More

    Bukan Kalimat-Mumun Atau Kalimat Pocong

    Photo: Plate, The Change of Seasons, by Akiko Hirai, UK.

    Mumun adalah hantu gentayangan. Pocong adalah mayat yang sudah dikafani. Dalam sintaksis (ilmu bahasa tentang kalimat) ada rumus yang sederhana: Kalimat = Subyek + Predikat. Subjek ibarat tubuh dan predikat ibarat jiwa. Namun, dalam prosa dan puisi yang katanya sastra di Indonesia, banyak dan banyak kali bermunculan aneka “kalimat-mumun” dan “kalimat-pocong”. Kalimat-Mumun adalah kalimat yang tanpa subjek. Kalimat-Pocong adalah kalimat yang tanpa predikat.

    Berikut ini adalah contoh kombinasi yang kelewat “baik” dari Kalimat-Mumun dan Kalimat-Pocong: “Aku duduk membaca. Sendiri. Menatap setiap huruf.” Tampaknya, penulis kalimat di atas memang tak bisa membedakan antara kalimat dengan klausa (dulu biasa disebut anak kalimat).

    Jika menulis kalimat yang benar saja tidak bisa, ya, repot jadinya. Belum lagi soal wacana, ikatan kalimat dalam paragraf, logika kalimat, dan keberterimaan kalimat. Ini adalah hal-hal mendasar bagi penulis prosa dan puisi, apalagi penulis sastra; sama mendasarnya dengan teknik sapuan kuas bagi seorang pelukis atau penguasaan kunci-kunci gitar bagi seorang gitaris.

    - Advertisement -

    Dalam ilmu linguistik (ilmu tentang bahasa), kalimat terdiri dari tiga unsur yang membentuk suatu kalimat, yaitu: kata, frase (gabungan kata), dan klausa. Klausa adalah unsur sintaksis yang predikatif, artinya di dalam satu klausa itu mesti ada minimal satu predikat. Berdasarkan kategori yang mengisi fungsi predikat dalam klausa, maka dapat dibedakan beberapa jenis klausa:

    1. Klausa Verbal: “Pak Lurah membaca koran.” Kata “membaca” adalah predikat dari jenis kata kerja (verbal).

    2. Klausa Nomina: “Kakap itu ikan.” Kata “ikan” adalah predikat dari jenis kata benda (nomina).

    3. Klausa Edjektifal: “Anak itu sangat kurus.” Kata “kurus” adalah predikat dari jenis kata sifat (ejektifal).

    4. Klausa Preposisional: “Mereka dari Medan.” Frase “dari Medan” adalah predikat dari kata preposisional atau kata depan, misalnya: kata “di, ke, dari, pada” dan ditambah kata keterangan tempat.

    5. Klausa Numeral: Gajinya hanya dua juta rupiah sebulan. Kata “dua juta” adalah predikat dari frase numeral (angka).

    Selain itu, klausa dalam sintaksis dapat berupa klausa bebas dan klausa terikat. Klausa bebas adalah klausa yang strukturnya memiliki fungsi subjek dan fungsi predikat dan fungsi objek (keterangan) secara lengkap. Sedangkan klausa terikat adalah klausa yang tidak lengkap fungsi-fungsi pembentuknya. Contoh: Saya akan datang ke pesta pernikahan adiknya, bila diundang. Klausa yang pertama (“Saya akan datang ke pesta pernikahan adiknya”) adalah klausa bebas, sedangan klausa kedua (“bila diundang”) adalah klausa terikat karena tidak punya fungsi subyek.

    Memang akan jadi lebih memikat jika pengetahuan tentang sintaksis itu bisa diaplikasikan langsung untuk menelaah karya sastra. Kuncinya adalah menemukan struktur dasar dari satu kalimat (subjek dan predikat). Di dalam kalimat luas (dulu disebut kalimat majemuk) baik fungsi subjek atau predikat sering dilesapkan ke dalam klausa sebelumnya. Relasi antar klausa dalam kalimat luas bisa dilakukan dengan penggunaan tanda baca koma (,) dan atau kata hubung seperti kata dan, yang, tetapi, dsb.

    Satu contoh yang cukup kompleks, tapi sangat indah adalah pada paragraf pembuka novel karya Ernerst Hemingway (1899 -1961, sastrawan USA peraih Nobel Sastra 1954), berjudul “A Farewell to Arms”, yang diterjemahkan Toto Sudarto Bachtiar berikut ini:

    “Pada penghujung musim panas tahun itu, kami tinggal di sebuah rumah di desa yang menghadap ke sebuah sungai dan ke sebuah dataran di pegunungan. Di dasar sungai itu ada batu-batu kerikil dan batu-batu gunung yang kering dan putih karena sinar matahari, yang pada saat ini airnya jernih dan deras dan biru di dalam alur-alurnya. Pasukan-pasukan tentara bergerak melewati rumah itu dan di sepanjang jalan itu debu-debu yang mereka kepulkan melumuri dedaunan pohon-pohon. Batang-batang pepohonan itu juga penuh debu dan daun-daun cepat berjatuhan tahun itu, dan kami melihat pasukan-pasukan tentara berbaris sepanjang jalan dan debu berkepulan dan daun-daun yang terhembus terbawa angin berjatuhan dan prajurit-prajurit berbaris dan sesudah itu jalan tampak kosong dan putih, yang tinggal hanyalah daun-daun.”

    Sebagai contoh saja, kita bisa membedah struktur sintaksis pada kalimat pertama dalam paragraf di atas. Satu kalimat luas (majemuk) dalam kalimat pertama pada paragraf pertama novel Hemingway tersebut, secara struktur terdiri dari 6 klausa. Begini analisanya:

    “Pada penghujung musim panas tahun itu, kami tinggal di sebuah rumah di desa yang menghadap ke sebuah sungai dan ke sebuah dataran di pegunungan.”

    Enam klausa itu adalah sebagai berikut:

    1. Klausa Preposisional (kata depan penunjuk waktu): Pada penghujung musim panas tahun itu. Struktur dasarnya: Pada penghujung (Keterangan subjek) + Musim panas (Subjek atau S) + pada tahun itu (Predikat atau P).

    2. Klausa Verbal: Kami tinggal di sebuah rumah. Struktur dasarnya: Kami (S) + tinggal (P) + di sebuah rumah (Keterangan Tempat).

    3. Klausa Preposisional (kata depan penunjuk tempat): Rumah itu di desa. Struktur dasarnya: Rumah itu (S) + di desa (P).

    4. Klausa Verbal: Rumah itu menghadap ke sebuah sungai. Struktur dasarnya: Rumah itu (S) + menghadap (P) + ke sebuah sungai (Keterangan Tempat).

    5. Klausa Verbal: Rumah itu menghadap ke sebuah dataran. Struktur dasarnya: Rumah itu (S) + menghadap (P) + ke sebuah dataran (Keterangan Tempat).

    6. Klausa Preposisional (kata depan penunjuk tempat): Dataran itu di pegunungan. Struktur dasarnya: Dataran itu (S) + di pegunungan (P).

    Secara sintaksis, berdasarkan pendekatan linguistik, satu kalimat luas dari kalimat pertama pada paragraf pembuka novel Hemingway itu adalah benar dan sahih adanya.

    Coba bayangkan, apa jadinya bila Hemingway menulis kalimat pertama dalam novelnya itu dengan cara begini: “Terjadi pada penghujung musim panas tahun itu. Kami tinggal di sebuah rumah di desa. Menghadap ke sebuah sungai dan ke sebuah dataran. Di pegunungan.” Hancurlah jadinya keindahan kalimat pembuka pada novel Hemingway tersebut. Dan, saya yakin sangat, tak bakal dia dapat Nobel Sastra pada tahun 1954, jika model kalimatnya ditulis ala Kalimat-Mumun dan Kalimat-Pocong begitu.

    Bagaimana pengetahuan tentang sintaksis ini bisa berguna untuk praktek menulis, utamanya penulisan kreatif (sastra)? Awalnya memang rumit, tetapi bila sudah terbiasa menganalisa, maka pengetahuan dari hasil berlatih menganalisa itu akan menjadi semacam kemampuan (seperti refleks saja) dalam menulis. Selain itu, pengetahuan tentang sintaksis linguistik itu juga akan sangat bermanfaat sewaktu seorang penulis melakukan evaluasi pada tahap revisi tulisan.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    1 COMMENT

    1. Terimakasih kepada penulis dan kabarkampus
      Pada tulisan ini, kita akan menemukan kembali apa itu kerendahan hati, belajar dari dasar, belajar dari akar. Sebelum terlalu jauh dan terjebak fatamorgana, ada baiknya kita memahami ulang apa yang kita tulis.

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here