Oleh: Mikhail Adam*
Ghassan Fayiz Kanafani lahir di Acre, Palestina tahun 1936. Dia masih berusia 12 tahun kala dirinya dan keluarganya diusir dari Palestina saat peristiwa Nakba pada tahun 1948. Nakba adalah hari bencana. Tragedi terusirnya ratusan ribu orang Palestina dari Tanah Airnya.
Ini menjadi malapetaka yang memilukan bagi bangsa Palestina, sebagai individu dan kolektif. Momen itu menyajikan pemandangan gamblang antara penindas dan yang ditindas, dalam hal ini bangsa Palestina yang dijajah Israel dalam benak Kanafani kecil. Ini pula yang menjadikan kesadaran atas tragedi itu melekat dalam dirinya.
Setelah peristiwa kelam itu, hidupnya berada dalam pusaran diaspora. Perjalanan hidupnya melintasi Damaskus, singgah ke Kuwait, hingga Beirut. Damaskus menjadi rute penting bagi Kanafani. Di kota ini ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Damaskus. Menempuh studi Sastra Arab yang tak pernah diselesaikannya.
Momen berkesan lain di Damaskus adalah saat ia bekerja di sebuah percetakan. Pekerjaan yang mendekatkannya dengan buku-buku. Sesuatu yang membuatnya berjabat erat dengan membaca dan menulis sebagai sikap budaya. Pagi ia menunaikan pekerjaannya di percetakan. Pada malam hari ia giat membaca buku-buku.
Bagi Kanafani, terusir dari Tanah Air dan menjadi pengungsi adalah realitas yang membentuk dirinya. Bersamaan dengan panggilan suci menempuh jalan perjuangan. Pembebasan Palestina.
Gejolak itu yang membawanya menulis dengan serius. Dalam artian menulis sebagai bagian dari perjuangan Palestina.
Salah satu karya tulis di masa awal kepenulisannya adalah tulisan berjudul ‘ The Land of Sad Oranges (1962).’ Lewat karya ini Kanafani menarasikan peristiwa Nakba dari sudut pandang anak-anak. Sesuatu yang menjadi bagian dalam dirinya, kala ia harus terusir dari Tanah Kelahirannya, Palestina.
Ia menggambarkan pengusiran itu dengan, ‘Yang lain’ yang menyapu bangsa Palestina dari Tanah Airnya. Penggambaran ‘Yang lain’ ini adalah para zionis yang menyerang Palestina. Invasi Zionis ini menjadi alasan di balik pengungsian orang-orang Palestina.
Berikutnya dengan kiasan yang menyayat hati ia menuliskan, “Kita berjejal di sini, terenggut dari masa kecil kita, jauh dari negeri jeruk. Jeruk yang mati, tepat seperti yang dikatakan seorang petani tua pada kita, jeruk akan mati ketika tangan-tangan asing yang menyiraminya.”
‘The Land of Sad Oranges’ atau ‘Negeri Jeruk yang Sedih’ adalah gambaran negeri Palestina yang diterpa nestapa. Sebuah malapetaka bagi orang-orang Palestina karena dipisahkan dari Tanah Airnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>