Suatu ketika, sekira tahun 2012 lalu, lupa saya tepatnya, saya tergerak menampilkan satu puisi Afrizal Malna yang dimuat di Koran Kompas Minggu dalam satu catatan di FB saya. Puisi itu dipersembahkan bagi GM (Goenawan Mohamad). Seperti lazimnya para apresian sastra kala itu, saya pun latah memuji puisi Afrizal Malna itu dengan kata “keren”. Lalu, seorang sahabat saya memberi komentar dalam catatan FB saya itu: “Apanya yang keren? Dalam aspek apa puisi Afrizal itu dibilang keren? Dan, kenapa satu puisi bisa jadi keren?” Pertanyaan-pertanyaan itu menyentak saya. Ya, apa musabab sebuah puisi bisa dibilang “keren”, bisa jadi indah, bisa disebut sebagai karya sastra? Pertanyaan-pertanyaan itu benar-benar mengganggu saya, dan saya tak tahu mesti bertanya kepada siapa. Sahabat saya tercinta itu juga tak mau menjawabnya. Ia membiarkan saya mencari sendiri jawabannya.
Lalu, saya pun bertekad untuk mencari jawabannya tidak dengan bertanya langsung kepada satu tokoh sastra, tetapi dengan mencari sendiri di dalam puisi-puisi karya para penyair dunia. Kemudian, saya pun ingat, beberapa tahun sebelumnya, tatkala kami berdua menginap sekamar pada satu hotel di Banda Aceh (sebagai fasilitator bersama untuk Rencana Strategis bagi satu lembaga kebudayaan di Aceh, Tikar Pandan, yang dipimpin oleh sahabat saya Azhari Aiyub). Nirwan Ahmad Arsuka nampak sedang berbaring di ranjang sembari membaca satu novel sastra karya seorang pengarang luar. Cara membacanya menurut saya waktu itu cukup aneh. Ia membaca sebentar, lalu meletakkan novel itu ke dadanya sambil memandang langit-langit kamar sekira 10 menit, laiknya orang yang merenung, barulah setelah itu ia melanjutkan membaca lagi. Begitu seterusnya, berulang-ulang. Tak tahan dengan prilaku membaca yang aneh itu, saya pun bertanya: “Kenapa antum membaca dengan cara seperti itu?” Lalu, ia bangkit dari ranjangnya, duduk, dan bertanya: “Jika ente membaca sebuah puisi, apa yang pertama kali ente mau dapatkan, isi puisi atau ekspresi estetiknya?”
“Ekspresi estetiknya,” jawab saya.
“Begitu juga ane saat membaca novel sastra,” jawabnya, tersenyum.
Bertahun kemudian, barulah saya mengerti apa yang dimaksud dengan “membaca-teknik” dari sebuah karya sastra. Begitulah awalnya saya pun bertekun melakukan studi sastra dunia, baik puisi maupun prosa, secara otodidak dengan memanfaatkan kemajuan teknologi internet saat ini. Dan itulah pula mulanya saya kembali bertekun dalam dunia penulisan sastra setelah bertahun mengabaikannya.
Terima kasih, Sahabatku, atas kebaikan hatimu yang telah mendorongku untuk benar-benar bertekun melakukan studi sastra dunia. Masih kuingat saranmu pada suatu hari: “Studi sastra dunia saja, Bro. Jangan berharap para senior itu akan membukakan rahasia-rahasia penulisan sastranya. Studi saja sendiri. Suatu ketika ente akan menemukan rahasia puisi kenapa bisa jadi keren.”
Terima kasih, Sahabatku, Nirwan Ahmad Arsuka. Terima kasih, My Master.
———
PUISI
———
Karya Pablo Neruda
Dan pada suatu ketika … Hadirat puisi tiba-tiba datang
mencariku. Aku tak tahu, aku tak tahu dari mana
asalnya, dari musim dingin atau sebatang sungai.
Aku tak tahu bagaimana atau kapan,
mereka sama sekali tak bersuara, mereka bukanlah
kata-kata, atau kesunyian,
dari satu jalanan aku telah dipanggil,
dari dahan-dahan malam,
dan dari yang lain juga,
di tengah kekerasan yang memanas
atau pilihan untuk kembali,
aku pun datang tanpa wajah
dan mereka menyentuhku.
Aku tak tahu harus berkata apa, mulutku
tak punya cara untuk mengucapkan
nama-nama,
mataku buta,
dan segalanya dimulai dalam jiwaku,
demam atau sayap pun dilupakan,
dan aku membuka jalanku sendiri,
menafsirkan
api itu,
lalu kugoreskan garis pertama,
samar, tanpa substansi, murni
omong kosong,
kebijaksanaan murni
dari seseorang yang tak tahu apa-apa,
dan tiba-tiba aku melihat
langit
tanpa ikatan
dan terbuka,
planet,
kebun-kebun berdebar,
bayang berlubang,
dilubangi
dengan panah, api dan bunga,
malam berkelok-kelok, alam semesta.
Dan aku, makhluk yang begitu mungil,
mabuk bersama bintang-bintang besar
kekosongan,
rupa, citra dari
misteri,
merasakan diriku tak lain bagian paling murni
dari sebuah jurang.
Aku roda dengan bintang-bintang,
hatiku pecah dalam sehembus angin.
——————————————————————————————-
Esai dan Puisi Terjemahan @ Ahmad Yulden Erwin, Juli 2015
——————————————————————————————-