Oleh: Supriadi*

Di saat jutaan umat Muslim mengenakan kain ihram putih menuju Mekkah, sebagai simbol kesucian dan totalitas penghambaan kepada Allah, ribuan jasad anak-anak Gaza justru dibungkus kain kafan putih akibat kebiadaban perang yang tak kunjung usai. Dua pemandangan yang secara lahiriah serupa — pakaian putih, lautan manusia, tangisan, dan takbir — namun memiliki makna yang sangat berbeda.
Perayaan ritual suci di Mekkah seharusnya menjadi momentum pembaruan spiritual sekaligus pengingat kewajiban sosial yang melekat pada setiap Muslim. Namun, bagaimana bisa kita menikmati kesakralan ritual tanpa turut merasakan derita saudara sebangsa di Palestina yang sedang terjajah dan mengalami penderitaan berat?
Agama, pada hakikatnya, bukan sekadar simbol dan seremonial semata. Ia adalah panduan hidup yang membentuk kesadaran dan tindakan nyata dalam membela keadilan dan kemanusiaan. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menegaskan bahwa kebajikan bukan hanya pada ibadah ritual seperti menghadap ke arah kiblat, tapi pada keimanan yang diwujudkan dalam perbuatan sosial.
Dalam Surah Al-Baqarah ayat 177, Allah menjelaskan bahwa kebajikan yang hakiki adalah beriman kepada Allah dan rasul-Nya, mendirikan salat, menunaikan zakat, serta memberikan harta yang dicintai kepada keluarga, anak yatim, orang miskin, musafir, dan mereka yang meminta pertolongan. Ini menunjukkan bahwa agama mengajarkan kepedulian dan solidaritas sosial sebagai bagian dari keimanan.
Maka, sudah sepantasnya umat Muslim tidak hanya menunaikan ibadah ritual secara lahiriah, tetapi juga menyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan yang menuntut kita untuk peduli dan bertindak melawan penindasan di mana pun terjadi. Ketika anak-anak Gaza kehilangan nyawa dan masa depan mereka, kepekaan sosial kita diuji.
Haji dan kurban bukan hanya simbol pengorbanan diri di hadapan Allah, tapi harus menginspirasi kita untuk mengorbankan ego dan kepentingan pribadi demi keadilan bagi sesama. Jika ritual tersebut tidak membuka pintu empati dan aksi nyata untuk menolong yang tertindas, maka ibadah itu akan menjadi sekadar upacara kosong tanpa makna hakiki.
Rakyat Gaza mengajarkan kita arti pengorbanan yang sesungguhnya. Mereka mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan martabat dan hak mereka sebagai manusia. Ini adalah manifestasi agama yang sejati, yang berani menolak segala bentuk ketidakadilan dengan keberanian dan keteguhan hati.
Allah pun berfirman dalam Surah Al-Hajj ayat 40 bahwa barang siapa yang membela agama-Nya, maka sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa. Membela agama berarti juga membela nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan hak asasi manusia dari segala bentuk penindasan.
Lalu, di manakah posisi kita saat ini? Apakah kita hanya menjadi saksi bisu dari penderitaan tersebut, ataukah kita memilih untuk aktif berperan dalam memperjuangkan hak dan keadilan bagi saudara sebangsa?
Diam dan acuh terhadap penderitaan yang menimpa Palestina sama saja dengan membiarkan kejahatan berlangsung tanpa perlawanan. Ini adalah panggilan moral bagi setiap Muslim, bahkan umat manusia, untuk bangkit dan bersuara.
Kita, bukan hanya jamaah haji, tapi seluruh masyarakat Muslim di manapun berada, harus menjadikan momentum ibadah sebagai penguat semangat untuk peduli dan bertindak. Nurani kemanusiaan kita harus tergerak untuk memberikan dukungan yang nyata, baik dalam bentuk doa, bantuan kemanusiaan, maupun tekanan politik agar perdamaian terwujud.
Sebagai umat yang mengaku satu tubuh, kita tidak boleh membiarkan Gaza sendirian menghadapi penderitaan. Inilah ujian kesetiaan kita terhadap ajaran agama yang mengajarkan kasih sayang dan keadilan bagi seluruh umat manusia.
Hari ini, saat kita menyaksikan keagungan ritual di Mekkah, mari kita juga ingat anak-anak Gaza yang kehilangan masa depan mereka. Mari kita buktikan bahwa agama bukan hanya simbol kosong, melainkan kekuatan yang mempersatukan kita dalam membela keadilan dan kemanusiaan
*Penulis adalah Anggota FPN (Free Palestine Network), juga seorang Guru.