Posisi Penting Identitas Islam dalam Pemilu
NasDem lebih gesit melakukan terobosan harmonisasi Nasionalis-Islam. Posisi Anies yang semula digempur dengan stigma dekat dengan kelompok Islam intoleran bisa dinetralkan dengan menggandeng Cak Imin.
Kalkulasi Surya Paloh dengan koalisinya tak berlaku bagi Gerindra yang mulai mantap melangkah dengan pencapresan Prabowo setelah Demokrat berlabuh di dermaganya dan tak merisaukan sikap Golkar yang belum tegas meski berada dalam koalisinya.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan, bagaimana Gerindra menyikapi takdir duet Nasionalis-Islam? Apakah dengan menerima Cawapres dari Demokrat atau Golkar yang nota bene berasal dari kubu nasionalis demi mengamankan 20 persen untuk pendaftaran resmi di KPU? Ataukah menggandeng Erick Thohir yang diajukan oleh PAN yang prosentase elektoralnya rendah dengan mengabaikan harapan Demokrat dan Golkar yang prosentase elektoralnya lumayan tinggi?
Prabowo dengan jejak masa lalu, yang kerap dipersoalkan oleh para aktivis, tentu memerlukan dukungan kalangan Nahdliyin untuk memenangkan Pilpres. Inilah dilema yang mungkin membuat Gerindra hingga kini belum menentukan secara resmi sosok bakal Cawapresnya.
Apakah PDIP yang punya modal prosentase electoral threshold berani menjodohkan salah satu “petugas partai”-nya yang dicapreskan dengan sosok NU di luar PKB demi memadukan kelompok Nasionalis dan Islam?
Hampir pasti, kini NU sebagai Ormas tidak lagi direpresentasi oleh salah satu partai politik, sebagaimana dipahami dari beberapa pernyataan Gus Yahya Staquf. Bila Ganjar -yang nasionalis- diduetkan dengan Bacawapres dari partai nasionalis pula, dan bila Prabowo menggandeng Bacawapres dari Demokrat dan Golkar, yang nasionalis, dan seandainya Prabowo disandingkan dengan Ganjar atau sebaliknya, maka sangat mungkin Koalisi Perubahan diuntungkan karena yang mewakili NU di arena hanya Cak Imin yang sudah menjadi calon resmi Capres Anies.
PDIP bisa saja mengambil salah satu tokoh NU dari PPP meski pengaruh elektoralnya tak sebesar PKB.