Selain stan satir tersebut, sorotan lain di Pasar Seni ITB 2025 adalah Lomba Kereta Peti Sabun (LKPS) Damas XII 2025, yang digelar di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga). Acara ini bukan sekadar balapan tanpa mesin, tetapi juga ajang kolaborasi antara seni, teknik, dan inovasi.
Rektor ITB, Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara, M.T., yang turut menjajal lintasan lomba bersama Kepala Dispora Kota Bandung, Sigit Iskandar, menilai bahwa LKPS adalah wujud kreativitas anak muda. “Ini bukan hanya soal kecepatan, tetapi tentang imajinasi dan daya cipta peserta,” ujarnya seperti dikutip dari RRI.
Kegiatan ini juga menjadi ruang pelestarian budaya dan pendorong ekonomi kreatif. Tata menegaskan bahwa Pasar Seni memiliki nilai strategis dalam menghubungkan budaya, pendidikan, dan ekonomi. “Pasar Seni ITB adalah tempat untuk berkreasi sekaligus menjaga budaya kita,” tambahnya.
Tahun ini, LKPS diikuti oleh 110 tim dari berbagai daerah, mulai dari Bandung, Sumedang, hingga DKI Jakarta. Pesertanya pun beragam dari pelajar SMA/SMK, mahasiswa, hingga komunitas otomotif. Ajang utama digelar pada Sabtu (18/10) dan dilanjutkan dengan Fun Race pada Minggu (19/10).
Desain kereta yang dipamerkan pun beragam, mulai dari yang futuristik hingga yang mengangkat tema tradisional. Pasar Seni ITB 2025 juga menghadirkan Adicitra Ganesha, pameran dan lelang karya seni dari maestro nasional, alumni ITB, dan seniman daerah.
Acara ini diselenggarakan secara daring melalui situs adicitraganesha.com, dengan hasil lelang disalurkan untuk mendukung Dana Lestari ITB (endowment fund). Inisiatif ini dapat menginspirasi masyarakat dan alumni untuk berkontribusi dalam keberlanjutan pendidikan.
Pasar Seni ITB 2025 bukan hanya ajang hiburan, melainkan cermin reflektif terhadap kondisi sosial dan budaya. Dari “ijazah sehari” yang menggugat absurditas gelar akademik, hingga LKPS yang menonjolkan semangat inovasi, semua menunjukkan bagaimana seni dapat menjadi ruang ekspresi sekaligus kritik sosial.
Kreativitas, humor, dan refleksi berpadu di antara riuhnya pengunjung menegaskan kembali bahwa seni tidak hanya milik galeri, tapi juga milik masyarakat. “Kreativitas harus membawa manfaat sosial. Melalui karya seni, kita bisa mendukung pendidikan yang berkelanjutan,” kata Tata.






