Pemisahan antara fakta dengan fiksi sebenarnya adalah soal klasik. Jejaknya bisa ditelusuri sejak pemisahan antara konsep diegesis dengan mimesis, antara menceritakan (tak langsung, narasi) dan menghadirkan (langsung, representasi), antara Plato dan Aristoteles.
Menurut Plato dalam “Republik”, drama–baik tragedi/komedi, merupakan ekspresi memesis. Sedangkan “dithyramb”–salah satu bentuk himne Yunani kuno yang merupakan puja bagi Dewa Dionysos–adalah bentuk diegesis. Kemudian Aristoteles menyatakan bahwa bentuk diegesis dan mimesis bisa juga digabungkan, contohnya adalah puisi epik karya Homer.
Pemisahan mimesis dan diegesis itu, begini bisa diterangkan: yang satu representasi, yang lain melaporkan dari sudut pandang narator (jadi tidak berpretensi untuk representasi); yang satu mencoba mewujudkan objek ke dalam teks dengan imitasi, yang lain menceritakan objek itu; yang satu mentransformasi, yang lain hanya menyatakan indikasi; yang satu hadir terus-menerus dari masa kini ke masa depan, yang lain kembali ke masa lalu untuk menjelaskan masa kini dan masa depan.
Mimesis kadang digunakan untuk merujuk pada satu dunia yang konsisten, termasuk rasionalisasi atas representasinya, guna menjawab teka-teki dari misteri. Dan, uniknya, hal ini justru menjadi landasan pemikiran romantik di Eropa, bahwa–seperti penyataan Aristoteles–mimesis hanya peduli terhadap “imitasi alam”, bukan “imitasi manusia”. Dengan kata lain imitasi terhadap alam jauh lebih tinggi nilainya daripada imitasi dari teks penulis lain. Inilah yang menjadi dasar dari spirit inovasi kaum romantik di Eropa, seperti pandangan Samuel Taylor Coleridge dan William Wordsworth. Bagi pandangan kaum romantik di Eropa, mimesis adalah “imitasi terhadap alam” dan sama sekali bukan “imitasi terhadap teks penulis lain”. Pandangan ini memunculkan apa yang sekarang dikenal sebagai konsep orisinilitas dalam seni.
Kelak pandangan kaum romantik ini justru diteruskan oleh seni modernisme, namun bergerak semakin menjauhi representasi. Selanjutnya, para pengusung postmodernisme justru kembali kepada pandangan diegesis, lewat konsep intertekstualitas yang menerima imitasi terhadap teks penulis lain dengan cara menafsirkan kembali teks sebelumnya. Konsep imitasi terhadap karya penulis lain (seniman lain) sebenarnya telah ada sejak abad ke-1 SM, seperti yang dirumuskan oleh Dionysius dari Halicarnassus, sebagai kritik terhadap konsep “imitasi alam” dari Aristoteles.
Pada titik ini, seni keramik Jepang pada awal abad ke-20, dapat dikatakan sebagai bentuk “diegesis”, peniruan terhadap “teks” (karya seni keramik) pada masa periode Edo (abad ke-16 M), namun memberikan interpretasi baru terhadap karya seni keramik kuno itu.
—————————————————————
Esai @ Ahmad Yulden Erwin, 2015 – 2016
—————————————————————