergaulan; Ketiga, menunjukan kepada murid-murid akan kewajiban mereka memperhatikan pri-kehidupan berjuta-juta kaum ‘kromo’ atau rakyat jelata. Ketiga konsep ini kemudian ia praktekan di sekolah Sarekat Islam di Semarang, dan pada konsep inilah ia menyatakan tekadnya untuk menumbuhkan semangat perlawanan terhadap praktek kolonialisme, kapitalisme, dan eksploitasi melalui konsep pendidikan kerakyatan.  

    Mengikis Feodalisme

    Tan Malaka, dalam konteks ke-Indonesiaan, terdapat dua sistem yang membuat rakyat jelata tidak beranjak dari kemiskinan dan kebodohan, yaitu kolonialisme atau imperalisme dan feodalisme. Konkretnya, sistem tersebut membuat rakyat bersikap konservatif dan lunak terhadap kenyataan sosial. Ia menganggap feodalisme menghalangi orang berpikir bebas, kritis, dan dinamis. Sekalipun demikian, Tan menyadari bahwa tidak mudah mengubah paham mistik mayoritas masyarakat.

    Feodalisme tidak mengenal prinsip meritokrasi. Hal ini menjadi penghambat karena penunjukan seorang pemimpin dan memegang kekuasaan atas hidup orang banyak didasarkan pada pertalian darah dan keturunan, bukan pada kemampuan seseorang. Karenanya, bagi Tan, feodalisme semacam ini harus dikikis habis. Walaupun sulit, Tan mencoba mengikis praktek feodalisme melalui proses pendidikan yang dapat membangkitkan keyakinan untuk menjadi tuan atas nasibnya sendiri.

    Catatan Masa kini

    Globalisasi telah memberikan dampaknya positif maupun negatif bagi banyak Negara di dunia. Memahami budaya sebuah Negara hari ini tidak harus mengunjungi langsung, tetapi bisa menggunakan jaringan infomasi yang sudah semakin maju. Menjadi tantangan tersendiri, bagaimana kemudian mempertahankan budaya yang kiranya baik, yang kita dapatkan semasa kecil. Tan, yang berkelindan ke berbagai Negara terus mempertahankan apa yang ia dapatkan semasa kecil di Sumatera Barat.

    Memikirkan hajat hidup orang banyak, telah ia dapatkan dalam budaya minang, tetapi hal itu tidak hanya menolong warga sekampung saja, ia coba meluaskan itu untuk semua manusia di dunia. Bukan saja pada urusan politik, tetapi juga pada urusan ekonomi dengan kolektivitas. Hidup bersama, juga ia praktekan dalam pendidikan yang harus didapatkan oleh rakyat jelata, bukan saja rakyat kaya raya.

    Terkait feodalisme, senioritas dalam organisasi merupakan salah satu corak feodalisme yang hari ini masih ada. Belum lagi, kader karbitan dari partai yang di calonkan menjadi pemimpin suatu daerah tanpa kejelasan karir politiknya. Untuk mengikis ini, Tan menyiratkan pada konsep pendidikan agar berpikir kritis pada setiap fenomena kehidupan yang dihadapi. Pilihan demokrasi dalam sistem politik, harus di imbangi oleh rakyat yang berpikir rasional dalam memilih pemimpin. Hari ini, demokrasi mempunyai corak logika yang kuantitatif, dan karenanya harus dipastikan bahwa orang banyak memilih pemimpin atas prestasi, kemampuan, dan kualitas dalam memimpin hajat hidup orang banyak.   

    Selamat Haul Tan, Maaf telat!

    (21 Februari 2020-Kepulangan Tan)

    Penulis: Try Adhi Bangsawananggota Geostrategy Study Club (GSC).

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here