Simaklah hasil Tes Programme for International Student Assessment (PISA). Anak-anak Indonesia tercatat berkemampuan literasinya rendah. Skor PISA di 2018, bangsa Indonesia berada di peringkat ke-74 dari 79 negara. Anak-anak Indonesia tentu saja bisa membaca. Tapi mereka belum tentu mampu memahami dan menganalisis apa yang mereka baca dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Rendahnya kemampuan literasi menurut analisis PISA ini, pun diperkuat oleh data UNESCO tahun 2019: tercatat hanya 3 dari 10 orang Indonesia memiliki minat membaca.
Alih-alih menemukan jalan keluar menuju masyarakat rasional, bangsa Indonesia tiba-tiba dipaksa menukik tajam memasuki babak sejarah baru melalui “disrupsi besar” buah revolusi digital, di mana problematika sosial, politik, dan ekonomi serta lingkungan kini hadir semakin kompleks dan simultan baik di tingkat global, nasional maupun lokal. Revolusi digital yang produk populernya di tengah masyarakat adalah “kebudayaan sosmed” bukan hanya menambah kepelikan, namun semakin tampak membawa bangsa ini kembali menapaki karakter bangsa lisan daripada tulisan.
Celakanya, bersamaan saat Indonesia tengah belajar mengeja modernisme, loncatan eksponensial inovasi teknologi telah menggerakan mesin kapitalisme sebegitu cepat sekaligus mengubah karakter paradigmatiknya menjadi postmodernism. Dari rahim inilah lahir paradoks besar, yaitu: sikap “ultra relativisme”, penguatan primordialisme etnis dan agama maupun kombinasi keduanya, munculnya gerakan deglobalisasi dan tren populisme. Fenomena ini secara global muncul bak cendawan di musim hujan. Dan titik terjauh konsekuensi postmodernism adalah apa yang hari ini kita sebut post-truth.
Indonesia tentu tak imun dari kecenderungan global tersebut. Dengan latar belakang ini, alih-alih bakalan sanggup memekarkan rasionalitas, fenomena narasi politik dalam modus lisan seperti dilakukan RG bukan mustahil justru menghadirkan sisi sebaliknya. Modus lisan RG bakalan sekadar memantik penguatan primordialisme dan fenomena post truth beserta berkembangnya narasi politik-identitas berbasis kebencian sebagai konsekuensinya. Bukan kekuatan argumen bertumbuh, sebaliknya malah kekuatan sentimen berkecambah.
Menulislah, Bung Rocky!