Setelah kemerdekaan, perjalanan Republik tidak pernah mulus. Jakarta menjadi arena di mana demokrasi diuji, diperdebutkan, kadang terkoyak, lalu dijahit kembali. Di kota inilah kebijakan nasional dilahirkan, solidaritas sosial diuji setiap kali krisis datang, kedewasaan bernegara ditempa dalam proses politik yang tak pernah steril, dan keberanian moral ditagih saat kekuasaan mulai tergoda menyimpang dari mandat rakyat.
Jakarta menjadi ruang perdebatan panjang antara imajinasi dan kenyataan, antara cita kemerdekaan dan godaan kekuasaan, antara suara rakyat dan gema kepentingan elite. Tidak ada kota lain di Indonesia yang sedemikian intens memproyeksikan pertarungan nilai-nilai republik.
Jakarta telah berkali-kali menjadi suar yang menjaga mimpi republik saat menghadapi kegelapan: ketika kolonialisme menekan, ketika nasionalisme masih mencari bentuk, ketika Republik lahir, ketika demokrasi diuji, ketika globalisasi mengguncang, dan ketika digitalisasi membawa tantangan baru.
Mercusuar tidak pernah memilih badai. Ia hanya memastikan republik menemukan jalan pulang pada cita-cita pendiriannya.
Jakarta bukan kota sempurna: banjir datang, politik gaduh, ketimpangan sosial mencuat, tetapi justru inilah alasan mengapa Jakarta terus berjuang.
Kota ini adalah metafora Indonesia: bergerak, bergulat, tumbuh, dan belajar.
Pada akhirnya, mimpi Republik bukan hanya mimpi para pendiri. Ia adalah mimpi setiap generasi bangsa.
Jakarta menjaga mimpi itu, siang dan malam, dalam gelombang perubahan apa pun, agar Indonesia tetap melaju ke masa depan dengan kepala tegak, cahaya menyala, dan harapan yang tidak pernah padam.
*Penulis: Mikhail Adam, Forum Peduli Literasi Masyarakat dan Alumni UKI.






