Oleh: M. Haidar*

Hari ini, 1 Juni, Pancasila berusia genap 80 tahun. Ideologi yang pernah dirumuskan sekelompok manusia ini mendekati satu abad rentang kiprahnya. Pancasila, sebagai buah pikir yang lahir dari panjangnya jerih payah dan diskusi serius para pendiri bangsa, masih tahan dan tak tergoyahkan oleh godaan paham luar. Kita melihatnya masih mampu berdiri, setelah melewati berbagai macam badai sejarah.
Namun, meneropong kembali arah gerak bangsa ini, apakah hari ini Pancasila berhenti sebagai identitas belaka, sekedar foto simbol garuda yang terpasang di dinding? Apakah ia sebatas keinsafan sebuah bangsa—macet di jalan raya paradigma–sehingga surplus serapan dan minus tindakan? Betapa bahayanya, jika selama ini ia hanya butir-butir hafalan di tempurung kelapa kita, atau, sekedar bahan retorika di podium yang melelahkan. Ataukah sebetulnya ia mendesak supaya bangsa ini bertindak tegas, saat ia harus berhadapan dengan anasir-anasir global hari ini? Melihat keadaan yang semakin buruk di Palestina.
Mari membuka memori kolektif kita. Mengingat-ingat ulang saat para pendiri bangsa ini berpikir keras mencari dasar kemerdekaan dalam bayang-bayang Jepang. Pada hari pertama persidangan BPUPK (29 Mei 1945), Muhammad Yamin mengukuhkan pandangan Radjiman soal keniscayaan prinsip kemanusiaan sebagai dasar negara. Ia lalu membayangkan prinsip itu menjadi motivasi bagi bangsa ini menjalin pergaulan antarbangsa di dunia. Prinsip itu akhirnya mendapat peneguhan dari anggota BPUPK; di antaranya Ki Bagoes Hadikoesoemo, Liem Koen Hian, Soepomo dan yang lain.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk prinsip kemanusiaan itu menghablur lebih terang. Ketika Soekarno, dalam pidatonya yang gegap gempita itu, menguraikan Pancasila pada 1 Juni 1945. Dalam pembicaraannya mengenai sila kedua, Soekarno menyebut “internasionalisme” yang maksudnya adalah konsep kemanusiaan universal. Mengingatkan kesadaran tentang kemanusiaan sebagai penghubung bangsa ini dengan dunia luar, sebagai sesama manusia. Sementara tentang nasionalisme bangsa ini, katanya, bukan corak nasionalisme yang mengarah pada chauvinisme sehingga berpotensi menjadi fasisme.
Maksud Soekarno, prinsip kemanusiaan itu layaknya kita memahami uang koin yang punya dua sisi; nasionalisme dan internasionalisme, atau, dengan ungkapan lain ia bermakna kemanusiaan tanpa batas. Supaya bangsa ini tidak menganut model nasionalisme yang berujung pada kebencian terhadap bangsa lain. Seperti yang dicontohkan Soekarno sendiri dalam kursus Pancasila di Istana Negara (5 Juli 1958). Saat ia menyebut Hitler dan dan Nazi sebagai penganut model nasionalisme yang jahat karena klaim rasial lalu membunuh ras lain yang dianggap lebih hina.
Uraian ini mungkin saja dipersepsikan sebatas upaya membuka kenangan sejarah. Meskipun sebetulnya ini bermaksud membawa memori kolektif kita ke latar depan, ke hari esok. Setiap pandangan para pendiri bangsa di atas bisa jadi titik awal, atau mungkin titik yang kesekian, untuk bangsa ini bergerak memecah masalah hidupnya sebagai warga negara dunia. Masalah kolonialisme dengan wajah terbarunya yang saat ini bermukim di Palestina. Bagaimanapun, saat Pancasila memang diyakini sebagai ideologi, maka ia seperti syariat bagi seorang muslim yang memuat sederetan perintah sekaligus larangan untuk satu tujuan.
Pengalaman pahit penjajahan bukan motivasi utama untuk bangsa terlibat dalam gerakan anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Keterlibatan itu atas argumentasi yang solid, di mana sejak awal berdirinya, bangsa ini punya sikap yang tegas. Sikap yang lalu diletakkan ke dalam dasar negara. Kita melihatnya pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945, “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Di balik argumentasi yang gamblang ini, ia bukan hanya dasar untuk berdirinya organisme yang disebut negara, tapi hak mutlak bagi setiap bangsa untuk merdeka. Karenanya kalimat itu diteruskan dengan, “maka penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Sikap tegas itulah wujud dari kesadaran bertuhan yang merunjung bagi kesadaran kemanusiaan universal. Seperti diungkapan Hatta, dalam pidatonya pada 27 November 1956 di Universitas Gadjah Mada, “pengakuan kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa mengajak manusia melaksanakan harmoni di dalam alam, dilakukan terutama dengan jalan memupuk persahabatan dan persaudaraan antara manusia dan bangsa”.
Kesadaran atau prinsip “kemanusiaan tanpa batas” yang terkandung dalam sila kedua, mestinya, tidak berhenti dibenarkan sebagai kenyataan. Ia haruslah menggugah kreasi setiap jiwa kita untuk terus andil dalam masalah Palestina. Pendek kata, Pancasila bukan hanya seperangkat gagasan kebangsaan—melainkan sebuah risalah amaliah—yang dalam ungkapan Soekarno kita mendengarnya sebagai, “penjelmaan daripada cita rindu kalbunya”.
Sila kedua Pancasila memiliki konsekuensi ke dalam dan keluar, seperti dipandang oleh Bung Hatta. Sehingga impian Revolusi Indonesia bukan hanya menumbangkan imperialisme Belanda, lalu pekerjaan ini selesai. Bangsa ini sudah sejak lama mencita-citakan kerjasama dengan bangsa-bangsa yang menentang imperialisme. Itu pernah dilakukan para pendahulunya, saat Indonesia menjadi sponsor bagi terselenggaranya Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika pada tahun 1955 di Bandung. Konferensi itu contoh dari Pancasila dalam tindakan, yang lalu Soekarno mengatakan, “Oleh karena itulah, maka Indonesia dengan terang-terangan memberi bantuan kepada perjuangan bangsa-bangsa yang lain.”
Penjajahan di Palestina yang sejak 7 Oktober 2023 memburuk menjadi “genosida”, menjadi tantangan yang serius dalam membuktikan komitmen kemanusiaan universal bangsa Indonesia. Pancasila sebagai warisan sejarah atau pun dasar aksiologis, memuat kepedulian bangsa ini terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sudah bergerak jauh ke depan. Pancasila hari ini mestinya menjadi motivasi bagi bangsa Indonesia untuk berada di baris paling depan dalam memuliakan nilai-nilai itu, bukan hanya pada ranah nasional, namun juga dalam kehidupan internasionalnya.
Pancasila memandu kepekaan kita bagi pembebasan umat manusia. Karenanya, Palestina adalah urusan bangsa Indonesia. Pemerintah bisa melangkah lebih tegas dalam boikot—gerakan yang hari ini mungkin masih dianggap sebagai kewajiban individual, maka wajar jika ia nampaknya masih kabur dan tidak terukur. Pemerintah perlu mengambil peran sebagai pemimpin dalam gerakan ini. Kehancuran di Palestina akan selalu bertambah parah selama entitas penjajah itu bergerak tanpa tekanan. Boikot adalah cara efektif untuk menekan Israel secara ekonomi.
Kita perlu ingat. Membela Palestina tidak hanya sejalan dengan Indonesia yang kebangsaannya adalah perikemanusiaan. Membelanya adalah cara bangsa ini berbalas budi pada peradaban umat manusia, atas ilhamnya bagi kesadaran kemanusiaan universal dalam Pancasila. Keberhasilan Palestina dalam merebut kembali kemerdekaannya adalah harga yang diminta oleh “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.
*Penulis adalah anggota FPN (Free Palestine Network).