*
Prosa hanya bisa disebut bernilai sastra, bila ekspresi sintaksisnya mengandung stilistika (perlu diingat yang dimaksud stilistika dalam prosa sastra bukan cuma soal sintaksis sederhana atau majas saja, ada banyak aspek lainnya, misalnya soal narator). Ini bukan perkara gampang. Seorang penulis prosa sastra, pertama kali mesti menguasai linguistika dengan baik. Baru setelah itu ia dituntut menguasai juga stilistika agar ekspresi bahasanya bernilai sastra.
Seorang penulis puisi atau penyair, mungkin bisa lebih “longgar” dalam konteks linguistika, dan diberi kebebasan untuk mengeksplorasi linguistika sebaga bagian dari eksperimen stilistika. Namun, seorang penulis prosa sastra, dituntut untuk mencapai keseimbangan antara linguistika dan stilistika dalam ekspresi bahasanya. Misal, ekspresi metaforis dalam satu kalimat luas (majemuk) yang dituliskan pada satu prosa sastra akan jadi berantakan ketika klausa-klausa yang menyusun kalimat luas itu tidak bisa berterima secara gramatika. Beberapa ekspresi kalimat dalam prosa sastra, yang sekilas terlihat melakukan pelanggaran gramatika (misalnya klausa atau kalimat tanpa subjek dan atau predikat seperti dalam novel-novel Cormac McCarthy), bila dikaji lebih dalam ternyata menggunakan formula sintaksis tertentu yang merupakan bagian dari stilistika. Dan hal itu tidak bisa sembarangan saja dilakukan. Karena ekspresi kalimat begitu ketika diuji harus bisa lolos baik dari “pengujian” linguistika maupun stilistika.
Saya katakan kepada Anda, yang namanya ciri khas prosa fiksi sastra modern Indonesia itu belum ada, Tuan dan Puan. Kita baru sebatas peniru-peniru teknik sastra Barat, peniru yang belum tuntas belajarnya, sekadar main comot teknik secara serampangan tanpa memahami estetika dan episteme yang melatari munculnya teknik itu. Jadi, kita jangan merasa besar kepala dulu seolah telah menjadi pembaharu dalam sastra dunia atau sastra Indonesia, padahal secara struktur saja cara kita menulis prosa masih berantakan.
*
Dalam konteks ekspresi puitik, inti puisi itu bukan di kata melainkan sintkasis puitik–baik klausa maupun kalimat. Ada banyak jenis sintaksis puitik dalam teknik perpuisian dunia tergantung ars poetica yang mendasarinya, di antaranya: sintaksis puitik klasik, sintaksis puitik romantik, sintaksis puitik ekspresionistik, sintaksis puitik imajistik, sintaksis puitik impresionistik, sintkasis puitik surealistik, hingga sintaksis puitik abstrak. Setiap sintaksis puitik memiliki “ciri” tekniknya sendiri.
Agak aneh juga bahwa di Indonesia yang jadi penekanan di dalam teknik ekspresi puitik justru adalah soal “kata”, bukan sintaksis (baik frasa, klausa, maupun kalimat). Kenapa aneh? Karena, baik secara linguistik maupun stilistika, kata mendapatkan “kebermaknaan puitiknya” justru di dalam sintaksis, yaitu dalam konteks sintagmatis dan pragmatika, bukan di dalam kata itu sendiri.
Namun, banyak penyair atau kritikus atau apresian di sini yang mencoba berargumen bahwa inti ekspresi puisi adalah “kata”, bukan sintaksis, dengan mengambil contoh dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri (SCB) ini:
———-
KALIAN
———-
pun
——–
LUKA
——–
ha ha
Mereka berpendapat bahwa kedua puisi SCB itu hanya menampilkan satu kata bahkan onomatope (tiruan bunyi), dan tak ada kalimat di dalam badan puisinya. Namun, mereka lupa peran dari judul puisi. Pada kedua puisi SCB itu, bila judul puisi dikaitkan dengan isi puisinya, maka jelas hal itu adalah sebuah sintaksis. Bila judulnya dihilangkan, maka terbukti kedua puisi SCB itu tak memiliki makna sebagai sebuah puisi.
Di sisi lain, kita kerap menemukan pendapat, bahkan di dalam buku-buku teks pelajaran sastra di Indonesia, inti ekspresi puisi ada pada kata sedangkan prosa pada kalimat. Hal itu jelas keliru. Sebab, seperti sudah saya buktikan dalam konteks dua puisi SCB di atas, hanya dengan menyusun kata secara acak di dalam satu teks puisi, tanpa memerhatikan aspek sintagmatik dan pragmatikanya di dalam sintaksis, tak akan menghasilkan kebermaknaan melainkan racauan. Puisi jelas bukan racauan.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
Terimakasih kepada penulis dan kabarkampus
Pada tulisan ini, kita akan menemukan kembali apa itu kerendahan hati, belajar dari dasar, belajar dari akar. Sebelum terlalu jauh dan terjebak fatamorgana, ada baiknya kita memahami ulang apa yang kita tulis.