More

    Perihal Propaganda Anti Barat, Bahasa Sebagai Sistem Terbuka, Metafora Huruf-huruf, dan Non-Absolutisme

    4/

    Untuk menjawab pertanyaan perihal keabsolutan tersebut, nampaknya kita bisa beralih ke pemikiran Quentin Meillassoux (pelafalan: Qountan Meissou), seorang filsuf Prancis abad ke-21, yang menulis buku berjudul “After Finitude” (2010)—satu buku yang cukup menyentak dunia pemikiran filosofis kontemporer. Namun, saat ini, saya hanya akan sedikit menguraikan inti kerangka pikir Miellassoux terlebih dahulu, belum dalam konteks mengkritiknya.

    Salah satu konsep inti di dalam buku After Finitude tersebut adalah perihal “korelasionisme”. Menurut Miellassoux, konsep korelasionisme yang ia maksudkan merupakan satu kritik epistemologis terhadap realisme naif yang secara absolut bersandar pada prinsip korespondensi atau idealisme naif yang bersandar pada prinsip koherensi. Ia membantah absolutisme kedua prinsip tersebut dengan mengeluarkan satu tesis bahwa semua itu sebenarnya masuk wilayah spekulasi. Ia kemudian berargumen bahwa yang “absolut sejati” ada di luar pikiran (tidak tergantung pada pemikiran manusia), juga adadi luar teks (tidak tergantung pemaknaan dalam konteks berbahasa), seperti objek dan peristiwa misalnya. Begini dua argumennya:

    - Advertisement -

    1) “Let us call ‘speculative’ every type of thinking that claims to be able to access some form of absolute, and let us call ‘metaphysics’ every type of thinking that claims to be able to access some form of absolute being, or to access the absolute through the principle of sufficient reason. If all metaphysics is ‘speculative’ by definition, our problem consists in demonstrating, conversely, that not all speculation is metaphysical, and not every absolute is dogmatic–it is possible to envisage an absolutizing thought that would not be absolutist.” (After Finitude, p.34)

    2) “Every materialism that would be speculative, and hence for which absolute reality is an entity without thought, must assert both that thought is not necessary (something can be independently of thought), and that thought can think what there must be when there is no thought.” (After Finitude, p.36)

    Tiliklah argumen 1 dan 2 dari Miellassoux yang saya kutip di atas. Semua penjelasan filosofis atau saintis—baik yang berdasarkan prinsip idealisme maupun materialisme—bagi dia adalah spekulasi dan tak bisa menjadi “absolutis/absolutisme”. Sebagai satu pernyataan spekulatif, maka pernyataan itu bisa benar atau salah, bisa dikoreksi terus-menerus. Tak ada penjelasan absolut bagi dia, tak ada prinsip absolut juga. Yang absolut adalah objek di luar teks, di luar bahasa. Meski demikian, manusia tetap bisa menjelaskan keabsolutan hal di luar teks itu asalkan tidak terjebak pada pandangan absolutis/absolutisme. Hal begini sebenarnya mirip pandangan di dalam spiritualitas Zen. Zen, sebagai jalan sekaligus pencerahan “di luar kata”, tidak dinyatakan oleh para master Zen sebagai konsep yang absolutis/absolutisme, sebab: “Tangan yang menunjuk bulan, bukanlah bulan.”

    Jadi, dalam kerangka argumen Miellassoux, korelasi itu tidaklah dinafikan perannya, tapi yang dibatalkan oleh Miellassoux adalah kecenderungan para filsuf atau spiritualis atau agamawan atau ilmuwan sebelumnya untuk membuat korelasi sedemikian menjadi semacam pandangan absolutis/absolutisme, pandangan yang tak bisa dibenarkan atau disalahkan, tak bisa dibuktikan secara filosofis maupun saintis, tapi mesti diterima hanya sebagai keyakinan yang tak terbantahkan. Ketika sebuah konsep atau asumsi dijadikan sebagai yang mutlak, baik itu dalam konteks realitas material maupun realitas ideal, maka itulah yang dibantah oleh Miellassoux. Semua asumsi dasar di dalam pikiran kita adalah spekulasi, bukan yang absolut—begitu pun dengan setiap penjelasan, setiap ujaran. Mari kita lihat argumen berikutnya dari Miellassoux:

    3) “Everything in the world is without reason, and is thereby capable of actually becoming otherwise without reason. Everything could actually collapse: from trees to stars, from stars to laws, from physical laws to logical laws; and this is not by virtue of some superior law whereby everything is destined to perish, but by virtue of the absence of any superior law capable of preserving anything, no matter what, from perishing.” (After Finitude, p.53)

    Kenapa Miellassoux menyatakan bahwa semua konsep itu spekulasi dan tidak bisa menjadi absolut? Karena semuanya dapat runtuh, mulai dari pohon, bintang hingga hukum logika dan fisika, semuanya akan berakhir, diganti yang baru, dikoreksi, begitu seterusnya. Juga, sebelum manusia ada–menurut fakta sains dalam bidang arkeologi, manusia baru membangun peradabannya sekira 6000 tahun lalu, sementara semesta tempat kita berdiam ini menurut fakta kosmologis dan bukti astronomis terkini telah ada 13,7 miliar tahun lalu–semesta ini telah lebih dulu ada. Misalnya, ketika era Jurassic, dinosourus sudah ada dan menguasai kehidupan di bumi sebelum manusia seperti kita sekarang menguasainya. Miellassoux memang memanfaatkan temuan-temuan sains terkini untuk membangun basis argumen filosofisnya. Namun, Miellassoux tak pernah menyatakan bahwa argumennya tentang keabsolutan “The Great Outdoors” masuk ke dalam wilayah absolutis/absolutisme. Sebab, jika sebuah konsep dinyatakan absolutis/absolutisme, maka konsep tersebut (terutama makna dari konsep itu) tak akan berubah, tak memiliki permulaan dan tak berakhir, dengan kata lain hal sedemikian tak ada dalam sejarah episteme. Kenapa? Karena pada faktanya semua konsep dalam pikiran manusia selalu memiliki “sejarah episteme”, memiliki awal dan akhir, dan selalu mungkin diinterpretasikan kembali, selalu mungkin berubah, yang berarti sama sekali tak bisa menjadi absolutis/absolutisme.

    The Great Outdoors itu, alam raya di luar pikiran kita, telah-masih-akan ada tanpa memerlukan argumen apa pun. Dan, oleh karenanya, Anda bisa “membuktikan” The Great Outdoors itu selalu ada di sini dan saat ini, di tempat dan ketika Anda memikirkannya atau tidak memikirkannya, sebagai semacam latar dari segalanya—termasuk latar dari eksistensi Anda. Begitu sederhana.

    ————————————————————
    Esai @ Ahmad Yulden Erwinn, Juli 2017
    ————————————————————

    *) Konsep emanasi, perihal keilahian yang memancar menjadi alam empiris, dipinjam oleh Ibn Arabi dari filsafat Neoplatonisme. Konsep ini berasal dari Plotinus (204-70 SM), seorang filsuf besar fase terakhir filsafat Yunani. Jadi pendiri Neoplatonisme bukanlah Plato—hal yang sering disalahpahami orang di sini—tetapi oleh Plotinus. Di samping mendalami fisafat Yunani dari gurunya, Ammonius Saccas, Plotinus juga mendalami ajaran-ajaran mistik India dan Persia, yang waktu itu pas sedang populer. Intinya aliran filsafat ini berupaya menggabungkan ajaran Plato, Aristoteles (pelafalan: Aristotes), dan mistik Timur, yang kemudian dikenal dengan sebutan Neoplatonisme.

    Jika ajaran Plato berpangkal pada “Yang Maha Baik” (Eudaimonia), yang meliputi segala-galanya, maka ajaran Plotinus berpangkal pada “Yang Maha Esa” (To Hen, mirip pelapalan kata “Tu-han” bila dalam Bahasa Indonesia). Menurut Plotinus, Yang Maha Esa itulah Prima Causa, pangkal dari segala-galanya. Yang Maha Esa adalah “Sang Sumber”, adalah permulaan sekaligus sebab dari segala yang ada. Dari Yang Maha Esa itu memancarlah segala sesuatu yang kita kenali sebagai alam raya ini, termasuk manusia seperti kita. Filosofi Plotinus berpusat pada keyakinan bahwa Yang Maha Esa adalah kesatuan dari segala sesuatu dan sama sekali tak memiliki kontradiksi di dalamnya. Inilah sebenarnya konsep emanasi Plotinus, yang juga menjadi inti tasauf filosofis dari Ibnu Arabi.

    Jadi, dalam konteks ini, Plotinus adalah orang yang memunculkan konsep emanasi dalam filsafat Barat dan pemikiran mistik Islam, meski dalam filsafat Timur–di India (konsep Braman-Atman) atau di Babilonia (konsep Ahuramazda sebagai Cahaya Maha Cahaya) atau di Cina (konsep Yin-Yang dan Tao)–sudah ada berabad sebelumnya. Kemudian para filsuf Neoplatonik lainnya, terutama Lamblichus, menambahkan ratusan makhluk perantara seperti dewa, malaikat, dan mahluk gaib lainnya sebagai mediator antara Yang Maha Esa dengan manusia. Dewa-dewa Neoplatonisme adalah makhluk adikodrati yang nyaris sempurna dan tidak menampakkan perilaku amoral seperti dewa-dewa Yunani dan Romawi. Jadi, andai dalam terminologi Islam, sekalian dewa Neoplatonisme ini bisa disebut dengan istilah malaikat.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here