*
Anda yang gemar karya sastra “absurd”, maka Anda mesti membaca novel absurd (benar-benar absurd), misalnya karya sastrawan avant garde Samuel Beckett yang berjudul “Molloy”. Novel ini pertama kali ditulis oleh Becket dalam bahasa Prancis pada tahun 1947, dan diterbitkan tahun 1951. Sastrawan kelahiran Dublin-Irlandia yang tinggal di Prancis dan Inggris ini lebih kenal sebagai penulis naskah “teater absurd” yang berjudul “Menunggu Godot”. Padahal ia juga cukup banyak menulis karya lainnya berupa skenario film dan televisi, novel, cerpen, esai, atau bahkan puisi. Karya-karyanya sebagian besar bergaya satir atau “komedi hitam”. Pada tahun 1969, ia dianugerahi penghargaan nobel sastra atas karya-karya “absurd”-nya.
Pada novel Molloy ini Beckett menggunakan teknik naratif-minimalis. Dialog tokoh-tokohnya (yang sering tidak nyambung) “ditanamkan” dalam narasinya. Kalimat-kalimatnya pendek-pendek, mengingatkan saya pada novel dan cerpen sastrawan Indonesia Iwan Simatupang yang anehnya, sampai sekarang, masih dianggap sebagai ciri sintaksis prosa sastra modern Indonesia (entah siapa yang memulai pendapat gegabah ini?). Novel ini merupakan novel pertama dari trilogi novel Samuel Beckett, yaitu: Molloy, Malone Dies, dan The Unnamabble.
Novel Molloy ini terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama dinarasikan oleh Molloy dan bagian kedua oleh Moran. Kedua bagian bergerak paralel dalam waktu; saling terkait. Bagian pertama berupa serangkaian ocehan ambigu dari Molloy yang ompong dan bermata satu; terbaring lumpuh di sebuah ruang milik ibunya. Molloy adalah makhluk asing bagi siapa pun, bahkan bagi tangannya sendiri, terus mengoceh tanpa bisa bergerak sambil menunggu kematiannya. Bagian kedua novel ini berkisah tentang Moran, seorang lelaki bertampang dingin yang hobi membawa serenteng kunci seberat satu pound dan senang membentak anaknya yang berusia 13 tahun. Suatu Minggu pagi yang aneh, seseorang bernama Gaber mendatangi Moron dan menyuruhnya mencari Molloy. Bersama putranya, Moran pun berkeliaran mencari Molloy. Begitulah kisah “absurd” dalam novel ini, dengan tema-tema absurd yang khas Beckett: menunggu (entah apa) dan mencari (entah mengapa).
*
Lantas, bagaimana konteks novel Molloy mesti diletakkan di dalam prosa fiksi sastra modern Indonesia? Kalimat-kalimat prosa dalam cerpen dan novel modern di Indonesia nyaris miskin variasi teknik, terutama sejak Iwan Simatupang mengenalkan teknik “kalimat sederhana” yang pendek-pendek itu, eksplorasi sintaksis dalam prosa Indonesia jadi mandeg. Seolah gaya sintaksis ala Iwan Simatupang itu jadi standar penulisan kalimat dalam cerpen atau novel Indonesia modern, meski sebenarnya Iwan Simatupang “mencuri” tekniknya itu dari novel Molloy karya Samuel Backett. Yang cukup mengherankan, sekaligus menyedihkan juga, hingga abad ke-21 ini pendapat ganjil soal sintaksis sederhana sebaga ciri sintaksis prosa sastra di Indonesia masih terus bertahan tanpa alasan yang jelas. Padahal dengan ditemukannya teori linguistik modern pada tahun 50-an, seperti teori linguistik generatif transformatif dari Noam Chomsky, maka sintaksis dalam bahasa Indonesia makin terbuka untuk dieksplorasi secara lebih luas lagi. Adanya konsep tentang klausa telah memungkinkan eksplorasi kalimat luas menjadi dapat berterima secara ilmiah pula.
Teknik penulisan sintaksis sederhana di dalam prosa sastra fiksi dunia, dengan ciri-ciri: penggunaan kalimat “simple present tense” (bukan “past tense” sebagaimana lazimnya sintaksis sastra di Prancis dan Inggris), cenderung memakai kata kerja sederhana. Dan yang menjadi ciri khas sintaksis jenis ini di dalam prosa fiksi sastra adalah penggunaan seminimal mungkin kata sambung, sehingga kalimat-kalimatnya terkesan “terpulau-pulau”. Sebenarnya teknik sintaksis sederhana di dalam prosa fiksi sastra dunia dipelopori oleh Albert Camus pada novel “Orang Asing” (terbit tahun 1942 di Prancis). Bahkan Samuel Backet juga “berguru” pada Albert Camus untuk teknik ini. Episteme yang melatari teknik ini sebenarnya ada dalam filsafat “absurd”-nya, yang menyatakan kehidupan manusia di kolong langit ini sama sekali tak bertujuan, terputus-putus, dan cenderung tak terkait dengan kepercayaan sebagian besar orang tentang kausalitas.
Jadi, sungguh keliru besar, jika penggunaan sintaksis sederhana dalam prosa sastra di sini dianggap sebagai ciri sintaksis prosa sastra di Indonesia. Itu cuma pendapat mereka yang tak tahu sejarah teknik penulisan dalam sastra dunia.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
Terimakasih kepada penulis dan kabarkampus
Pada tulisan ini, kita akan menemukan kembali apa itu kerendahan hati, belajar dari dasar, belajar dari akar. Sebelum terlalu jauh dan terjebak fatamorgana, ada baiknya kita memahami ulang apa yang kita tulis.