More

    Kalkulasi Politik Konstelasi Pemilu 2024

    Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Politis

    Partai-partai nasionalis di atas kecuali PDIP tak punya pengaruh kultural yang membuatnya tetap kuat secara elektoral karena lebih mengandalkan Nasionalisme rasional.

    Demokrat yang tak berada dalam koalisi Pemerintahan Jokowi yang dipimpin PDIP mengalami serangkaian problema konflik yang menghambat konsolidasi jelang Pemilu 2024. Rendahnya elektabilitas figur yang diusungnya sebagai bakal Cawapres dan cairnya massa pendukungnya membuat posisi tawarnya lemah. Karena kompetisi politik saat ini berbasis kepentingan, bukan ideologi, komposisi koalisi partai-partai bisa berubah cepat dan drastis.

    - Advertisement -

    Demokrat merasa dikhinanati oleh NasDem yang memerlukan massa kultural partai Islam tradisional yang punya captive market terutama di Jawa Timur guna melengkapi suara Capresnya. Dalam bursa politik pragmatis, sebenarnya penggunaan frasa “pengkhianatan” tak lagi relevan.

    Gerindra bisa dianggap sebagai partai nasionalis yang longgar karena sempat “akrab” dengan PKS dan kelompok massa Islam yang membangun sikap oposisi jalanan pada Pemilu lalu. Namun sejak menjadi partai koaliasi Pemerintah yang terpilih untuk kali kedua terutama jelang Pemilu 2024 ia menjaga jarak dengan oposisi Islam non partai.

    NasDem yang sadar diri tak punya pengaruh kultural di kalangan massa nasionalis merasa perlu mengembangkan strategi guna mempertahankan eksistensinya dalam setiap kontestasi politik.

    Karena posisi politiknya dalam Pemilu cenderung fluktuatif, ia menghitung dengan cermat konstelasi dan memutuskan untuk menggandeng dua partai bercorak Islam dan punya captive market yang kuat demi memenuhi syarat minimum elektoral dalam pencapresan dan mengusung figur independen yang sempat dekat dengan kelompok oposisi Islam garis keras pada Pilkada DKI yang telah berlalu.

    Jagad politik negeri ini geger ketika Ketua Umum partai NasDem, Surya Paloh (SP) mengumumkan Gus Imin yang merasa di-PHP oleh Gerindra, sebagai Bacawapres Anies Baswedan.

    Ada dua sumber gegernya; Pertama, kehadiran PKS dalam koalisi pengusung Anies yang nota bene berseberangan secara kultural dan keagamaan meski sama-sama bercorak Islam; Kedua, PKB yang dikenal sebagai partai besutan para tokoh NU menentang Islam politik yang beraroma garis keras.

    PKS sendiri tidak serta merta mengafirmasi langkah cepat itu, meski akhirnya menyatakan dukungan resmi atas pencawapresan Ketua Umum PKB, Cak Imin, karena tidak punya pilihan lain.

    Di sisi lain, Demokrat yang menginginkan AHY dijodohkan dengan Anies sebagai Cawapres merasa dikhinanati oleh keputusan sepihak NasDem.

    Di atas kertas, SP memastikan dukungan PKS sebelum menyatakannya secara resmi. SP juga tak terkejut dengan keputusan Demokrat meninggalkan koalisi pro Anies karena suara dukungan massa NU, meski hanya setengah, yang tetap memegang teguh PKB lebih nyata ketimbang suara massa Demokrat yang belum jelas. Bersama PKB dan PKS, NasDem bisa lega dengan modal kira-kira 26 persen untuk mendaftarkan paket Capres dan Cawapresnya.

    Karena berideologi Nasionalisme modern yang elastis, NasDem tak canggung berkoalisi dengan partai nasionalis dan Islamis. Karena itu, ia bisa beradaptasi dengan PKS. NasDem juga tak sulit untuk berkoalisi dengan PKB. Mantan petinggi PKB, Effendy Choirie (Gus Choi), yang kini menjadi pengurus inti NasDem terduga kuat memainkan peran penting dalam penduetan Anies dan Muhaimin.

    Sebagai partai berbasis kader, PKS punya massa pendukung yang terikat secara ideologis terutama di wilayah perkotaan dan kelas menengah di DKI, Jabar, dan Banten serta luar Jawa. Inilah yang telah dikalkulasi oleh NasDem.

    Secara ringkas, NasDem berhasil memadukan dua kekuatan politik Islam yang berlainan sekaligus keduanya untuk transformasi dan adaptasi.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here