Frino Bariarcianur
Panggung gelap dan sederhana itu tidak memunculkan rasa suka tapi menyuguhkan air mata dan keharuan. Para korban pelanggaran HAM satu demi satu mengisahkan kehidupan mereka. Semuanya sepakat perjuangan menuntut keadilan harus diteruskan.
Panggung itu panggung peringatan hari Hak Asasi Manusia sedunia yang berdiri di halaman kantor LBH Jakarta, Selasa (10/12/2013). Di bagian belakang panggung terdapat tulisan “Melawan Lupa Untuk Indonesia yang Menghormati HAM”. Di bagian bawah depan panggung terdapat secarik deklarasi lengkap dengan tanda-tangan. Beberapa orang mulai membubuhkan tanda tangan sebagai dukungan terhadap penegakan HAM.
Sejak sore, tak banyak yang hadir. Hanya segelintir orang yang menyempatkan diri untuk merefleksikan bagaimana proses penegakkan HAM di Indonesia setahun ini. Kalau dilihat dari wajah-wajah yang hadir, mereka adalah orang-orang yang bersimpati, kerabat, aktivis dan juga korban sendiri.
Mereka saling menguatkan. Saling memberi dukungan satu sama lain.
Cuplikan kisah perjuangan penegakan HAM di Indonesia seperti menegakan benang yang basah. Kisahnya pun masih itu-itu saja. Masih soal GKI Yasmin, Tragedi Semanggi, Tragedi Trisakti, Lumpur Lapindo, dan masih banyak lagi. Bukannya berkurang, malah bertambah. Seperti kasus Syiah Sampang. Kisah-kisah inilah yang selalu mewarnai peringatan HAM di Indonesia. Dan sikap pemerintah Indonesia pun masih itu-itu juga, tak peduli.
Jika betul pemerintah Indonesia peduli, tentu kisah-kisah duka ini berubah menjadi kisah yang lebih baik. Minimal, kita tak melihat lagi ratusan orang yang berumur senja berdiri setiap hari Kamis di depan Istana Negara, bisa jadi kita tak lagi melihat orang-orang melumuri lumpur sebagai ungkapan protes atas terampasnya hak mereka akibat ulah Lapindo. Atau kita tak lagi melihat orang-orang yang beribadah di depan Istana Negara karena tempat ibadah mereka disegel.
Tapi kiranya perjuangan masih panjang. Kisahnya pun semakin dalam, tak jarang dilupakan banyak orang.
“Mengisahkan kembali tentang rumah ibadah kami, selalu ada tangis di dalamnya. Tapi kami percaya ini adalah jalan Tuhan agar kami tetap kuat,” ungkap Reni, salah satu jemaat GKI Yasmin yang hadir.
Semenjak penyegelan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor pada tahun 2010, para jemaat GKI Yasmin di Bogor beribadah secara sembunyi-sembunyi. Padahal gereja tersebut sudah mengantongi ijin mendirikan bangunan (IMB), bahkan dalam kasasi Mahkamah Agung dan Ombudsman RI memutuskan izin mendirikan bangunan GKI Yasmin sah.
Tapi tak seperti semboyan “Bhinneka Tunggal Ika, para jemaah beribadah secara underground. Dari satu rumah ke rumah jemaat yang lain. Tahun lalu para jemaat merayakan natal di depan Istana Negara lagi-lagi tak digubris. Tahun ini sepertinya tak berubah. “Doakan kami agar tetap kuat,” kata Reni.
Kisah selanjutnya dari Maria Catarina Sumarsih. Dia adalah ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan) mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang tewas saat Tragedi Semanggi I pada tahun 1998. “Tragedi yang merenggut nyawa anak saya menunjukkan negara tidak mau bertanggungjawab.”
Selama lebih sepuluh tahun dia menyuarakan ketidakadilan yang diterimanya. Sumarsih bicara kepada para wakil rakyat di DPR RI, Presiden, dan bahkan mendatangi Puspom TNI,”Mereka tidak melakukan apa-apa.”
Janji Presiden SBY kepada keluarga korban untuk menuntaskan kasus HAM ini hingga sekarang pun belum terbukti. Sepanjang kita cari alasan kenapa sang presiden tak bergerak, tak pernah publik mendapatkan jawaban. Meskipun berulang-ulang Presiden SBY menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
“Apalah arti negara hukum, jika melindungi pelanggar HAM,” kata Sumarsih.
Di atas panggung gelap itu, Sumarsih tidak hanya mengisahkan tentang anaknya, tapi juga soal ketidakadilan yang dialami orang lain. Dia bersama keluarga korban pelanggaran HAM setiap hari Kamis berdiri di depan Istana Negara. Mereka menggunakan payung hitam yang bertuliskan berbagai macam kasus pelanggaran HAM. Aksi itu dikenal dengan nama “Aksi Kamisan”.
“Atas nama keadilan….!” kata Sumarsih.
“Tolak impunitas,” jawab orang-orang yang hadir.
Dari Sumarsih kisah berlanjut tentang nelayan Marunda di wilayah Teluk Jakarta yang kian hari nasib mereka kian terjepit. Mulai dari persoalan tercemarnya air laut hingga reklamasi pantai menjadi kawasan industri. Nasib para nelayan Marunda sudah diujung tanduk. “Kepada siapa lagi kami meminta bantuan?” kata Gobang perwakilah nelayan Marunda.
Kisah haru para pencari keadilan pun dapat dirasakan saat Indra Azwan mengisahkan tragedi yang menimpa Rifki Andika, anak sulungnya yang tewas ditabrak seorang anggota kepolisian Jawa Timur, Joko Sumantri. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1993.
Pihak kepolisian berjanji akan memproses si pelaku, tapi nyatanya tidak ada persidangan atas kasus tabrak lari itu. Joko Sumantri si pelaku tetap menjadi polisi dengan pangkat kompol. “Untuk 1 orang polisi saja mereka membelanya mati-matian, bagaimana dengan kasus-kasus besar lainnya di Indonesia?”
Dia benar-benar kecewa dengan pemerintahan yang tidak memberikan rasa adil. Indra Azwan bersumpah, sampai ajal menjemput akan terus menuntut keadilan atas kematian anaknya. Dari kota Malang ia menuju Jakarta, berjalan kaki. Membawa poster di dadanya, mengingatkan kepada orang-orang betapa busuknya negeri ini.
Indra Azwan bertemu Presiden dan para petinggi negeri, namun seperti nasib para pejuang lainnya, janji untuk menuntaskan dan memenuhi hak-hak korban tak pernah tercapai. Dia tak habis pikir kenapa pemegang kekuasaan tak bisa berbuat apa-apa untuk menegakan keadilan. “Istana isinya penakut dan pembohong!” kata Indra Azwan.
Presiden SBY waktu itu memberikan santunan sebesar 25 juta rupiah atas nyawa anaknya yang ditabrak lari. Tapi uang itu dikembalikan, sebab yang Indra inginkan adalah keadilan. Bukan uang.
Kebebalan pemerintahan Indonesia ini bukan sehari dua, sudah menahun lamanya. Itulah sebabnya Indra memberikan 3 X hadiah korek kuping bahkan dengan ukuran besar kepada Presiden SBY. “Presiden kita tetap budek,” kata Indra.
Selain korek kuping, dia juga memberikan topeng monyet sebagai simbol atas sikap pemerintah Indonesia yang tidak tahu malu. “Saya akan terus berjuang sampai keadilan tegak berdiri!”
Kisah mereka mewarnai malam peringatan hari Hak Asasi Manusia “Melawan Lupa Untuk Indonesia yang Menghormati HAM” yang semakin gelap. Pelanggaran HAM adalah hal paling kejam. Tentu tidak di atas panggung itu saja. Di sejumlah daerah di Indonesia pun masih banyak kasus-kasus HAM yang belum diselesaikan. Kasus pelanggaran HAM telah menguras waktu, tenaga, pikiran dan seluruh apa yang korban miliki selama ini.
Selama mereka berjuang menuntut keadilan, para pelakunya bebas berkeliaran. []