More

    Pendalaman Tematik

    Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengomposisikan chiffer-chiffer itu menjadi sebuah kombinasi yang padu di dalam sebuah teks puisi? Di situlah rahasia dari “pendalaman-tematik”. Begitu keseluruhan atau beberapa chiffer itu dikombinasikan secara “serentak” dengan piawai oleh sang penulis, maka setiap chiffer akan membuka kian besar “rasa ambang” dalam diri manusia, membuka berbagai pintu transendensi. Itulah “permainannya”. Dan hampir semua kisah-kisah yang dianggap suci atau dongeng-dongeng rakyat atau mitologi atau puisi-puisi epik atau prosa-prosa klasik atau puisi-puisi modern dunia yang terus dibaca hingga saat ini telah menggunakan strategi teks dengan bertumpu pada kuasa dari chiffer-chiffer ini. Seperti puisi pendek yang ditulis oleh penyair “dadais-Zen” dari Jepang, Sinkichi Takahashi, berikut ini:

    ANGIN

    Desau angin antara pohon-pohon cemara
    mengalir tiada henti menuju awal
    dari masa lalu yang tak pernah berakhir.
    Dengar: kau telah mendengar segala hal.

    ———————————————–

    Puisi-puisi Karya Joseph Brodsky (Rusia):

    SURAT KEPADA SEORANG ARKEOLOG

    Warga negara, musuh, anak mama, pemadat, kata-kata
    sampah, pengemis, babi, orang Yahudi, cabul;
    kulit kepala ini sering tersiram air mendidih
    hingga otak kerdil kami terasa benar-benar matang.
    Ya, kami tinggal di sini, dalam serakan beton, bata, puing
    kayu ini: tempat kau datang untuk memilahnya.
    Semua kabel kami bersilangan, berduri, kusut, atau terjalin.
    Pula: tiada kami cintai perempuan-perempuan kami,
    meski mereka mengandung darah-daging kami.
    Dentang ialah suara linggis yang menghantam besi
    masih lebih lembut ketimbang segala yang telah kami katakan
    kepada diri sendiri. Orang asing! Hati-hati melewati
    bangkai kami: segala yang serupa bangkai bagimu
    justru membebaskan sel kami. Tinggalkan nama kami.
    Jangan rekonstruksi vokal itu, konsonan, dan sebagainya:
    mereka bukan burung penyanyi, tapi anjing pelacak gila
    yang menelan jejaknya sendiri, taik, dan segala kulit kayu.

    ——————————————-

    SEBUAH LAGU

    Aku berharap kau ada di sini, Sayang,
    aku ingin kau ada di sini.
    Aku berharap kau duduk di sofa
    dan aku beringsut mendekatimu.
    Saputangan itu bisa jadi milikmu,
    air mata bisa jadi milikku, dagu terkatup.
    Meski hal itu bisa, tentu saja,
    menjadi sebaliknya.

    Aku berharap kau ada di sini, Sayang,
    Aku berharap kau ada di sini.
    Aku berharap kita ada di mobilku,
    dan kau akan menggeser perseneling.
    Kita akan menemukan diri kita di tempat lain,
    pada pantai yang tidak dikenal.
    Atau kita dapat kembali
    ke tempat semula.

    Aku berharap kau ada di sini, Sayang,
    Aku berharap kau ada di sini.
    Aku berharap tak ada astronomi
    ketika bintang muncul,
    ketika bulan mencair
    mendesah dan bergesekan dalam lelapnya.
    Aku berharap masih ada koin
    untuk menelponmu.

    Aku berharap kau ada di sini, Sayang,
    di belahan lain bumi ini,
    saat aku duduk di beranda
    minum bir. Sore itu, matahari terbenam;
    bocah-bocah lelaki menjerit dan burung camar merintih.
    Kini, apa gunanya lupa
    bila maut tetap menguntit akhirnya?

    ——————————————-

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here