*
Dalam pembacaan saya, ditinjau dari aspek pendalaman tematik, puisi-puisi Ari Pahala Hutabarat pada kumpulan ini berupaya keluar dari jerat narasi-narasi besar yang telah menghagemoni mayoritas pemikiran manusia selama berabad-abad. Narasi-narasi besar itu dibentuk oleh semacam epistemologi (atau episteme) yang berusaha mengunci setiap kepastian di dalamnya. Semua ketakpastian harus keluar dari ruang epistemilogis. Namun, Ari justru melihat bahwa semua itu tidaklah pasti, ada semacam kegamangan yang samar-samar dalam narasi-narasi besar itu, yang terus mengikuti umpama bayang-bayang tubuh kita, semacam makna yang minta ditunda. Di dalam puisi berjudul “Epistemologi”, puisi pembuka kumpulan ini, Ari mencoba memainkan wacana perihal ketakpastian dalam cara berpikir manusia, begini ditulisnya dalam paragraf kedua puisi itu:
“di muka cermin ia berdiri. menatap tatapannya. tersenyum & yakin bahwa ia memang ada. kemudian ia melangkah, masuk ke cermin. kaki kanannya dahulu, dahinya dahulu. setelah itu sekujur tubuhnya. di dalam cermin, ia menatap sosok yang tadi menatapnya. “pada akhirnya, aku bisa bertanya, siapakah yang kufur, yang berdiri di luar cermin atau yang berdiri di dalam cermin,” ujarnya. sejak itu ia takzim pada segala sesuatu yang berwarna putih. lalu—”
“Siapakah yang kufur?” Begitu sang narator (subjek lirik) di dalam puisi itu bertanya kepada dirinya sendiri. Ketika ia “menatap tatapannya”, sesungguhnya ia pun tengah menatap pikirannya sendiri, narasi-narasi besar dalam pikirannya itu, seperti ketika ia menatap bayangan sosoknya sendiri di cermin. Teknik ini, di dalam tradisi spirtualitas modern yang dikembangkan oleh Jiddu Krishnamurti (1895 – 1986) disebut “dua anak panah”. Pikiran yang biasa mengarahkan mata panahnya keluar pikiran, kini diarahkan kepada pikiran itu sendiri. Ini memungkinkan semacam “kekufuran” terhadap kepastian rigourus epistemologis. Pikiran yang melihat pikiran itu mulai menunda kepastian pemaknaan, semacam jeda, atas sesuatu yang kita kenal, yang kita ketahui atau kita anggap kita ketahui selama ini. Kita pun mulai memasuki dunia yang tak kita kenal, dunia yang selalu baru, yang terus-menerus memikat kita dalam ketakpastian pemaknaan. Begitulah, sang subjek di dalam puisi–puisi Ari memasuki dunia delogosentrisme, dunia yang tanpa pusat—yang juga bisa ditafsirkan sebagai memiliki pusat di mana-mana, sekaligus tak di mana-mana.
Namun, kenapa mesti ada delogosentrisme? Kenapa kita mesti memilih ketakpastian yang mungkin membuat kita sangat tidak nyaman itu, bila kita bisa memilih kepastian dalam epistemologi tertentu? Apa untungnya pilihan itu? Ari mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan satu puisi yang jujur, semacam “pemurtadan” yang lain terhadap janji kepastian epistemologis, di dalam satu puisi pendeknya berikut ini:
ADAM
aku cuma pesulap
yang tertipu oleh sulapanku sendiri
Adam di dalam puisi Ari di atas, bukan lagi sosok nabi atau manusia pertama dalam kitab suci, juga bukan sosok sedih yang terlempar dari surga pada puisi Sapardi Djoko Damono, tetapi satu sosok yang mengakui sulapan epistemologis di dalam pikirannya sendiri, satu tipuan yang menyamankan, satu “hoax” yang membuat kita merasa yakin, merasa beriman, meski sebenarnya itu cuma ilusi pikiran belaka. Adam telah kufur, telah murtad, dari ilusi kepastian dalam pikirannya sendiri. Lalu, apa untungnya kesadaran begitu bagi Adam?
Perihal keuntungan atau kemanfaatan dalam epistemologi itu bukanlah sesuatu yang baru. Hal begitu telah menjadi dasar dari logika pragmatisme sejak abad ke-19. Prinsip kebenaran pragmatis pertama kali diperkenalkan ke publik oleh Charles Sanders Peirce lewat satu esainya yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Esai ini terbit pertama kali dalam majalah “Popular Science Monthly” pada tanggal 12 January 1878. Teori kebenaran pragmatis berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal, atau sosial. Benar atau tidaknya suatu teori tergantung pada berfaedah atau tidaknya teori tersebut bagi kehidupan praktis manusia. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan sehari-hari, dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”. Bagi mereka ukuran kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan (effect). Sehingga dapatlah dikatakan pragmatisme tiada lain suatu aliran pemikiran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah segala yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Artinya, semakin banyak orang yang menyatakan suatu ide itu berguna, maka ide akan semakin jelas, semakin bermakna, dan berarti benar. Untuk lebih jelas, baca kutipan dari esai “How to Make Our Ideas Clear” karya Charles S. Peirce berikut ini:
“Consider what effects, that might conceivably have practical bearings, we conceive the object of our conception to have. Then, our conception of these effects is the whole of our conception of the object.” 2)
Memadukan antara logika, matematika, dan topologi merupakan salah satu cara pembuktikan Peirce dalam esai “How to Make Our Ideas Clear”. Teori kebenaran pragmatis dari Peirce juga berkonsekuensi terhadap pembelaan atas darwinisme epistemologis yang menerima pandangan bahwa sejarah ide adalah sejarah dari ide para pemenang (dalam jumlah para pendukungnya), sementara ide dari yang kalah langsung dianggap salah. Benarkah demikian?
Saya pernah membuktikan dalam salah satu esai saya yang lain bahwa argumen konsekuensi pragmatis dari Charles Sanders Peirce belum tentu benar. Begini pembuktian saya itu:
Bagaimana Anda bisa membuktikan pernyataan deklaratif (proposisi) benar atau salah, bila subyeknya tidak diketahui atau tidak bisa diidentifikasi dengan jelas? Jawab: gunakan kalkulus predikat atau biasa dikenal juga sebagai logika predikat. Misalnya pada proposisi berikut ini:
“Ada seorang ibu bagi semua manusia di bumi.”
Bila menggunakan kalkulus predikat, proposisi di atas akan ditulis sebagai berikut:
Diketahui:
S = Semesta pembicaraan adalah semua manusia di bumi saat ini.
x = Ibu
y = Anak-anak dari x
z = Manusia di bumi
⇒ = Implikasi (maka)
∀ = Kuantor universal (semua)
∃ = Kuantor eksistensial (beberapa atau satu hal)
Proposisi:
M(x,y) = x melahirkan y
P(y,z) = y adalah z
T(x,z) = x melahirkan z
Maka, proposisi kalkulus predikatnya dapat ditulis begini:
(∃x) (∀y) (∀z) ((M(x, y) ⇒ P(y, z))
atau
(∃x) (∀z) T(x,z)
Pembuktian Proposisi:
1. Proof (bukti) Menggunakan Kalkulus Predikat
Bila Anda hendak membuktikan proposisi di atas dengan menggunakan kalkulus predikat, maka Anda mesti mencari keberadaan “seorang ibu” (∃x) yang melahirkan semua anaknya (∀y) dan semua anaknya itu adalah “semua manusia di bumi” (∀z) pada saat ini (S). Dengan kata lain: “x adalah ibu dari semua manusia di bumi” atau bila hendak ditulis dalam proposisi kalkulus predikat akan menjadi (∃x) (∀z) T(x,z). Proposisi kalkulus predikat tersebut terbukti salah karena tak ada seorang pun ibu atau (∃x) yang akan menyebabkan fungsi T(x,z) benar pada semua z di dalam semesta pembicaraan (S).
2. Proof (bukti) Menggunakan Logika Proposisional
Pada proposisi majemuk M(x, y) ⇒ Z(y, z), hipotesis Z selalu terbukti salah, karena tidak benar anak-anak dari x adalah semua manusia di bumi saat ini. Di dalam prinsip koherensi teoritik pada tabel kebenaran dari logika proposisional, sebuah proposisi majemuk yang menggunakan operator implikasi akan terbukti salah bila dan hanya bila konsekuennya (akibat atau efek) terbukti salah.
Begitulah saya membuktikan bahwa logika konsekuensi pragmatik dari Charles Sanders Peirce bisa keliru, bahwa “satu ide yang membawa akibat atau manfaat bagi orang banyak, belum tentu benar.” Dengan kata lain, ide yang disepakati oleh mayoritas penerima manfaat, yang populer, belum tentu benar.
Problem sosial akan benar-benar menjadi absurd ketika sebuah patafora (yang berakar pada metafora, bukan realitas indrawi atau material), tiba-tiba bisa menyebabkan konflik dari masa ke masa—menyebabkan peperangan dan genosida. Ketika Charles Sanders Peirce, termasuk para pemikir aliran pragmatis sesudahnya, mencoba mencari landasan logis bagi keberadaan seluruh imajinasi (patafora) dari “sistem keyakinan” manusia tidak di dalam realita yang bisa diverifikasi (teori korespondensi) dan tidak juga di dalam teori koherensi, tetapi di dalam konsekuen dari satu implikasi logis, dari akibat yang berguna bagi banyak orang, maka yang terjadi kemudian adalah penyangkalan terhadap teori korespondensi dan koherensi. Saya pikir itu adalah satu kekonyolan yang mungkin tak diduga oleh Charles Sanders Peirce sebagai bapak filsafat pragmatisme sendiri. Misalnya, sebuah gagasan terkait kebijakan politik genosida atau proxy war di satu negara Asia Tenggara atau Afrika atau Timur Tengah bisa dibenarkan asalkan dapat memberi manfaat bagi mayoritas rakyat di Amerika Serikat.
Akibat (konsekuen) dari satu proposisi yang menggunakan operator implikasi lebih merupakan sebuah hipotesis yang mesti dibuktikan kebenarannya dengan uji prinsip-prinsip korespondensi. Jadi, menurut saya, agak aneh ketika Charles Sanders Peirce justru menggunakan “efek” dari satu ide sebagai landasan bagi kebenaran ide tersebut. Sebuah patafora, di dalam kriteria kebenaran pragmatis dapat menjadi kebenaran jika dan hanya jika memberi manfaat kepada banyak orang, tetapi ketika tak lagi memberikan manfaat, malah menjadi mudarat, maka kebenaran dari patafora itu pun berubah menjadi kesalahan.
Kebenaran satu ide yang diukur dari kemanfaatan populisnya terkadang bisa menjadi satu gagasan konyol. Jika genosida adalah satu fakta peristiwa yang bisa diuji kebenarannya dalam konteks teori korespondensi, maka dalam konteks pragmatik ide genosida bisa diubah menjadi berkah dengan sebuah rekayasa anteseden (sebab), misalnya dengan menyebarkan isu bahwa kaum yang akan atau telah dibantai itu adalah kaum yang akan membantai kaum mayoritas sehingga kaum mayoritas yang tidak tahu fakta sebenarnya bisa menerima genosida tersebut sebagai tindakan atau gagasan logis, karena akibat (konsekuen) dari genosida tersebut akan menyelamatkan kehidupan kaum mayoritas.
Klaim kemanfaatan satu ide terhadap mayoritas dalam pragmatisme juga lebih merupakan sebuah patafora, ketimbang sebuah fakta atau kasus umum. Sebuah survey politik, misalnya, lebih merupakan sebuah landasan imajinatif bagi para politisi untuk melakukan tindakan politik, ketimbang sebuah pertimbangan teoritik atau faktawi yang bisa diuji secara logis.
Perihal yang hendak digugat oleh Ari di dalam kumpulan “Rekaman Terakhir Beckett” adalah soal “kepastian pemaknaan kebenaran”, yang kemudian bertransformasi menjadi logika instrumental, menjadi sekadar kebergunaan, dan mengabaikan aspek kriteria kebenaran lainnya. Pemusatan itu, logosentrisme itu, yang berakar pada fonosentrisme, pada ilusi kemurnian dalam kelisanan, telah menyeret epistemologi manusia kepada penyederhanaan pragmatik: “Saya berguna, maka saya benar.”
Dengan licin Ari kemudian menggunakan penyederhanaan pragmatik itu menjadi semacam permainan bahasa di dalam puisi-puisinya. Tema-tema besar itu dijungkirbalikkan menjadi tema-tema kecil. Mitos-mitos agung dilucuti kepastian enigmatiknya, menjadi sekadar peristiwa biasa, peristiwa sehari-hari, peristiwa di mana tetes air mata dan gelak tawa bisa hadir tanpa mesti menjadi semacam noda atas kesucian narasi. Batasan-batasan temporal dalam waktu juga bisa hadir saling memasuki: masa lalu tiba-tiba menyusup pada masa kini, masa kini berbiak dalam masa lalu, lalu masa depan pun bisa hadir dalam masa kini dan masa lalu. Dunia jungkir balik dari penanda dihadirkan oleh Ari untuk membuat kita menyadari bahwa semua itu hanya sulapan yang dibuat Adam, aspek manusiawi di dalam diri kita, demi membuat dirinya nyaman oleh ilusi kepastian. Ketika ilusi kepastian itu disaksikan sendiri oleh Adam di dalam pikirannya, maka penudaan pemaknaan pun hadir. Penundaan itu memungkinkan kita untuk benar-benar melihat realitas yang dibangun oleh instrumen epsitemologis: kepastian yang goyah, yang mungkin juga telah lama runtuh, tetapi terus kita pertahankan dalam ilusi kekukuhan yang stabil. Dengan indah sekali Ari mendiskripsikan perihal di atas ke dalam paragraf pertama puisinya yang berjudul “Buku Tuan Borges” seperti berikut ini:
“aku mencari sebuah muasal huruf yang mungkin bersembunyi di antara derau kata, frase, & klausa. aku mencari sebuah nama yang dulu mungkin sekali pernah kudengar di antara banyak nama yang akhir-akhir ini sering kau cerca. aku mencari sebongkah dingin di jantung bara api. aku mencari suara riang di sela-sela deru tank & dentuman meriam. mungkin saja, apa yang kucari itu pernah pula kau menerkanya.”
Bila hendak diringkas sari dari epistemologi modern itu, maka akan berbentuk pernyataan berikut ini: “p ∧ – p adalah sebuah bentuk kontradiksi, tetapi p ∨ – p adalah sebuah tautologi.” Kontradiksi berarti argumen atau proposisi adalah salah, sedangkan tautologi berarti argumen atau proposisi adalah benar. Epistemologi saat ini tidak bisa menerima kontradiksi sebagai sebuah argumen atau proposisi yang valid. Namun, seni—khususnya seni modern atau kontemporer—sejak awal abad ke-20 sudah dapat menerima kontradiksi sebagai sebuah prinsip seni yang valid dengan munculnya konsep jukstaposisi (menyejajarkan dua hal yang bertentangan dalam ruang-waktu yang sama). Apakah proposisi yang bersandarkan pada properti kebenaran seperti prinsip korespondensi, koherensi, dan atau pragmatisme itu selalu lebih benar daripada jukstaposisi?
Seluruh basis dari epistemologi modern dibangun oleh tautologi-biner: benar atau salah, tak ada jalan tengah. Ini jelas sebuah sistem yang tertutup, sebuah sistem apriori yang menolak relasi dengan sistem lainnya. Karena itulah epistemologi modern tak bisa melogikakan sebuah sistem terbuka atau sistem khaotik yang unsur-unsur dan relasi di dalam sistem itu lebih dari dua variabel. Epistemologi modern adalah sebuah model yang jauh dari fakta dan atau pengalaman manusia—sebuah model epistemologi yang justru melanggar prinsip fundamental dari epistemologi modern itu sendiri, yaitu: prinsip korespondensi. Bayangkan, jika dunia ini semata-mata diisi oleh Anda dan saya. Tak ada apa pun kecuali Anda dan saya. Jika Anda ada, maka saya harus tiada—begitu sebaliknya. Dan kebermaknaan dari tautologi-biner itu selalu monistik: Anda dan saya tidak bisa keduanya benar, hanya ada satu kebenaran yang benar, jika saya benar maka Anda harus tidak benar. Hanya ada Anda dan saya—dia, orang ketiga itu, dianggap tak pernah ada. Tak pernah ada relasi untuk tiga hal, dan karenanya tak ada kebenaran kedua atau ketiga dan seterusnya, hanya ada satu kebenaran. Model tautologi-biner dari epistemologi modern, jika ditinjau dalam konteks pengalaman dan fakta sehari-hari, justru adalah “argumentum ad absurdum” itu sendiri.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>