2. Diskriminasi Penyandang Disabilitas, Khususnya Perempuan
Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas tetap menjadi masalah signifikan. Sebagai contoh, seorang penyandang disabilitas netra yang lulus seleksi kerja di perusahaan BUMN akhirnya dipindahkan ke anak perusahaan tanpa penjelasan yang jelas. Kasus lain melibatkan Penyandang Disabilitas mental yang tidak mendapatkan akses untuk sertifikasi keahlian karena tidak adanya pengakuan atas kebutuhan khusus mereka.
“Di tempat kami memang ada beberapa buruh yang bekerja sebagai Penyandang Disabilitas Tuli. Tapi mereka tidak diberikan akomodasi yang layak baik untuk bekerja maupun untuk berkomunikasi dengan rekan kerjanya, “ kata Zaenal Rusli.
3. Informalisasi Pekerjaan Penyandang Disabilitas
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, terdapat 22,97 juta Penyandang Disabilitas, dengan sekitar 17 juta orang dengan usia produktif. Dari jumlah tersebut, semestinya terdapat 510.000 Penyandang Disabilitas yang bekerja di sektor formal. Namun, data menunjukkan hanya 5.825 orang yang terserap di sektor ini, dengan mayoritas lainnya terjebak di sektor informal.
Sektor informal sering kali menjadi “jalan terakhir” bagi Penyandang Disabilitas, tetapi tanpa perlindungan hukum, jaminan sosial, atau upah layak. Hampir 43 persen Penyandang Disabilitas bekerja di sektor pertanian, 17,55 persen di manufaktur, dan sisanya di sektor jasa. Ketiadaan akses ke sektor formal menunjukkan bahwa Penyandang Disabilitas kerap dipinggirkan dari kesempatan kerja yang adil.
4. Kondisi Kerja yang Buruk
Kondisi kerja yang buruk merupakan salah satu penyumbang tingginya Penyandang Disabilitas. Buruh menjadi Penyandang Disabilitas karena kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja dan tekanan mental. Data BP Jamsostek 2021 menyebutkan, jumlah orang yang mengalami kecelakaan dan penyakit akibat kerja meningkat dari 210.789 pada 2019 menjadi 234.370 pada 2021.
“Kebanyakan kasus, jenis-jenis kecelakaan kerja tidak dilaporkan oleh perusahaan sebagai kecelakaan kerja. Padahal kecelakaan kerja tersebut akibat kondisi kerja yang tidak aman. Akibatnya, biaya perawatan kesehatan ditanggung sendiri oleh buruh. Setelah mengalami kecelakaan kerja dan menyebabkan disabilitas tidak ada jaminan mendapatkan pekerjaan,” kata Ajat Sudrajat.
Program RTW (Return to Work), yang disediakan oleh pemerintah tidak efektif. Dari total korban kecelakaan kerja hanya 985 orang yang telah kembali bekerja. Artinya, sebanyak 233,385 buruh yang mengalami kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja tidak mendapatkan pekerjaan kembali.
“Karena buruh yang mengalami kecelakaan kerja dihadapkan dengan pasal sakit berkepanjangan (longillness). Sehingga buruh yang mengalami kecelakaan kerja atau terkena suatu penyakit dalam jangka waktu lama, upahnya akan terus menurun hingga dipecat,” terang Anggie Ero dari FSBN KASBI (Federasi Serikat Buruh Nusantara Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia).
“Peraturan itu yang menyebut kecelakaan kerja sebagai longillnes merupakan lepasnya tanggung jawab negara,” tambah Ajat Sudrajat LION.
“Sebenarnya, peraturan perundangan melarang perusahaan memecat buruh yang mengalami kecelakaan kerja. Nyatanya, buruh yang mengalami kecelakaan kerja dipecat dengan alasan putus kontrak dan alasan-alasan yang dibuat-buat,” tambah Ajat Sudrajat dari LION.
Menuju Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas di Dunia Kerja: Membongkar Ketimpangan, Membangun Kesetaraan
Bersambung ke halaman selanjutnya –>