Paradigma Neorealisme
Untuk menjelaskan sejauh mana efektivitas strategi indo-pacific yang dijalankan oleh Amerika Serikat terhadap China, peneliti menggunakan turunan konsep dari paradigma neorealisme. Sistem Internasional yang anarki diterima oleh komunitas internasional sebagai sebuah situasi yang tercipta sebagai akibat asumsi negara atas kemungkinan adanya ancaman terhadap wilayah berdaulat dan kepentingan negara. Oleh karenanya Paradigma Neorealisme memiliki pendekatan tersendiri dalam memaknai hubungan internasional, yaitu melihat bagaimana sistem internasional mempengaruhi perilaku negara-negara. Dalam artikel Neo-realism, Neo-lineralism and Security. Chatterjee, Shibashis mengulas pemikiran-pemikiran dari Kenneth Waltz yang menjadi basis neorealisme, dan menggarisbawahi sejumlah asumsi dasar sebagai berikut (Shibashis, 2003).
- Sistem internasional bersifat anarki, di mana kekuatan atau power menjadi faktor utama dalam hubungan internasional.Sistem internasional yang anarki menggambarkan suatu keadaan di mana tidak ada satu kekuatan sentralistis dengan otoritas mengatur tindakan negara-negara, termasuk saling melindungi, bekerjasama ataupun berintegrasi. Situasi internasional yang berlangsung adalah keadaan di mana negara-negara mengalamisecurity dilemma. Tidak dapat memastikan maksud / tujuan dari negara lain membuat mereka saling merasa mengawasi satu sama lain. Maka dalam situasi yang demikian kompetisi meningkat di mana negara dengan power yang lebih kuat akan mempunyai pengaruh yang lebih besar.
- Kekuatan militer (selain ekonomi tentunya) menjadi ukuran power negara, yang mana digunakan untuk mencapai tujuan atau kepentingannya. Maka ini mempengaruhi perumusan kebijakan luar negerinya yang memfokuskan pada pertahanan diri (mengamankan survival), atau memperluas kekuatan nasionalnya.
- Balance of power menjadi tidak terhindarkan, yang pembenarannya oleh Waltz dikuatkan melalui game theory. Negara bisa saling bekerjasama jika masing-masing pihak memandang bisa mendapatkan keuntungan satu sama lain, namun jika keuntungan akan didapat dengan merusak negara lain maka negara yang terancam ersebut akan menahan diri dari Tindakan meningkatkan kekuatannya demi menghindari risiko pada survival-nya.
Keamanan Internasional
Berdasarkan perspektif neorealis, struktur sistem internasional yang anarki menyebabkan keamanan nasional sebuah negara selalu di bawah ancaman konstan. Bagaimana negara harus menghadapi situasi tersebut, melahirkan dua perspektif yaitu defensive realism dan offensive realism. Dharmaputra dalam tulisannya yang mengulas mengenai Neorealisme memperjelas bahwa Defensive realist menekankan agar negara mengamankan posisinya dalam sistem internasional cukup dengan menjaga keamanan nasionalnya, dan tidak perlu berambisi meningkatkan power hingga menjadi negara yang hegemon. Dengan demikian balance of power terjaga dan menciptakan struktur sistem internasional yang multipolar.
Sebaliknya, offensive realist mendorong negara untuk memiliki strategi guna meningkatkan power semaksimal mungkin, bahkan menganggap ekspansi militer adalah kunci jika negara ingin menjamin keamanan dan survivalitasnya di tengah struktur internasional yang anarki. Penting untuk melakukan maksimalisasi kekuatan negara agar mampu memaksa negara lain untuk tidak bisa mengancam. Untuk meningkatkan kekuatannya sebuah negara mungkin menambah kapabilitas militernya, melakukan diplomasi unilateral, menerapkan sistem ekonomi merkantilisme, atau mengekspansi negara lain. Tujuan akhirnya adalah setiap negara akan berlomba menjadi negara hegemon di tingkat regional dan pada akhirnya di tingkat global (Dharmaputra, 2016).
Teori Deterrence
Deterrence (penangkalan) adalah upaya menghentikan atau mencegah suatu negara dari melakukan tindakan yang tidak diinginkan, seperti serangan bersenjata. Ada beberapa tipe tindakan deterrence, antara lain: (Mazarr, 2018)
- Denial versus punishment
Menangkal dengan strategi penolakan (denial) yaitu membuat suatu tindakan tidak mungkin dilakukan atau tidak mungkin terjadi, sehingga mencegah agresor mencapai tujuannya. Strategi ini bisa dilakukan pada saat peristiwa penyerangan terjadi, misalnya menghadapinya dengan kekuatan militer juga, atau menunjukkan aksi penolakan sehingga si agresor batal mewujudkan ancamannya. Sedangkan menangkal dengan strategi punishment yaitu mengancam atau menghukum secara keras seperti meningkatkan eskalasi nuklir atau sanksi ekonomi yang berat. Ini jelas meningkatkan biaya yang harus ditanggung negara aggresor akibat serangan yang dilakukannya. - Direct versus extended
Penangkalan dapat digunakan dalam dua jenis keadaan. Direct deterrence yaitu upaya negara untuk mencegah serangan di dalam teritorinya sendiri. Sedangkanextended deterrence melibatkan serangan-serangan oleh pihak ketiga seperti sekutu atau musuh, yang mana menyulitkan operasi militer untukmenghadapi serangan di lokasi yang sangat jauh atau dekat dengan teritori negara agresor. - General versus Immediate
Penangkalan dapat dilakukan pada dua jenis waktu. General deterrence terus- menerus dilakukan guna mencegah Tindakan-tindakan yang tidak diinginkan dalam jangka panjang dan situasi non krisis. Strategi ini dapat menciptakan keragu-raguan aggressor untuk melakukan serangan. Sedangkan immediate deterrence berjangka pendek dan mendesak untuk mencegah serangan tertentu yang segera terjadi, biasanya selama krisis. - Narrow versus broad deterrence
Penangkalan dapat dilihat ruang lingkupnya. Narrow deterrence menggunakan militer untuk mencegah aggressor melaksanakan serangannya, yang sesuai dengan konsep deterrence sebagai “pencegahan dengan cara mengancam untuk menolak tujuan tersegera dari musuh”. Sedangkan broad deterrence selain fokus pada ancaman serangan, juga memperluas hingga tindakan-tindakan non militer seperti sanksi ekonomi, pengucilan diplomatik, atau operasi informasi. Ini sesuai dengana konsep deterrence dengan melakukan ancaman yang menimbulkan hukuman berat dalam konteks perlawanan yang lebih besar.
Faktor-faktor Penentu Keberhasilan Deterrence
Dalam kajiannya Understanding Deterrence, Michael J. Mazarr (Understanding Deterrence, 2018) mengidentifikasi tiga faktor penting penentu sukses atau gagalnya sebuah strategi deterrence, yaitu:
1. Tingkat motivasi agresor. Jika si negara penangkal melihat alasan kecil untuk melakukan
agresi, maka tidak akan sulit untuk menangkalnya. Namun jika bagi agresor menyerang adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan tujuannya, maka akan cenderung sulit untuk menangkalnya. Tingkat ketidapuasan negara agresor potensial akan statusquonya akan meningkatkan kesungguhannya untuk melakukan agresi.
2. Kejelasan mengenai sasaran penangkalan dan tindakan-tindakan penangkalan yang akan diambil. Penangkalan akan sukses jika negara penangkal jelas mengenai apa yang akan ditangkal, dan apa yang akan dilakukan jika ancamannya diabaikan oleh si negara agresor. Selain itu harus dipastikan bahwa negara target penangkalan memahami pesan yang disampaikan.
3. Agresor harus yakin bahwa negara penangkal memiliki kapabilitas dan akan merealisasikan ancamannya.
Indikator efektivitas preventive diplomacy
Deterrence sebagai salah satu komponen dari preventive diplomacy dapat diukur efektivitasnya dengan menggunakan indikator efektivitas preventive diplomacy. Keberhasilan suatu preventive diplomacy sangat dipengaruhi oleh eksistensi great power. Menurut Barry H. Steiner, preventive diplomacy akan berhasil jika ada tindakan kolektif great power untuk menggalang internasional dan menciptakan pengendalian terhadap negara yang mengalami konflik apabila dibutuhkan. Nyatanya negara great power seringkali melibatkan diri dalam konflik diantara negara-negara kecil untuk kemudian mengambil peran kepemimpinan dengan mendorong penyelsaian masalah oleh lembaga internasional melalui internasionalisasi konflik lokal (Deandra, 2021).
Tim peneliti Efektifitas Preventive Diplomacy Indonesia di ASEAN dalam Menanggapi Konflik Kudeta Militer Myanmar menggunakan formulasi dari Amanda Huan dan Ralf Emmers terkait variabel-variabel yang menentukan keberhasilan preventive diplomacy di Asia Tenggara. Terdapat tiga indikator yang akan diuji dalam kasus penelitian ini, yaitu (Huan, 2016):
- Tingkat intervensi dan ketertarikan negara great power di dalam konflik yang sedang terjadi. Semakin tinggi ketertarikan dan intervensinya, maka dapat menimbulkan kompleksitas konflik yang terjadi di kawasan terkait.
- Legitimasi aktor yang melakukan preventive diplomacy, yaitu kepercayaan normatif oleh suatu negara bahwa aturan atau institusi harus dipatuhi, sehingga akan membantu kesediaan negara yang sedang mengalami suatu konflik untuk mengikuti tindakanpreventive diplomacy yang sedang berlangsung. .Legitimasi aktor yang sedang melakukan preventive diplomacy juga dapat berubah dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh keberhasilan preventive diplomacy yang dilakukannya terdahulu..
- Bentuk perjanjian yang ingin dihasilkan dalam preventive diplomacy tersebut. Semakin kompleks konfliknya, semakin kompleks pula perjanjian yang akan disepakati, makapreventive diplomacy yang dilakukan dapat menyebabkan kegagalan. Kompleksitas perjanjian dapat dipengaruhi oleh jumlah pihak yang mengejar tindakan preventive diplomacy, ruang lingkup perjanjian, tingkat ketidakpercayaan antar pihak, dan tingkatan motivasi para pihak untuk mencapai kesepakatan..
Gagalnya salah satu indikator dapat menyebabkan preventive diplomacy yang diupayakan menjadi tidak efektif, bahkan jika ketiga indikator tidak menunjukkan hasil maka upayapreventive diplomacy yang dilakukan secara keseluruhan gagal.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
Indo-Pasifik, suatu terminologi baru yang diciptakan oleh Amerika beserta negara aliansinya, untuk mengganti istilah kawasan Asia Pasific, yang kini menjadi salah satu kawasan ekonomi paling penting di dunia.
Tata Kelola Indo-Pasifik yang dimotori oleh Quad, yaitu ; Amerika, india, Jepang dan Australia berupaya untuk membangun kawasan ekonomi, politik dan keamanan Indo-Pasifik dengan caya mendapatkan dukungan dari negara-negara sekitar, termasuk di kawasan ASEAN.
Indo-Pasifik diharapkan dapat menghambat laju Belt Road Initiative (BRI) yang didorong oleh China, untuk kawasan Asia Pasific sampai Asia Selatan dan Timur Tengah.
Tampaknya inisiatif Indo-Pasifik yang berhadapan langsung dengan Belt Road Initiative akan menjadi perang dingin baru di kawasan Asia Pasifik, baik secara ekonomi, politik maupun keamanan.