*
Sekarang mari kita bertolak lebih jauh dari pendapat Tarski di atas. Menurut pendapat saya, dalam satu kalimat atomik, yang menentukan kebenaran atau yang diujikan maknanya, bukanlah subjek, tetapi predikat. Predikat itulah yang membangun relasi antara subjek (nama) dengan benda X yang dirujuk oleh subjek itu. Dengan kata lain pembuktian prinsip korespondensi tidak membutuhkan fakta tentang ada-tidaknya benda X di luar kalimat atomik, tetapi telah terpenuhi dengan adanya predikat itu sendiri (dalam konteks “teori gambar” yang diperluas, bukan teori gambar berdasarkan persepsi indrawi semata seperti yang dimaksudkan oleh Ludwig Wittgenstein dalam bukunya Tractatus Logico Philosophicus, melainkan “teori gambar” yang meliputi pengalaman sehari-hari manusia, yang menjadi acuan koherensi bagi predikat itu). Apa artinya ini? Artinya, dalam konteks kalimat atomik, predikat adalah pemberi makna, penentu nilai, dari kebenaran kalimat atomik itu. Subjek maupun benda X yang diacu oleh subjek itu telah ada, telah berkorespondensi, di dalam predikat. Argumen ini melampaui teori korespondensi dan teori koherensi “klasik” itu sendiri, sekaligus mampu menjelaskan keduanya.
Kebenaran dalam satu kalimat atomik tidak ditentukan oleh subjek tetapi oleh predikatnya dan, oleh sebab itu, tidak memerlukan prinsip korespondensi klasik untuk membuat kebermaknaan dalam konteks keterpenuhan (satisfiability), karena keterpenuhan akan adanya benda (fakta) X sudah terkandung di dalam predikat kalimat atomik itu sendiri dalam bentuk koherensi dengan “teori gambar” yang diperluas, yaitu “teori gambar” yang meliputi pengalaman sehari-hari manusia.
Pada kalimat atomik: Hantu berwarna kuning, di mana subjek (nama) adalah “hantu” dan “berwarna kuning” adalah predikat, maka kebermaknaan kalimat atomik itu tidak ditentukan oleh ada tidaknya mahluk X yang bernama hantu, tetapi ditentukan oleh ada tidaknya warna kuning yang dirujuk oleh predikat itu dalam kehidupan sehari-hari manusia. Dan karena warna kuning itu ada dalam kehidupan sehari-hari manusia, seperti warna kuning dari daging buah mangga atau warna kuning langit senja, maka kebenaran kalimat itu pun terpenuhi, kalimat itu bermakna. Pemahaman tentang kebenaran predikatif ini akan mampu menjernihkan beberapa kekeliruan soal pemahaman tentang kalimat-kalimat puitik, majas, dan pernyataan metafisis atau spiritual yang gagal dipahami sebagai kalimat logis–contoh kasus adalah pemahaman Wittgenstein soal teori gambar ketika ia mengeluarkan argumen bahwa apa yang tak bermakna (tidak merujuk pada teori gambar dalam konteks persepsi indrawi semata) maka tak perlu dikatakan. Kekeliruan pemahaman Wittgenstein itu karena dalam konstruksi kalimat atomiknya, ia tetap berpegang pada prinsip bahwa subjeklah yang menjadi penentu nilai kebenaran jika dan hanya jika berkorespondensi dengan fakta (teori gambar berdasarkan persepsi inderawi semata).
Sekarang mari kita ujikan hal itu dengan kalimat lainnya: “Saya adalah Tuhan,” atau, “saya adalah bukan Tuhan.” Apakah kedua kalimat atomik itu bermakna atau tidak bermakna berdasarkan kriteria kebenaran predikatif? Jawabnya: kedua kalimat itu, baik kalimat afirmatif atau kalimat negasi, tidak bermakna.
Sementara pada kalimat-kalimat atomik berikut ini, berdasarkan kriteria kebenaran predikatif adalah bermakna: “Tuhan Maha Mendengar”, “Tuhan Maha Menyayangi”, “angin itu hijau”, “laut ada di dalam matamu”, “batu itu menari”, “air mata adalah api”, “kegelapan adalah lenganmu”, “tidur adalah masa lalu biru tua”. Perhatikan bahwa semua kalimat-kalimat atomik di atas bermakna karena kalimat-kalimat “puitik” itu memenuhi prinsip kebenaran predikatif, yaitu jika dan hanya jika predikat dalam kalimat atomik itu koheren dengan teori gambar yang diperluas.
Pertanyaannya, kenapa Alfred Tarski dan Ludwig Wittgenstein menolak untuk melihat kemungkinan bahwa penentuan kebenaran dalam kalimat atomik tidak bertolak dari subjek? Hal ini mungkin terkait dengan peran subjek yang sangat kuat sebagai faktor yang memungkinkan “ada” dalam filsafat Barat.
Bila subjek tidak lagi menjadi penentu nilai kebenaran dari kalimat atomik, maka kalimat atomik itu dianggap menjadi tak bermakna, karena yang tinggal bukan lagi substansi melainkan hanya “proses”. Ketika tak ada substansi, maka berarti hanya ketiadaan yang muncul, dan hal itu jelas sebuah kontradiksi karena segala sesuatu yang muncul pastilah ada dan tidak mungkin tiada. Pandangan seperti ini bukanlah hal yang baru, sebab selama dua ribu tahun kosmologi Yunani memang menolak konsep ketiadaan. Terbukti dengan tidak adanya angka nol dalam sistem geometri dan bilangan pada kebudayaan Yunani dan Eropa sebelum masa renaisans. Hal itu terjadi karena konsep nol berbenturan dengan salah satu prinsip utama filsafat Barat (Yunani), sebuah diktum yang akar-akarnya terhujam dalam filsafat angka Phytogras dan paradoks Zeno, yaitu soal “tiada kekosongan”. Kosmologi Yunani menolak konsep kekosongan, kehadiran dari ketiadaan yang paradoks itu, seperti yang lazimnya dikenal dalam filsafat Timur, misalnya konsep kokosongan dalam Uphanishad dan konsep anatta dalam Buddhisme serta konsep advaitha (nondualisme) di India, atau konsep Yin-Yang dan Tao di China. Itulah sebabnya, puisi-puisi “tanpa subjek”, tanpa aku-lirik, seperti haiku atau tanka, tak pernah muncul dalam puisi-puisi Yunani kuno.
Saat ini saya menyadari, bahwa justru ketiadaan peran subjek sebagai penentu nilai kebenaran adalah dimungkinkan dalam kalimat atomik, dalam proposisi, dan justru dapat menjelaskan perihal kebermaknaan dari kalimat-kalimat “puitik” yang selama ini dianggap tidak logis. Kebenaran dari estetika dan spiritualisme, sejak ribuan tahun lalu, dalam “episteme” Timur memang menafikan peran subjek sebagai penentu nilai kebenaran. Dan, sekarang, dengan kriteria kebenaran predikatif, hal itu kembali terbukti. Bukti tersebut nampak begitu jelas, sejelas keindahan patung Shiva Nataraja–sebuah simbol “predikatif” untuk proses hadir-dan-tiada dari alam semesta: ketiadaan yang mengada.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>