Bahasa Engano di Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu memiliki keunikan sendiri dalam hal pengucapan. Bahasa Enggano berbeda dengan rumpun bahasa Melayu dan hanya dituturkan secara lisan dari generasi ke generasi.
Namun dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi perubahan. Telah ada pilihan bahasa berupa alih kode dan campur kode bahasa Enggano ke bahasa Indonesia dan Melayu Bengkulu.
Tak bisa dipungkiri penyebabnya adalah, interaksi dengan pendatang yang tidak mengerti bahasa Enggano. Saat ini penutur bahasa Enggano adalah 1.424 atau 59,19 persen dari jumlah total penduduk Enggano yang berjumlah 2.406 jiwa.
Dari hasil penelitian mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) memperlihatkan kurangnya intensitas masyarakat dalam berbahasa Enggano di ranah publik menjadi faktor terjadinya pergeseran bahasa. Para penutur bahasa Enggano justru cenderung memilih bahasa lain saat berada pada ranah yang seharusnya menggunakan bahasa daerah.
“Padahal, kepala suku dan pintu suku di Enggano telah menganjurkan pengajaran bahasa Enggano pada ranah keluarga dan kewajiban untuk menggunakan bahasa daerah ketika dilaksanakan berbagai upacara adat di Enggano,” tutur Vina Apriani Nasution, Mahasiswa Departemen Sosiologi, Fisipol UGM.
Dalam penelitian ini Vina didampingi dua mahasiswa lainnya yakni Fauzan Hanif, mahasiswa Sastra Prancis, FIB UGM dan M Dian Saputra, mahasiswa Antropologi Budaya. Tim PKM-PSH UGM yang dibimbing oleh Aprillia Firmonasari, S.S., M.Hum., D.E.A, ini telah melakukan penelitian mengenai bahasa Enggano selama hampir 10 hari, 4 -12 Mei 2018.
Hasil temuan penelitian menunjukkan bila pengajaran di ranah keluarga dalam hal berkomunikasi masih disampaikan dengan bahasa Enggano. Sayangnya anak-anak hanya mengerti makna pengucapan dan mengalami kesulitan manakala mau berkomunikasi menggunakan bahasa tersebut. Kondisi ini ditengarai telah terjadi pergeseran alih generasi dan generasi pewaris dinilai pasif menggunakan bahasa daerah Enggano.
“Dengan pemahaman pasif ini tentu menjadi penghambat ketika proses pengalihan bahasa Enggano kepada generasi berikutnya,” papar Vina.
Menurut Vina sangat disayangkan ketika bahasa Enggano hanya tersistem pada “ingat, terapkan dan bawa mati” tanpa adanya sumber tertulis. Hal tersebut memberi kesan bila bahasa Enggano kurang mendapat perhatian untuk dipertahankan.
Mengingat kondisi bahasa yang mengarah kepada pergeseran pilihan bahasa dari para penutur maka PKM-PSH UGM berupaya mendokumentasi bahasa Enggano. Melalui perekaman dokumentasi linguistik dengan beberapa kepala suku dan pintu suku yang tersebar pada kelima desa di Enggano, disertai referensi para peneliti bahasa Enggano sebelumnya, tim PKM PSH UGM berhasil menerbitkan buku saku bahasa Enggano.
“Buku ini tentu sebagai strategi mempertahankan bahasa Enggano dan diharapkan dapat menjadi sumber referensi pengenalan dan pembelajaran bahasa Enggano,” kata Vina.[]