Mohammad Hatta diasingkan jauh dari keriuhan. Kendati fisik terpenjara, tetapi pikiran Hatta kian liar. Di Boven Digul, ia menulis buku “Alam Pikiran Yunani”. Buku yang meringkas perjalanan pemikiran filsafat alam, filsafat klasik, dan filsafat helenistik. Agak aneh, Mohammad Hatta sarjana ekonomi lulusan Erasmus Rotterdam mempelajari filsafat. Baginya filsafat memperluas cakrawala dan mempertajam nalar agar bisa menukik lebih mendasar memahami ilmu ekonomi.
Memasuki abad 20 memang pandangan John Maynard Keynes mulai mendapat tempat. Kritik Keynesian terhadap teori ekonomi klasik mencapai puncaknya pasca “The Great Depression” tahun 1929. Anggapan mekanisme pasar bebas (laisssez faire) akan menemukan titik keseimbangan, ternyata tidak selalu terbukti. Mazhab Keynesian menilai intervensi negara tetap dibutuhkan lewat kebijakan fiskal dan moneter. Dialektika yang memengaruhi Mohammad Hatta tiba kepada kesimpulan bahwa koperasi instrumen tepat mensejahterakan rakyat.
Menurut Hatta koperasi ditopang penyangga utama rasa kesetiakawanan (solidarity) dan semangat individualitas atau menolong diri sendiri (self help). Individualitas berbeda dengan individualisme sekadar mementingkan orang-seorang meraih keuntungan pribadi. Koperasi secara normatif dapat mendidik toleransi, tanggung jawab bersama, dan memperkuat demokrasi sebagai cita-cita bangsa.
Bentuk intervensi negara untuk kemajuan koperasi membuat regulasi atau peraturan perundangan yang membuka kebebasan berusaha, menjamin kepastian hukum, dan memberikan pemberdayaan (affirmative action).
Kita menapaki abad 21. Pemikiran Mohammad Hatta belum usang ditelan zaman, bahkan menemukan relevansinya. Kini gugatan atas teori klasik-neoklasik kembali bergema. Baik melalui aksi masa seperti gerakan Occupay Wall Streat (OWS) maupun perdebatan akademis di kampus-kampus bergengsi. Mantra pertumbuhan ekonomi cuma memperkaya kelompok 1% oligarki dan memiskinkan 99% mayoritas penduduk dunia. Jika kesenjangan (inequality) semakin lebar lalu apa manfaat ilmu ekonomi bagi kemanusiaan?
Joseph Stiglitz pemenang nobel bidang ekonomi tahun 2001 turut lantang mengkritik. Stiglitz melihat globalisasi pasar tipu daya negara maju demi mengeksploitasi negara-negara berkembang, dan hanya melahirkan pemburu rente (rent seeking). Perilaku pemburu rente ini yang mengakibatkan kesenjangan distribusi pendapatan bertambah. Keuntungan yang didapatkan sebetulnya bukan karena prestasi atau kerja keras. Mereka menggunakan informasi asimetris, monopoli pasar, dan penggelapan pajak.
Senada dengan Stiglitz, Thomas Piketty ekonom Prancis menulis buku “Capital in the Twenty First Century”. Ulasan Piketty cukup menggemparkan dunia akademik. Ia berhasil mengumpulkan data historis terkait penerimaan pajak dan tingkat kesejahteraan abad 19 sampai abad 20 di negara-negara maju dan beberapa negara berkembang. Piketty membuat pemodelan melalui pendekatan teori klasik yang membongkar akar kesenjangan distribusi pendapatan.
Piketty meruntuhkan ekonom mainstream. Simon Kuznetsberpendapat hubungan antara pertumbuhan dan pemerataan digambarkan oleh grafik huruf U terbalik. Fase awal pembangunan pertumbuhan ekonomi tinggi membawa konsekuensi kesenjangan, namun pada fase berikut pertumbuhan ekonomi tinggi akan sejalan dengan kenaikan angka pemerataan. Demikian juga Robert Solow bahwa perkembangan pertumbuhan ekonomi (growth trajectory) meningkatkan semua variabel (pendapatan, modal, harga, keuntungan, dsb). Sementara hipotesis Piketty pertumbuhan ekonomi suatu negara naik justru angka kesenjangan juga semakin tinggi. Piketty memproyeksikan kesenjangan akan terus terjadi di abad 21.
Riset yang dilakukan World Inequality Report memperkuat fakta empirik. Tahun 2016 menjelaskan 10% orang kaya di beberapa negara dominan menguasai pendapatan nasional (Share of National Income). Kawasan timur-tengah paling timpang dengan penguasaan pendapatan nasional mencapai 61% dan yang paling rendah Eropa 37%, sementara China 41%, Russia 46%, US-Kanada 47%, Afrika 54%, Brasil 55%, dan India 55%.
Tidak terkecuali ketimpangan di Indonesia, data yang dilansir Credit Suisse sembilan tahun terakhir menunjukan tren mencemaskan. Tahun 2010 sejumlah 10% oligarki menguasai kekayaan nasional 66,8% naik menjadi 75,3% pada tahun 2018. Terburuk kelima setelah Thailand, Rusia, Turki, dan India.
Piketty lebih jauh menggarisbawahi ilmu ekonomi harus menjawab institusi dan kebijakan publik yang mendekati keadaan masyarakat ideal. Karena itu, ilmu ekonomi cocok disebut “political economic” bukan “economic science”. Mengingat ilmu ekonomi merupakan ilmu antar disiplin yang berdampingan dengan disiplin ilmu-ilmu lain.
Perspektif Piketty persis pemikiran Mohammad Hatta. Apalagi kita korelasikan dengan kondisi negara-negara berkembang. Faktor institusi ekonomi problem krusial yang harus diatasi. Di Indonesia misalnya, data BPS tahun 2019 jumlah sektor informal sebanyak 70,49 juta dari total tenaga kerja 126,51 juta. Dan 96,92% merupakan tenaga kerja UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah).
Saya kira, itulah tantangan pemerintah dan semua pihak mendorong kelembagaan sektor informal. Salah satu upaya pelembagaan ini dengan menghimpunnya dalam badan usaha koperasi agar memiliki kepastian berusaha dan bisa meningkatkan skala ekonomi (scaleup).
Hal lain yang harus menjadi perhatian, paradigma positivistik-cartesian mengundang antitesa kesadaran baru tentang environmentalism. Kesepakatan Paris tahun 2015 mengenai perubahan iklim global yang ditandatangani 170 negara komitmen terhadap kelestarian lingkungan. Jadi, kita tidak patut membanggakan diri pertumbuhan ekonomi tinggi, jika dihasilkan oleh kenaikan ekspor komoditas ekstraktif yang merusak hutan tropis.
Di titik ini, rencana transformasi Institut Manajemen Koperasi Indonesia (IKOPIN) menjadi universitas penting ditinjau secara holistik. IKOPIN satu-satunya perguruan tinggi perkoperasian di Indonesia. Di tengah dunia yang sedang berubah semestinya memosisikan sebagai centre of excellence (unggulan) dalam menyemai paradigma baru ilmu ekonomi.
Jangan lupa warisan peradaban Yunani yang paling berharga adalah Akademia Plato. Mampu bertahan selama 916 tahun sejak berdiri tahun 387 SM dan berakir setelah dibubarkan kaisar Justinianus tahun 529 M. Dari sana muncul konsep lembaga pendidikan yang kita kenal sekarang, yaitu akademi atau universitas.
Penulis: Budiana Irmawan, kolumnis kabarkampus.com