JAKARTA, KabarKampus – Pengadilan Tata Usaha Negara memutuskan Kementerian Kominfo dan Presiden Jokowi bersalah atas pemutusan internet di Papua dan Papua Barat pada bulan Agustus dan September 2019 lalu. Hakim memutuskan perbuatan pemerintah tersebut melanggar hukum dan mengharuskan tergugat membayar biaya perkara.
Gugatan ini diajukan oleh Tim Pembela Kebebaasan Pers yang terdiri dari AJI Indonesia, SAFEnet, LBH Pers, YLBHI, KontraS, Elsam dan ICJR. Putusan ini dibacakan oleh Hakim ketua Nelvy Christin SH MH, hakim anggota Baiq Yuliani SH, dan Indah Mayasari SH MH dalam sidang di PTUN Jakarta, Rabu, (03/05/2020).
Dalam sidang tersebut hakim menyatakan menghukum para tergugat untuk menghentikan dan tidak mengulangi seluruh perbuatan atau tindakan perlambatan atau pemutusan internet di seluruh Indonesia. Hakim juga menghukum tergugat untuk meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Papua dan tanggung renteng di tiga media cetak nasional. Permintaan maaf kepada seluruh pekerja pers dan 6 stasiun televisi maksimal 1 bulan setelah putusan. Penyiaran pada 3 stasiun radio selama satu minggu.
Menurut Muhammad Isnur, Tim Kuasa Hukum Penggugat, dalam sidang tersebut, Kemkominfo dan Presiden RI menyatakan gugatan yang diajukan organisasi masyarakat sipil ini kedaluwarsa, tidak memliki legal standing, obscure libel dan error in persona atau salah pihak. Namun Majelis hakim dalam keputusannya menyimpulkan, gugatan yang diajukan AJI dan SAFENet ini masih dalam tenggang waktu.
“Kedua lembaga juga dinilai memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan dengan mekanisme gugatan legal standing. Hakim juga menyatakan gugatannya jelas atau tidak kabur. Soal gugatan terhadap Presiden RI, kata Hakim, bukan merupakan error in persona. Presiden dinilai bisa digugat karena tidak melakukan kontrol dan koreksi terhadap bawahannya dalam pelambatan dan pemblokiran internet ini,” kata Isnur, Rabu, (03/06/2020).
Dalam putusan tersebut Majelis hakim menilai tindakan pemutusan akses internet ini menyalahi sejumlah ketentuan perundang-undangan. Antara lain, Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menjadi dasar hukum Kemenkominfo memperlambat dan memblokir internet. Majelis hakim juga menilai, kewenangan yang diberikan dalam pasal tersebut hanya pada pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik melakukan pemutusan akses terhadap terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang “bermuatan melawan hukum”.
“Pemaknaan pembatasan hak atas internet yang dirumuskan dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE hanya terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum dan tidak mencakup pemutusan akses jaringan internet,” kata majelis hakim dalam putusannya.
Selain itu, majelis hakim juga menyatakan, alasan diskresi yang digunakan Kemkominfo untuk memperlambat dan memblokir internet dinilai tidak memenuhi syarat sesuai diatur dalam Undang Undang Administrasi Pemerintah 30/2014. Pengaturan diskresi dalam UU Administrasi adalah satu kesatuan secara komulatif, bukan alternatif, yakni untuk; melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; mengisi kekosongan hukum; memberikan kepastian hukum; dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Hakim juga menilai alasan Kemenkominfo menggunakan diskresi karena kekosongan hukum, juga tidak tepat. Sebab, dalam kebijakan yang sifatnya membatasi HAM seperti dalam pembatasan pemblokiran internet ini hanya dibolehkan dengan undang-undang, bukan dengan aturan hukum lebih rendah dari itu. Sebenarnya ada ada undang-undang yang bisa dipakai sebagai dasar untuk melakukan pembatasan hak, yaitu Undang Undang tentang Keadaan Bahaya. Namun pemerintah tidak menggunakan undang-undang tersebut dalam menangani penyebaran informasi hoaks dalam kasus Papua ini. Hakim juga menilai pemutusan akses internet tidak sesuai dengan pengaturan pembatasan HAM yang diatur dalam Konstitusi dan sejumlah kovensi hak asasi manusia lainnya.
Atas putusan tersebut, Isnur mengapresisasi putusan hakim PTUN ini karena banyak menjadikan pertimbangan hak asasi manusia dalam pertimbangannya. Dengan putusan PTUN Jakarta yang menyatakan pelambatan dan pemblokiran internet ini sebagai Perbuatan Melanggar Hukum, juga membuka kemungkinan bagi pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan itu untuk menggugat dan meminta ganti rugi.
“Tentu setelah berkekuatan hukum tetap,” kata dia.
Perlambatan dan kemudian pemutusan internet itu dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi setelah terjadi kerusuhan di Papua, Agustus – September 2019 lalu. Peristiwa itu dipicu oleh adanya tindakan rasis dan kekerasan terhadap mahasiswa Papua antara lain di Malang, 15 Agustus 2019, di Surabaya pada 16 Agustus 2019. Dengan dalih mencegah tersebarnya informasi palsu, Kemenkominfo memperlambat dan kemudian memblokir internet di Papua.[]