————–
CATATAN:
————–
APENDIKS 1: NOL: KETIADAAN YANG MENGADA
Simbol / / adalah cara orang Babylonia, sekira 300 SM, untuk menunjukkan ruang kosong atau jeda dalam sistem bilangan mereka yang diambil dari sistem bilangan Sumeria sekitar 4000 – 5000 tahun lalu. Simbol / / ini dianggap sebagai muasal dari bilangan nol seperti yang kita kenal sekarang.
Pada 628, seorang astronom dan ahli matematika Hindu bernama Brahmagupta mengembangkan simbol untuk nol yaitu titik di bawah angka. Dia juga mengembangkan operasi matematika menggunakan nol, menulis aturan untuk menghasilkan nol melalui penambahan dan pengurangan, dan hasil menggunakan nol dalam persamaan. Ini adalah pertama kalinya di dunia di mana nol diakui sebagai bilangan tersendiri, baik sebagai sebuah ide dan simbol.
Pada abad ke-9, seorang ahli matematika dari Persia, Mohammed ibn-Musa al-Khowarizmi, menyarankan bahwa lingkaran kecil harus digunakan dalam perhitungan. Orang-orang Arab menyebut lingkaran ini “sifr”, atau “kosong”. Nol merupakan bilangan yang penting dalam sistem matematika al-Khowarizmi, yang digunakan untuk menciptakan aljabar pada abad kesembilan. Al-Khowarizmi juga mengembangkan metode cepat untuk mengalikan dan membagi angka, yang dikenal sebagai algoritma (sebuah pelafalan yang keliru dari orang Eropa terhadap kata Khowarizmi). Khowarizmi sendiri mengakui dalam bukunya bahwa lambang bilangan Arab itu (sekarang dengan bentuk angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0) diambil dari sistem bilangan peradaban India.
Nol sampai ke Eropa melalui penaklukan bangsa Moor (islam) di Spanyol dan dikembangkan lebih lanjut oleh matematikawan Italia, Fibonacci, penemu deret Fibonacci yang terkenal itu. Ia menggunakannya untuk melakukan persamaan tanpa sempoa yaitu alat yang paling umum digunakan untuk melakukan aritmatika. Perkembangan ini sangat populer di kalangan pedagang, mereka menggunakan persamaan Fibonacci yang melibatkan nol untuk menyeimbangkan buku mereka.
Uniknya pemerintah Italia kala itu curiga dengan angka Arab dan melarang penggunaan nol. Meski demikian para pedagang terus menggunakan angka nol secara ilegal dan diam-diam, dan kata Arab untuk nol, “sifr,” kemudian menjadi kata “cipher,” yang tidak hanya berarti karakter numerik, tetapi juga menjadi “kode.”
Penolakan terhadap angka nol di Eropa, bukan sekadar dalam konteks politik waktu itu, namun didasari oleh hal yang lebih filosofis selama dua ribu tahun. Angka nol berbenturan dengan salah satu prinsip utama filsafat Barat (Yunani), sebuah diktum yang akar-akarnya terhujam dalam filsafat angka Phytogras dan paradoks Zeno, oleh sebab seluruh kosmos Yunani dibangun di atas pilar “tiada kekosongan”. Kosmologi Yunani menolak konsep kekosongan, ketiadaan, seperti yang biasa dikenal dalam filsafat di Timur, misalnya konsep kokosongan dalam Uphanishad dan anatta dalam Buddhisme di India.
Pada 1600-an, nol digunakan cukup luas di seluruh Eropa. Itu menjadi dasar dalam sistem koordinat Cartesian Rene Descartes. Hal ini kemudian dikembangkan oleh Sir Isaac Newton dan Gottfried Wilhem Liebniz dalam bidang kalkulus. Kalkulus membuka jalan bagi fisika, teknik, komputer, dan banyak teori keuangan dan ekonomi.
Sangat sulit dibayangkan, tanpa konsep kekosongan, tanpa bilangan nol, dunia akan mengenal kemajuan sains dan teknologi, termasuk seni modern, seperti sekarang ini. Tanpa bilangan nol, maka tak ada sistem bilangan biner ( 0 dan 1) yang menjadi akar dari “bahasa mesin” dalam sistem komputer yang kita kenal sekarang. Tanpa konsep kekosongan, tanpa bilangan nol, maka tak ada komputer, tak ada program komputer, tak ada internet, tak ada kemajuan teknologi informasi seperti saat ini.
APENDIKS 2: PRINSIP NONKAUSALITAS DALAM LOGIKA
Sebagian kita menganggap bahwa hukum sebab-akibat (kausalitas) itu adalah hukum yang ada di alam, padahal dalam sejarah pemikiran epistemologi diketahui bahwa kausalitas itu bukanlah teori ilmiah eksperimental, tetapi murni teori yang dihasilkan dari kerja rasional. Dengan kata lain prinsip “urutan kejadian” yang menjadi landasan bagi hukum kausalitas itu, pada faktanya tak bisa diuji secara tepat dalam konteks eksperimental, tetapi hanya “diyakini” sebagai prinsip universal yang harus ada di alam menurut rasio. Jadi, hukum sebab-akibat itu adalah murni kerja pemikiran manusia, bukan sesuatu yang melekat pada alam. Dalam konteks epistemologis, hukum kausalitas itu adalah sumbangsih terbesar dari filsafat idealisme Plato terhadap sejarah pemikiran manusia. Tanpa prinsip sebab-akibat, maka tak ada filsafat, tak ada sains dan teknologi, tak ada teologi, tak ada sejarah, serta aturan-aturan hukum pun menjadi tak bermakna.
Prinsip “urutan kejadian” dalam hukum kausalitas itu bertolak dari gagasan bahwa peristiwa saat ini disebabkan oleh peristiwa pada masa lalu. Jika peristiwa A adalah penyebab untuk akibat B, maka B tak bisa menjadi penyebab untuk A. Kini, para fisikawan teoritis dari Universitas Wina dan Université Libre de Bruxelles menunjukkan bahwa dalam mekanika kuantum dimungkinkan untuk menciptakan situasi di mana satu peristiwa bisa menjadi keduanya, sebab maupun akibat. Berdasarkan mekanika kuantum, objek bisa kehilangan sifat-sifat klasiknya yang sudah terdefinisi dengan baik (sebuah objek tak bisa berada di dua lokasi berbeda pada saat yang sama). Temuan fisika kuantum soal “superposisi” oleh sebuah tim internasional yang dipimpin oleh fisikawan Caslav Brukner dari Universitas Wina menyatakan bahwa sebuah partikel justru bisa berada di dua lokasi yang berbeda pada saat yang sama. Temuan ini membawa implikasi yang lebih jauh bagi fondasi mekanika kuantum, kuantum gravitasi, dan komputasi kuantum. Temuan ini membuka kemungkinan soal “jagad paralel”, perjalanan antarwaktu melalui lubang cacing (sub-ruang), dan keberadaan jagad bayi menjadi tak sekadar imajinasi liar dari para ilmuwan.
Temuan fisika kuantum soal “superposisi” jelas menunjukkan bahwa apa yang kita kenal sebagai hukum sebab-akibat, secara substansial bukanlah sesuatu yang melekat di alam, yang menjadi watak alam itu sendiri. Hukum sebab-akibat itu sangat boleh jadi justru bukanlah hukum alam, tetapi hanya hukum yang dibuat oleh pikiran manusia, oleh rasio manusia, agar pemikiran manusia memiliki makna.
Uniknya, dalam sejarah seni modern, soal keserentakan peristiwa ini bukanlah hal yang mengejutkan. Pada awal abad ke-20, surealisme telah menyatakan dalam manifestonya bahwa keserentakan dari peristiwa yang bukan sebagai urutan kausalitas adalah hakikat dari estetika itu sendiri. Lebih silam lagi, sejak ribuan tahun lalu, spiritualitas di Asia Selatan, seperti pada teks Upanishad atau Tao Te Ching atau Zen, juga telah mengakui bahwa pada hakikatnya segala sesuatu ini ada secara bersama sebagai kesatuan yang tak terpisahkan, sebagai “advaita”, bukan satu dan bukan dua.
Rasa saya, fisika kuantum kini telah bergerak untuk membuktikan kebenaran dari prinsip nonkausalitas dari surealisme dan advaita.
—————————————————————
Esai @ Ahmad Yulden Erwin, 26 Mei 2015