More

    Negara Harus Memastikan Penyandang Disabilitas dan Kaum Perempuan Mendapat Pekerjaan dan Upah yang Layak

    Ilustrasi: Mahasiswa dari berbagai kampus memperingati Hari Perempuan Internasional di depan Gedung Sate, Kamis, (08/03/2018). Foto. Ahmad Fauzan

    Jakarta, 20 November 2024 — Penyandang Disabilitas berhak atas pekerjaan dan upah yang layak. Negara wajib melindungi, memenuhi dan memajukan hak tersebut, seperti disebutkan dalam peraturan perundangan.

    Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UUPD) No. 8 Tahun 2016, yang mengatur 22 hak dasar, termasuk hak atas pekerjaan dan upah yang layak serta akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. UUPD menegaskan, perusahaan swasta wajib mempekerjakan Penyandang Disabilitas minimal 1 persen dari total yang dipekerjakan, sedangkan perusahaan negara dan lembaga negara wajib mempekerjakan minimal 2 persen Penyandang Disabilitas dari total yang dipekerjakan. UUPD pun menyebutkan, akan memberikan insentif kepada lembaga dan perusahaan negara maupun perusahaan swasta yang memenuhi hak-hak Penyandang Disabilitas. Sebaliknya, setiap orang yang menghalang-halangi dan/atau melarang hak Penyandang Disabilitas diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp200 juta (Pasal 145).

    Namun, implementasi UUPD menghadapi tantangan besar. Pada bulan September 2024, LIPS (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane) melakukan riset aksi dengan metode wawancara dan diskusi terfokus. Hasil riset memperlihatkan bahwa para penyandang disabilitas mengalami hambatan memasuki dunia kerja karena lingkungan sosial, stigma dan dunia kerja yang belum inklusif, tidak ramah gender dan cenderung membahayakan keadaan fisik dan mental.

    - Advertisement -

    1. Stigma terhadap Penyandang Disabilitas

    Penyandang Disabilitas masih dianggap bukan manusia baik oleh lingkungan sosial, oleh negara maupun perusahaan. Peraturan perundangan-undangan dan lembaga pemerintah masih menggunakan kata “cacat fatal” untuk buruh yang mengalami kecelakaan kerja, menyebabkan keterbatasan fisik dan mental. Misalnya data yang disediakan oleh BPJS Jamsostek. “Cacat” adalah istilah yang dipergunakan untuk barang bekas bukan manusia.

    Selain itu, informasi lowongan kerja baik di perusahaan negara, lembaga pemerintah dan swasta masih mencantumkan syarat-syarat yang membuat Penyandang Disabilitas tidak dapat melamar kerja.

    “Semestinya dalam mekanisme rekrutmen tidak boleh mengiklankan syarat-syarat kerja yang mendiskriminasikan pelamar kerja,” kata Kusuma Dewi dari PPEE FSPMI.

    “Memang ada Penyandang Disabilitas yang dipekerjakan di perusahaan swasta maupun negara, tapi keberadaanya sekadar menunaikan kewajiban. Buruh tidak mendapatkan akomodasi yang layak untuk mendapatkan pekerjaannya,” kata anggota HWDI.

    Umumnya, para Penyandang Disabilitas selalu dianggap memiliki kekurangan. Kalau pun diberikan pelatihan selalu penuh dengan stigma. “Misalnya, Penyandang Disabilitas Netra berikan pelatihan memijat. Itu menganggap kami tidak memiliki kemampuan apapun,” kata anggota HWDI.

    Stigma buruk terhadap Penyandang Disabilitas bukan sebagai manusia dan warga yang memiliki hak yang setara terlihat dalam pembentukan KND (Komisi Nasional Disabilitas) di bawah Kementerian Sosial. “Itu menandakan bahwa negara menganggap Penyandang Disabilitas sebagai permasalahan sosial bukan masalah tanggung jawab negara menghormati hak mereka,” kata Kokom Komalawati.

    2. Diskriminasi Penyandang Disabilitas, Khususnya Perempuan

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here