More

    Dunia Bergerak ke Puncak Perlawanan; Indonesia ke Samudra Negosiasi

    Oleh: Elok Mahbub*

    Di tengah gelora solidaritas global yang memuncak—dari jalanan London hingga kampus Washington, dari universitas Cape Town hingga alun-alun Jakarta—rakyat dunia bagaikan pendaki yang menancapkan bendera perlawanan di puncak gunung ketidakadilan. Sementara itu, Indonesia justru terasa “diseret” menjauh, terombang-ambing di lautan diplomasi yang seolah tak bertepi: terbuka bagi normalisasi, tapi bersyarat pada kemerdekaan yang bahkan belum nyata di tanah Palestina itu sendiri.

    Puncak Perlawanan yang Semakin Terjal

    - Advertisement -

    Gerakan pro-Palestina hari ini bukan sekadar unjuk rasa. Di banyak kota, jutaan orang menuntut penghentian total agresi, blokade, dan genosida. Mereka menuntut agar demokrasi tak hanya berlaku di dalam negeri, tetapi juga pada negara-negara berdaya yang membiarkan korban anak-anak tak berdosa berserak di puing. Solidaritas ini tumbuh bak api gunung berapi, mengguncang opini publik dan memaksa beberapa negara Eropa—Spanyol, Irlandia, Norwegia—untuk mengakui Palestina dan meninjau ulang hubungan militer serta dagang dengan Israel.

    Laut Diplomasi yang Mendera Indonesia

    Di sisi lain, Jakarta muncul dengan wacana “membuka hubungan diplomatik dengan Israel, asalkan Palestina merdeka dulu.” Alih-alih tampil tegas, posisi ini terkesan ragu dan akhirnya tampak berlebihan:
    – Terlalu berat syaratnya. Kemerdekaan fisik dan kekuasaan nyata bagi Palestina kian mustahil, setelah wilayahnya terfragmentasi dan dihancurkan.
    – Terlalu dangkal retorikanya. Saat darah mengalir deras di Rafah, “dua negara merdeka” menjadi jargon tanpa daging.
    – Resikonya tinggi, untungnya minim. Pemerintah membuka diri terhadap kritik domestik, tanpa keuntungan diplomatik ataupun moral yang jelas.

    Dengan sikap seperti ini, Indonesia seakan kehilangan “mata” atas semangat dunia yang kini menuntut tindakan nyata, bukan janji yang terjebak di ruang rapat.

    Dua Negara, Satu Halangan: Realitas di Lapangan

    Rencana dua negara merdeka—Israel dan Palestina—telah retak di setiap sambungan: – Luas wilayah terkikis. West Bank dan Gaza bersama-sama tak lebih dari 6.000 km2, dengan mayoritas tanah berada di bawah kontrol Israel.

    Pemukiman ilegal terus meluas. Ratusan ribu pemukim baru menancapkan pondasi di tanah yang diharapkan jadi ibu kota negara Palestina. Blokade dan enclave. Gaza terisolasi, West Bank terpecah menjadi ratusan enklave terpisah—tidak ada jalur koheren bagi sebuah negara yang berdiri sendiri.

    Indonesia dan Meta-Comply Diplomasi

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here