Proyek filsafat Gadamer, seperti yang dijelaskan dalam “Kebenaran and Metode” (1960), adalah untuk menguraikan konsep “hermeneutika filosofis”, seperti yang diuraikan sebelumnya secara sekilas oleh Martin Heidegger di dalam buku “Ada dan Waktu”. Gadamer berargumen bahwa pendekatan hermeneutika filosofis bisa membuktikan perbedaan antara motode ilmu-ilmu humaniora dengan ilmu-ilmu alam. Perbedaan metode ini menentukan pula “kebenaran” yang akan didapat di dalam kerja menafsirkan satu teks. Gadamer sangat dipengaruhi oleh metode filsafat fenomenologi Edmund Husserl, khususnya dengan konsep “intensionalitas’. Mengetahui, menurut Husserl, adalah mengetahui tentang sesuatu, dan itu berarti keluar dari konsep diri tertutup yang mengetahui (solipstik), meski yang hendak diketahui itu adalah diri sendiri. Metode intensionalitas ini mencoba melawan dominasi epsitemologi solipsitik Kantian. Pemikiran dari Husserl ini kemudian amat memengaruhi pemikiran filsafat modern seperti pemikiran para filsuf eksistensialisme, pemikiran filsafat ontologi Heidegger, pemikiran hermeneutik Gadamer, hingga pemikiran “new left” dari Jurgen Habermas.
Yang perlu dipahami dengan baik oleh kita saat ini bahwa metode fenomenologi itu menolak pandangan monistik subjektivitas maupun objektivitas, juga menolak pandangan dualistik dari Rene Descartes. “Intensionalitas” dalam metode fenomenologi adalah “proses”. Begitu juga, menurut saya, metode “komunikasi intersubjektif” dalam filsafat heremenutika Gadamer. Hal ini membawa kepada konskuensi logis bahwa metode interpretasi Gadamer mengakui kebenaran pluralistik. Salah memahami hal ini, maka salah pula menafsirkan konsep “hermeneutika filosofis” dari Gadamer. Itu sebabnya penting bagi kita untuk memahami sejarah epistemologi, sebelum mencoba menerapkan metode interpretasi hermeneutika Gadamer dan atau yang lainnya ke dalam sebuah teks. Filsafat tanpa logika, tanpa epistemologi, tak ada bedanya dengan “klenik”–dalam arti tak bisa diuji oleh pihak lain yang berkompeten dan tak bisa dipertanggungjawabkan oleh pihak yang berargumen.
Berikut saya beri contoh satu puisi yang menggunakan ekspresi bahasa sederhana karya Matsuo Basho. Namun, kesederhanaan ekspresi bahasa itu tak berarti Anda bisa dengan mudah “memahami” maknanya. Kebermaknaan haiku Basho ini tergantung pada kesadaran dan pengalaman dari masing-masing pembacanya. Bila pembaca haiku ini hanya memiliki pemahaman dan pengalaman “anak remaja”, maka puisi ini hanya akan dimaknai sebagai soal “aku lirik yang kangen”. Sebaliknya bagi mereka yang memiliki kesadaran dan pengalaman spiritual Zen, maka haiku Basho ini merupakan ekspresi satori (pencerahan) dari Basho. Kedua interpretasi itu benar, namun bukan berarti pemahaman kedua orang yang menginterpretasikan itu setara nilainya. Pemahaman yang satu mungkin jauh dari nilai estetika puisi Basho ini, sedangkan pemahaman yang lain mungkin mendekati nilai estetika puisi Basho. Begini lengkapnya saya kutip haiku Basho dimaksud (baik dalam versi bahasa Jepang, terjemahan bahasa Inggris, maupun terjemahan bahasa Indonesia):
Di Kyoto—
mendengar kicau kedasih,
aku rindu Kyoto.
京にても 京なつかしや 時鳥
In Kyoto,
hearing the cuckoo,
I long for Kyoto.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>