Ilustrasi / Foto : Fasaz
JAKARTA, KabarKampus – Disahkan UU Cipta Kerja pada tanggal 05 Oktober 2020, menimbulkan gelombang besar demonstrasi massa. Aksi demonstrasi #MosiTidak Percaya tersebut digelar di berbagai daerah di Indonesia dan berlangsung hingga saat ini.
Namun aksi menolak Undang-undang yang tersebut, direspon dengan berbagai bentuk pembungkaman. Mulai dari pelarangan aksi, pencegatan menuju titik aksi, penangkapan sampai penyiksaan terhadap massa aksi yang dilakukan aparat kepolisian.
Jejaring Gerakan Rakyat mencatat ada sebanyak 11 jenis pembungkaman yang dilakukan pemerintah terhadap pengunjuk rasa UU Omnius Law. Mulai dari ancaman melalui pendidikan, penghalangan aksi massa, dan serangan digital.
Berikut ke-11 cara pemerintah pembungkaman demonstrak tolak UU Omnibus Law :
- Ancaman penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) antara pihak rektorat dan mahasiswa yang menyatakan akan ada pemecatan Drop Out (DO) apabila mengikuti aksi demonstrasi. Selain itu juga ancaman dicabutnya beasiswa bagi mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi.
- Ancaman oleh kepolisian bagi pelajar yang mengikuti unjuk rasa. Pihak kepolisian tidak akan mengeluarkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) bagi pelajar yang mengikuti demonstrasi
- Selebaran digital yang ditujukan kepada orang tua yang anaknya mengikuti demonstrasi menolak UU Omnibus Law. Selebaran ini bernuansa ancaman.
- Larangan kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) terhadap segala aktivitas konsolidasi di lingkungan kampus.
- Pencegatan dan penangkapan sewenang-wenang peserta aksi di berbagai tempat sebelum menggelar atau mengikuti aksi. Seringkali anggota Polri melakukan perburuan dan menangkap secara sewenang-wenang para massa aksi, dengan dalih “pengamanan” padahal menurut Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana tidak dikenal istilah pengamanan, yang ada ialah penangkapan. Alasan pengamanan ini, merupakan tipu daya Polisi untuk tidak menjalankan kewajibannya memenuhi syarat administratif dalam melakukan
penangkapan. Perbuatan Polisi ini merupakan pelanggaran serius terhadap kemerdekaan seseorang; - Di berbagai daerah, massa aksi dibenturkan dengan organisasi kemasyarakatan yang diduga dimobilisasi oleh aparat sendiri. Indikasi benturan tersebut terlihat dengan diamnya aparat terhadap Ormas yang bertindak seperti penegak hukum seperti terjadi di Makassar, Jawa Timur, Sumatera Utara, Yogyakarta dan Daerah lainnya. Padahal hal tersebut bertentangan dengan Pasal 59 ayat (2) huruf e UU Ormas yang melarang organisasi masyarakat untuk melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. - Indikasi penggunaan Organisasi kemasyarakatan untuk menakut-nakuti dan menghalau peserta aksi demonstrasi.
- Penyerangan akun sosial media berupa peretasan dan atau serangan lainnya;
- Upaya pengambilalihan paksa nomor Hotline bantuan hukum yang dialami oleh tim advokasi penanganan kasus kekerasan pada massa aksi di Surabaya.
- Framing buruk terhadap para aktivis yang menggunakan media sosial sebagai alat bantu dalam mengabarkan situasi real pada aksi di lapangan maupun dalam menyuarakan pendapat dan kritik terhadap kuasa pemerintahan;
- Adanya mobilisasi sejumlah akun sosial media dan kelompok buzzer yang menyebarluaskan fitnah keji yang didasarkan oleh tujuan untuk melakukan penggembosan, diskriminasi, dan pendiskreditan terhadap elemen gerakan rakyat. Salah satu contoh kecil adalah mobilisasi digital untuk mengkriminalisasi aktivis lingkungan hidup, Merah Johansyah.
Selain ke-11 bentuk tersebut, bentuk pembungkaman lainnya adalah terbitnya surat telegram oleh Mabes Polri jelang pengesahan UU Omnibus Law mengeluarkan STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020. Telegram ini berisikan perintah Kapolri untuk melakukan pengintaian, pencegahan bahkan penindakan untuk rakyat yang kontra Omnibus Law.
Kemudian juga melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan Surat edaran No. 1035/E/KM/2020 perihal himbauan Pembelajaran secara Daring dan Sosialisasi UU Cipta Kerja. Alih-alih mahasiswa disarankan untuk diam dan melihat rezim penguasa menghancurkan seluruh sendi-sendi ekonomi kerakyatan yang telah ada.
Bagi Jejaring Gerakan Rakyat penghadangan aksi dan upaya-upaya pembungkaman tersebut merupakan pembatasan berpendapat, berkumpul dan berekspresi. Dalam hal ini Negara telah melakukan pelanggaran HAM sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi diantaranya di dalam UUD 1945 pasal 28.
Kesemuanya dilakukan dengan tujuan untuk melemahkan gerakan rakyat, meredam perlawanan rakyat yang didasarkan atas tujuan menyelamatkan bangsa dan negara dari oligarki yang merampas hakhak rakyat. Dan dalam hal ini, kepolisian bukan lagi bertindak sebagai alat Negara untuk mengayomi, melindungi dan melayani rakyat melainkan menjadi alat kekuasaan/alat Pemerintah.
Organisasi yang tergabung dalam Jejaring Gerakan Rakyat yaitu Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) Yogyakarta , Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), Gerakan Rakyat (GERAK) Makassar, Gerakan Tolak Omnibus Law (GETOL) Jawa Timur, Gerakan Suara Tuntutan Rakyat (GESTUR) Jambi, Fraksi Rakyat Indonesia (FRI), Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI), Buruh Riau Bersatu (BRB), Solo Raya Bergerak (SORAK), Akumulasi Kemarahan Buruh & Rakyat (AKBAR) Sumatera Utara, Paramedis Jalanan, Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD), GEGER Banten, ARCER Cirebon, Aliansi Masyarakat Palembang Bergerak (AMPERA), Komite Aksi Bersama Kota Ternate, Aliansi Buruh Lampung, Aliansi Sulawesi Utara Bergerak, Aliansi Perjuangan Rakyat Tolak Omnibus Law, Aliasnsi Masyarakat Batang Bergerak (AMBB), Aliansi Afiliasi Sekartaji (Kediri), Aliansi Malang Melawan (AMM).[]