Berikut adalah beberapa puisi karya Goenawan Mohamad, yang dikutip dari kumpulan puisi “Don Quixote”, diterbitkan oleh Tempo, 2011. Kisah tentang Don Quixote ini merupakan sebuah parodi tentang kepahlawanan, ironi untuk model heroisme Amadis–seorang kesatria yang dianggap oleh Don Quixote sebagai citra kepahlawanan yang wajib diikuti dan dicintai dengan seluruh hidupnya.
Mungkin kita tertawa membayangkan fantasi konyol Don Quixote tentang apa yang ia anggap sebagai tindakan kesatria. Tetapi, bisa jadi, tanpa kita sadari sesungguhnya kita tengah menertawakan diri kita sendiri, atau, mungkin, sejarah bangsa ini:
Begitu sang penyair, Goenawan Mohamad, mencoba menafsir ulang kisah satir abad pertengahan ini, kisah Don Quixote, di dalam satu puisinya yang berjudul “Justru”.
Don Quixote, tokoh utama dalam novel satir karya sastrawan Spanyol Miguel de Cervantes (1547–1616), adalah tokoh yang dikenal karikaturis dan konyol sekaligus mengharukan tersebab menjadi “korban” dari utopia heroiknya sendiri. “Siapa yang ingin berjuang di bawah panji cinta dan kepahlawanan, ia harus meniru Amadis,” kata Don Quixote dalam salah satu adegan di novel Cervantes . “Maka Sancho sahabatku, aku berpendapat, siapa saja yang mampu meneladani Amadis dengan sempurna, ia akan dekat sekali pada kepahlawanan yang sempurna.”
Mimpi tentang pemujaan heroisme begitu, mungkin juga hegemoni itu (atau kau bisa menggantinya dengan kata apa saja yang menjadi ideal–bisa sosok atau ideologi atau wacana–kepahlawananmu), tak akan pernah berakhir sampai kita sendiri bertindak untuk mengakhirinya. Tetapi, siapa yang mampu mengakhiri “mampi manis” itu?
Mungkin, hegemoni itu “justru” telah menjadi ideal kita yang lain, heroisme yang lain, identitas kita sendiri, sesuatu yang kita tenung agar tak bisa retak dan terus mencoba abadi, terus berpura-pura bahagia, terus berpura-pura semuanya baik-baik saja dan sudah semestinya, di dalam pikiran kita. Jika Don Quixote versi Goenawan Mohamad berupaya mati-matian untuk terjaga, maka Don Quixote versi kita mungkin justru tengah nyaman berfantasi sebagai seorang ksatria yang tengah menertawakan Don Quixote melankolik versi puitik dan menganggap upayanya untuk terjaga hanyalah melanjutkan kekonyolan Don Quixote versi Cervantes.
Jadi, Don Quixote versi manakah yang sebenarnya mesti ditertawakan atau, “justru”, mesti ditangisi di dalam untaian kata-kata puitik itu? Mungkin kita mesti menjawabnya di dalam lubuk hati nurani kita sendiri, seperti Don Quixote versi puitik yang tengah merenungkan seluruh perjalanan heroiknya, atau pengembaraan konyolnya, di dalam sunyi: “Jika kepahlawanan itu hanya soal memilih musuh dan menciptakan lawan, maka siapakah musuh kami, Don Quixote? Siapakah lawan yang mesti kami taklukkan agar kami dapat menjadi seperti Amadis, kesatria dalam buku yang kaupuja itu? Siapakah kami, Don Quixote?”
Bersambung ke halaman selanjutnya –>