More

    Konektivitas Pemerintah Daerah dan Diapora Minangkabau: Tugas Akademisi!

    Oleh: Muhammad Farhan Suhu*

    Istana Pagaruyuang. (Foto: Rodney Ee via wikipedia)

    Oleh: Muhammad Farhan Suhu*

    Dalam konteks pembangunan berkelanjutan ada beberapa penghalang yang akhirnya menjadi penghambat, faktor utamanya adalah pembiayaan yang tidak mencukupi untuk mempercepat laju pertumbuhan tersebut. Berdasarkan penuturan Kepala BAPPEDA provinsi Sumatera Barat yang sempat diwawancarai beberapa waktu lalu, terkait biaya yang digelontorkan oleh para diaspora Minang terhadap kampung halamannya mencapai angka triliunan rupiah berdasarkan data yang didapat oleh lembaga penelitian ekonomi UNAND dari OJK dan Bank Indonesia. Dengan angka yang begitu besar semestinya menjadi faktor pendukung untuk membantu Pemerintah dalam pengembangan dan pembangunan daerah.

    - Advertisement -

    Di luar masalah koordinasi dan alur komunikasi yang belum jelas, pihak Pemerintah mengaku sudah melakukan hal yang tepat dilihat dari pemberitaan yang beredar di media sosial ataupun media masa. Klaim Pemerintah ini bertentangan dengan data yang penulis dapat pasca melakukan wawancara dengan beberapa diaspora. Menurut mereka belum dirasakan andil signifikan yang dilakukan oleh Pemerintah sehingga pergerakan yang dilakukan diaspora lebih bersifat individual dan belum terorganisir secara jelas.

    Sekalipun ada harapan yang disampaikan oleh Pemerintah ataupun pengakuan tentang potensi yang dimiliki diaspora, seolah pembicaraan tersebut terhenti sampai disitu, belum ada tindakan khusus dan terorganisir yang dilakukan. Begitu juga dengan riset yang dilakukan oleh akademisi. Semua menjurus terhadap kemungkinan potensial yang dapat dilakukan oleh diaspora tanpa ada menunjukkan rekomendasi tindakan yang dapat dilakukan diaspora atau rekomendasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.

    Dewasa ini, sepertinya isu diaspora perlu didiskusikan lebih lanjut. Mulai dari sektor Pemerintah sebagai instansi yang memiliki kewenangan dalam pembuatan kebijakan, kemudian akademisi sebagai aktor yang bertugas untuk melakukan edukasi, maupun masyarakat yang nantinya akan merasakan dampak atas distribusi kolaborasi bersama diaspora.

    Kurangnya pengakuan eksistensi adanya diaspora khususnya diaspora minang ini ditunjukkan dengan minimnya literasi yang dapat dibaca. Hal ini menunjukkan bahwa wajar saja akhirnya diaspora minang dikesampingkan sebab dari sektor pemberitahuan informasi yang diwakili oleh jurnalis melalui media cetak ataupun media online masih minim tentang isu diaspora.

    Namun pengakuan atas keberadaan diaspora yang masih minim ini tidak juga dapat disalahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Provinsi atau daerah setempat, sebab pada skala nasional sekalipun hal yang sama juga terjadi. Diaspora hanya disambut dengan makan malam, didengar bercerita sambil diskusi santai, tetapi belum ada tindakan khusus dalam pemaksimalan diaspora. Untuk sektor ini juga butuh pengoptimalan kemampuan diaspora dalam memaksimalkan komunitasnya. Komunitas dibentuk dan hadir bukan hanya sebagai wadah perkumpulan, namun juga sebagai ranah perpanjangan penyampaian aspirasi dan pandangan dari diaspora itu sendiri.

    Melihat situasi seperti ini, sepertinya dibutuhkan satu posisi khusus menimbang belum mampunya Pemerintah dalam mengoptimalkan diaspora atau bahkan diaspora yang belum mampu menjangkau Pemerintah. Harus ada jembatan yang dapat menghubungkan kedua pihak tersebut. Dan berdasarkan situasi tersebut, sepertinya akademisi merupakan pihak yang patut untuk dititikberatkan mengampu tanggung jawab sebagai jembatan penghubung. Menimbang juga relasi yang dimiliki oleh akademisi hampir memenuhi seluruh lini, mulai dari Pemerintah, diaspora, wartawan dan media, atau bahkan masyarakat sekalipun.

    Dengan keunggulan network yang dimiliki oleh akademisi, pantas rasanya mereka menjadi pihak yang akan datang sebagai aktor pemecah kebuntuan komunikasi ini. Sebab melihat kesulitan yang dialami diaspora minang sekarang, mereka berusaha mencari jaringan masyarakat, mengurus pemberian pendanaan, bahkan membantu kegiatan ekspor UMKM masyarakat secara mandiri . Dan setelah itu Pemerintah langsung menyampaikan keberhasilan langkah-langah tersebut seolah berperan aktif dan memberikan andil yang cukup dalam prosesnya.

    Hal yang harus diwaspadai atas isu ini, apabila terus dibiarkan maka kepercayaan kepada instansi Pemerintah akan berkurang, baik kepercayaan dari diaspora ataupun dari masyarakat. Lambat laun masyarakat akan menyadari atau bahkan membangun pemikiran bahwa yang berperan dalam menuntaskan kemiskinan, kekurangan, keterlambatan dalam pembangunan selama ini adalah diaspora, bukan Pemerintah. Apabila masyarakat menyadari dan meyakini hal tersebut, otomatis semua kebutuhan tidak akan lagi disampaikan kepada Pemerintah, mereka akan langsung menyampaikan kepada diaspora yang mereka anggap sebagai jalan keluar.

    Dalam satu alasan hal ini menjadi baik, laju komunikasi berjalan langsung antara masyarakat dengan diaspora. Namun di sisi lain, ini juga dapat merugikan sebab apabila semua aduan ditampung diaspora, sulit rasanya untuk mendistribusikan kebutuhan masyarakat hanya melalui peran diaspora. Dan semua akan kembali ke kondisi awal di mana pembangunan dan pertumbuhan khususnya sektor ekonomi kembali terhambat.

    Sepertinya fungsi jembatan penghubung antara Pemerintah dan diaspora harus segera diciptakan untuk memecah kebuntuan ini. Kenapa sebegitu pentingnya peran aktor tambahan dalam kasus ini? Sebab kedua pihak sudah sejak lama menjalin kerjasama dan merancang program untuk berkolaborasi. Semestinya kedua pihak sudah mampu berkolaborasi dengan baik, namun setelah bertahun-tahun permasalahan komunikasi belum juga mampu diselesaikan dengan baik.

    Sepertinya juga dapat disimpulkan bahwa adanya ketidakmampuan satu sama lain dalam penyelesaian masalah komunikasi ini. Untuk memperbaiki situasi seperti ini, mengubah sistem komunikasi tidak bisa lagi menjadi satu-satunya solusi, harus dibentuk alur komunikasi baru antara diaspora dengan pemerintah melalui akademisi sehingga kolaborasi yang tercipta diharapkan lebih optimal kedepannya.

    Akademisi sebagai perpanjangan tangan dalam penyelesaian permasalahan dinilai tepat menimbang kontribusinya selama ini berada pada level edukasi. Sehingga dengan pengalaman dan jejaring yang sudah terbangun tersebut, menjadi aspek pendukung dalam pengoptimalan peran akademisi sebagai penghubung antara Pemerintah dan diaspora sehingga dampak positifnya bisa dirasakan oleh masyarakat.

    *Penulis adalah Peneliti di Indonesia New Cooperative Movement Studies Center (IN Coop-Me SC).

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here