More

    Nilai Perlawanan dari Filsafat dan Agar-agar

    Prabowo Setyadi

    Pagi sekitar pukul 07.30-an WIB, Budi Rustandi sibuk menyiapkan barang dagangan di sebuah rumah kontrakan berukuran 2 X 7 meter di jalan Ciporeat, Ujung berung, Kota Bandung. Misinya menjual salah satu camilan paling segar di dunia, yakni agar-agar.

    Budi Rustandi menerbitkan dua buku filsafat dan berjualan agar-agar. FOTO : PRABOWO SETYADI
    Budi Rustandi menerbitkan dua buku filsafat dan berjualan agar-agar. FOTO : PRABOWO SETYADI

    Budi Rustandi berjualan agar-agar setiap hari. Hidup di wilayah penghasil band-band underground yang kuat mendunia, dan mayoritas penduduknya sebagai pekerja pabrik, tentu tidak sebanding dengan pekerjaan Budi Rustandi sebagai penjual agar-agar. Seakan terlihat kecil.

    - Advertisement -

    Tapi realita bicara lain.

    Sejak tahun 2010, Budi Rustandi memulai berdagang agar-agar. Rute dagang yang ditempuh meliputi daerah Ciporeat, Cilengkrang 1 dan 2, Cipadung, hingga wilayah perbatasan kota Bandung, Cibiru. Tak jarang hingga ke wilayah Cileunyi, Kabupaten Bandung.

    Dari gang ke gang, Budi menawarkan agar-agar sambil membunyikan klenengan agar warga tahu si agar-agar sedang lewat. Anak kecil, remaja, dan orang tua tak jarang menyapa Budi.

    Sosok pemuda tangguh ini bukan hanya menawarkan agar-agar kepada warga. Tetapi juga menawarkan buku-buku bacaan yang dibawa di dalam sebuah kotak kecil berwarna hijau. Kotak itu bertuliskan PUSLING alias Perpustakaan Keliling.

    Judul-judul bukunya pun tak biasa. Ada Jean Jacques Rousseu “Perjanjian Sosial”, Paolo Coelho “Sang Alkhemis”, Omedi Pamouz “Gethora”, FX. Rudi Gunawan “Animale Rationale”, hingga ke pujangga cinta Kahlil Gibran berjudul “ Hikmah Keabadian”. Tidak ketinggalan buku komik agar anak-anak kecil dapat membaca juga.

    Buku-buku filsafat di kotak kecil Pusling tidak lepas dari latar belakang hidup Budi yang aktif di beberapa majelis filsafat di kota Bandung ataupun di luar kota Bandung. Salah satunya di Yayasan Sophia bersama Bambang Q-Anees sebagai mentornya. Lewat Bambang Q Anees, Budi Rustandi yang berkuliah di jurusan Aqidah Filsafat, UIN Sunan Gunung Djati, banyak memetik nikmatnya agar-agar. Eh, filsafat maksudnya.

    “Tidaklah cukup belajar filsafat tetapi juga harus mencintai filsafat.”

    Dahsyatnya si pedagang agar-agar ini bisa berkuliah setelah menerbitkan dua buku filsafat. Pertama, buku berjudul “Filsafat Pemberontakan” dan buku kedua berjudul “Kitab Pemberontak”. Tapi apa mau dikata, dua buku rupanya tak sanggup menahan Budi untuk mencintai filsafat dalam kehidupan nyata.

    Caranya meminjamkan buku filsafat sekalgius berjualan agar-agar. Hasil penjualan camilan kaya serat dan segar ini sebesar Rp.40.000. Lalu dibelikan buku. Selain itu, Budi juga dibantu oleh teman-temannya untuk membangunn perpustakaan keliling. “Hidup adalah udunan,” kata Budi Rustandi.

    Sepertinya ia berkeyakinan bahwa menelan nilai-nilai filsafat itu seperti mengunyah agar-agar. Mudah, segar dan sehat. Tahap selanjutnya adalah tantangan menjual agar-agar dan menyebarkan virus filsafat.

    Buku filsafat milik Perpustakaan Keliling Budi Rustandi. FOTO : PRABOWO SETYADI
    Buku filsafat milik Perpustakaan Keliling Budi Rustandi. FOTO : PRABOWO SETYADI

    “Saya ingin mencoba segala kemungkinan dan tidak ingin bermalas-malasan,” kata Budi Rustandi saat ditemui KabarKampus.

    Menurut Budi Rustandi, berfilsafat berarti berfikir dan bertindak kreatif serta semangat menjalani kehidupan di tengah dunia yang chaos dan absurd. “Nilai inilah yang harus dibangun agar kita kita mampu beriringan dengan realitas tanpa terbawa arus.”

    Sementara memikul dagangan keliling kampung punya arti yang tak kalah menariknya.

    “Memikul barang dagangan agar-agar juga memiliki arti filosofi yaitu, pikulan yang mampu menghidupi roda ekonomi saya. Dan saya anggap ini sebagai nilai spiritual dari memikul barang dagangan dan buku-buku yang saya bawa sambil berdagang. Pikulan menggambarkan ke-stabilan dan buku adalah sesuatu yang melebihi dari sekadar uang,” ujar Budi yang setiap bulan punya kewajiban membayar kontrakan sebesar RP 600.000.

    Untuk sementara ini, Budi Rustandi masih berhutang uang kuliah sebanyak dua semester. Konsekuensinya nama Budi tidak tercantum di absen kelas. Tapi ia tidak terlalu khawatir karena banyak cara yang dilakukan agar tetap bisa berkuliah.

    Selain di kelas, bagi Budi, tempat kuliah yang nyata adalah hidup bersama masyarakat. Bergulat dengan pelbagai persoalan di masyarakat. Aktivitas berjualan agar-agar dan meminjamkan buku filsafat mendapatkan respon positif.

    Dengan agar-agar yang dicampur dengan topping coklat tabur dan susu kental manis, cukup membuat anak-anak kecil kenyang dan bahagia. Dia pun bergairah.

    “Kreatif. Gak ada yang seperti Budi. Banyaknya hanya berdagang saja. Banyak waktu luang yang saya gunakan untuk membaca,” ucap Dedi 22 tahun warga Cipadung III.

    Sedangkan Alfian 31 tahun, pelanggan Budi lainnya mengatakan, jarang ada anak muda yang mau berbuat lebih dengan membagi wawasan kepada warga yang pendidikannya terbatas.

    Selain buku filsafat ada juga komik untuk anak-anak. FOTO : PRABOWO SETYADI
    Selain buku filsafat ada juga komik untuk anak-anak. FOTO : PRABOWO SETYADI

    Hampir setiap hari agar-agarnya habis dibeli oleh warga. Harganya pun tidak mahal. Sekitar enam sampai delapan potongan kecil agar-agar dijual seharga tiga ribuh rupiah. Namun banyak juga warga yang hanya mampu membeli sebesar Rp.1000. Budi tidak berkeberatan.

    Perpustakaan Keliling Sebagai Media Perlawanan
    Konsep perpustakaan di Indonesia yang berkesan eksklusif menjadi alasan Budi Rustandi memberikan jalan lain bagi masyarakat atau pelanggannya. Di titik ini, ia tengah menguji dirinya sendiri untuk keluar dari zona aman mahasiswa.

    Harus diakui masih sedikit mahasiswa di Indonesia yang berani terjun bebas alias nekat menempuh jalan berliku seperti Budi Rustandi. Kesungguhan Budi melayani masyarakat dengan meminjamkan buku agar terbentuk budaya membaca menjadi penting. Sebenarnya ini jalan berliku antara memenuhi kebutuhan hidup dan melayani masyarakat.

    “Dari bacaan buku, kita mampu menjadi revolusioner dan melawan kemalasan,” ucap Budi.

    Walaupun banyak juga buku yang tidak kembali, Budi tidak kapok. Baginya menyebarkan virus membaca kepada masyarakat dengan menghampiri dan menawarkan buku bacaan menjadi usaha untuk melawan ke-eksklusifitas-an perpustakaan.

    Di sinilah tugas mahasiswa meruntuhkan kenyataan itu. Kenyataan yang memperlihatkan perpustakaan milik orang pintar saja. Padahal perpustakaan adalah ruang yang menyenangkan. Ruang yang mampu memberikan kesegaran pemikiran.

    Jadi buanglah jauh-jauh anggapan buku filsafat hanya untuk para pemikir berat. Seperti agar-agar yang manis, buku dan perpustakaan keliling adalah dunia yang menyenangkan. Memberikan kesegaran. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here