Sementara dalam sebuah upaya terkait kondisi internal Palestina. Kanafani bersama kawannya menerbitkan satu kritik-otokritik yang menyegarkan dan berani terkait perjuangan Palestina dalam tulisan ‘The Resistance and its Problem (1970),’ Diuraikan dalam analisis itu tiga faktor penting yang saling berhubungan dalam perjuangan Palestina. Pertama mengenai garis perlawanan politik-teoretis, kedua pertanyaan tentang praksis — khususnya dimensi perjuangan bersenjata, dan terakhir pertanyaan tentang organisasi dan kepemimpinan yang menyediakan dua faktor pertama dengan hubungan dialektis yang diperlukan.
Mengingat aktivitas politik seorang Kanafani yang meningkat, berhadapan bahaya, dan berisiko tinggi. Lamees Najim, keponakannya yang masih berusia 17 tahun telah mengingatkannya untuk berhati-hati dan lebih memfokuskan diri untuk menulis. Sesuatu yang merupakan bakat istimewanya.
Suatu waktu Lamees mengatakan, “Cerita-ceritamu indah.” Seraya meminta sang paman untuk mengurangi kegiatan politiknya. Dengan menulis bagi Lamees lebih aman untuk keselamatan Kanafani.
Mendengar itu Kanafani mengucapkan, “Aku menulis dengan baik karena aku percaya pada suatu tujuan, pada prinsip. Pada hari aku meninggalkan prinsip-prinsip ini, ceritaku akan menjadi kosong. Jika aku meninggalkan prinsip-prinsipku, kamu sendiri takkan menghormatiku.” Kanafani mencoba meyakinkan anak itu bahwa memegang prinsip dan teguh dalam perjuangan menjadi kunci keberhasilan yang sesungguhnya.
Tak lama berselang dari percakapan itu. Kanafani berencana pergi bersama Lamees.
Beirut pagi itu, 8 Juli 1972 menjadi saksi bisu. Tatkala Kanafani dan Lamees yang hendak pergi, sesaat menaiki mobil Austin 1100. Begitu mesin mobil dinyalakan. Bom meledak. Ledakan dari bom yang ditanam Mossad, intelejen Israel di mobil itu menewaskan Kanafani dan Lamees seketika.
Ghassan Kanafani menjadi martir di usia 36 tahun. Dalam usia mudanya, ia telah meraih sebuah pencapaian tertinggi sebagai seorang pejuang. Terlebih ia menandai penulis Arab pertama yang syahid dalam proses pembebasan. Ia melengkapi gagasan sastra perlawanan dengan gerakan perlawanan itu sendiri. Sesuatu yang menjadikannya paripurna, sebagai manusia, sebagai penulis, dan sebagai pejuang.
*Penulis adalah Alumni Fisip Universitas Kristen Indonesia (UKI), Anggota Free Palestine Network (FPN) dan anggota Klub Menulis Kabar Kampus.