Oleh: Kartika Rini Ayuningtias & Muhammad Novan Prasetya*
Apa sih Flexing?
Menurut kamus Merriam Webster, Flexing diartikan to make an ostentatious display of something: show off, atau memamerkan sesuatu atau yang dimiliki secara mencolok. Keinginan untuk mendapatkan kekayaan tidak hanya menjadi sarana pemenuhan kebutuhan hidup dan keinginan hidup nyaman, tetapi juga agar dihargai secara sosial. Kita dapat melihat dari kacamata Veblen dalam membaca realitas ini, ada pertanyaan mendasar yang dipakai yaitu “Bagaimana agar orang menghargai saya?”. Menurut Veblen landasannya tidak lain adalah “kepemilikan kekayaan”. Corrigan (1997) mengatakan bahwa kekayaan menjadi landasan kehormatan, harga diri, atau status sosial seseorang di tengah masyarakat (Indra dkk, 2020). Flexing merupakan perilaku serupa dengan aksi pamer harta dengan alasan naiknya harga diri dan status sosial telah dicetus oleh Veblen pada tahun 1899. Aksi pamer ini disebut dengan conspicous consumption atau konsumsi mencolok.
Flexing Pejabat Hasil Korupsi ?
Sekarang album foto sudah dipindahkan ke dunia digital. Walau diproteksi, tetapi sebagian rekan bisa membaca. Nah, rekan-rekan ini yang sering meng-capture dan menyebarkan ke keluarganya, “Mas, kok dia bisa jalan-jalan ke Prancis, kita enggak?” “Kok bisa ke Swiss, kita enggak?” “Kok mereka bisa pakai kerudung Guci?”. Mereka juga terpengaruh bahwa ada orang lain yang bisa bergaya hidup mewah. Dia juga ingin, jadi fenomena FOMO (fear of missing out/takut ketinggalan tren) sekarang tidak hanya di kalangan anak muda, tapi sudah tertular ke orang-orang tuanya yang punya uang. Dan mereka kemudian memamerkan. Pejabatnya bisa pintar, tapi anaknya enggak pintar.
Flexing di kalangan pejabat sendiri tentunya membuat stigma yang berkembang di masyarakat semakin tinggi.
Karena informasi gaji ASN (Aparatur Sipil Negara) serta aparatur pemerintah lainnya sangat mudah dicari dalam laman internet manapun, sehingga masyarakat membuat opini “kok bisa sih pejabat serta keluarganya dapat memamerkan barang-barang mahal serta branded di media sosial?”. Rasanya berlebihan jika dengan gaji ASN tidak seberapa namun gaya hidup mereka begitu mewah di Media Sosial. Walaupun mugkin saja mereka memiliki usaha sampingan di balik itu, namun netizen keburu menjadi detektif dadakan dan mencari tahu segala informasi dari para pejabat yang flexing ini. Tidak sedikit kecurigaan dari netizen itu benar adanya di mana ada penyelewengan dari para pejabat yang flexing. Sehingga jika ada kejadian serupa yaitu para pejabat ataupun keluarga pejabat yang lain mulai flexing di media sosial, masyarakat sudah menaruh kecurigaan terlebih dahulu. Masyarakat belajar dari pengalaman yang terdahulu jika pejabat yang flexing ini kebanyakan dari hasil korupsi, sehingga sekarang berkembang stigma bahwa pejabat Flexing = Korupsi.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>