Terus menyelami ilmu pengetahuan, membawanya melebihi pencapaian sang Ayah, terlebih ia seorang perempuan. Sebuah buku berjudul Ecclesiastical Histroy karya Socrates Scholasticus menuliskan, “Hypatia, putri ilmuwan Theon, membuat pencapaian luar biasa dalam kesusastraan dan sains, sehingga jauh melampaui semua filsuf pada masanya.” Hypatia tak hanya brilian dengan penemuan-penemuannya, tetapi membantah anggapan bahwa perempuan makhluk kelas dua. Mengubah stereotipe tentang perempuan. Hypatia menjadi api sejarah bagi emansipasi perempuan.
Jauh sebelum Galileo dan Copernicus yang menggambarkan model bumi, perdebatan antara bumi bulat dan datar. Penelitian yang dilakukan Hypatia tentang astronomi lebih dulu mengungkapkan kebenarannya. Ia melewati perkiraan zamannya, dengan metode yang luar biasa lewat pemikiran dan penemuannya. Hypatia memiliki kekuatan pikiran dan keberanian yang menuntun kemajuan bagi sesama, bagi peradaban. Hypatia pernah mengatakan, “Peliharalah dengan sungguh-sungguh hak dan kesempatan anda untuk berpikir, karena bahkan berpikir yang salah jauh lebih berharga dari pada tidak berpikir sama sekali.” Sosok perempuan cerdas dan brilian ini mencerminkan kebebasan berpikir dan nilai-nilai kesetaraan. Fitur penting dalam demokrasi yang dianut masyarakat hari ini.
Riset astronomi yang dilakukannya itu mengemukakan bahwa bumi itu bulat. Atau yang disematkan sebagai pendukung Helliocentris, bertentangan dengan posisi institusi agama yang menganut keycentris. Pemikirannya membawa ia berbeda pandangan dengan lembaga keagamaan. Keberanian berpikir yang luar biasa. Sikap Peresia, keberanian untuk berkata terus terang. Posisi ini jelas beresiko besar.
Hypatia juga mengkritik apa yang disebut dengan formalisme agama atau kesalehan palsu. Dalam ranah sosial, ini menjadi manipulasi bahasa atas nama agama, agama yang dipakai untuk melayani kepentingan politik. Bagi Hypatia, yang semacam ini membuyarkan esensi agama. Kritikan Hypatia sontak menganggu kemapanan pemuka agama yang rakus kekuasaan, tersebutlah Cyril sosok pemuka agama sezaman dengan Hypatia, atau lebih tepatnya seorang setengah pemuka agama setengah politisi. Sosok yang menunggangi agama untuk syahwat politiknya. Kala itu dengan bertumbuhnya kekaisaran Romawi, agama Kristen berkembang sebagai satu kekuatan politik. Bersamaan dengan itu, konflik antara paganism dan penganut Kristen sedang memanas di Alexandria.
Hypatia hidup tatkala, suhu politik mendidih. Konflik bersiap meletus. Bumbu fanatisme agama membuat perebutan kekuasaan bertambah kacau dan semrawut. Hypatia berada di pusaran itu, yang palungnya tak terkirakan dalamnya. Kerumitan itu bertambah dengan kedekatan Hypatia dengan Orestes, salah seorang petinggi kota Alexandria, gubernur kota yang rasional. Orestes kerap meminta nasihat Hypatia dalam pengambilan kebijakan. Hypatia sejatinya adalah orang yang moderat, sosok pengajar yang mumpuni. Dimensi ini sejatinya membuatnya berdiri di atas sektarian agama. Ia memiliki banyak murid dari berbagai latar belakang kepercayaan, salah satunya adalah Sinesius, yang kemudian menjadi Uskup Ptolemais.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
Satu hal yang sulit saya cerna: disebutkan bahwa Hypatia lahir tahun 355 SM. Kemudian ditulis juga bahwa ia mengkritik formalisme agama untuk kepentingan politik, ketika agama kristen tumbuh sebagai kekuatan politik.
Oh, tahun 355 SM sudah ada agama kristen?