———————————————–
Sebuah falsifikasi terhadap sepotong argumen dari para anggota Akademi Swedia, yang menjadi juri Nobel Sastra 2016, tentang "kebaruan ekspresi puitik" dari lirik-lirik lagu pop karya Bob Dylan.
———————————————–
Mari kita pahami makna “avant garde” di dalam seni. Untuk itu saya akan mengutip sebuah proposisi 3.323 di dalam buku “Tractatus Logico-Philosophicus” karya Ludwig Wittgenstein, begini:
Preposition 3.323.
In the language of everyday life it very often happens that the same word signifies in two different ways—and therefore belongs to two different symbols—or that two words, which signify in different ways, are apparently applied in the same way in the proposition.
Thus the word “is” appears as the copula, as the sign of equality, and as the expression of existence; “to exist” as an intransitive verb like “to go”; “identical” as an adjective; we speak of something but also of the fact of something happening.
(In the proposition “Green is green”—where the first word is a proper name and the last an adjective—these words have not merely different meanings but they are different symbols.)
Saya terjemahkan begini:
Proposisi 3,323.
Dalam bahasa sehari-hari sangat sering terjadi bahwa kata yang sama menjadi tanda dengan dua cara yang berbeda—dan karenanya menjadi dua simbol yang berbeda—atau dua kata, yang menandakan cara yang berbeda, yang tampaknya diterapkan dengan cara yang sama di dalam proposisi.
Dengan demikian kata “adalah” muncul sebagai kata kerja penghubung, sebagai tanda kesetaraan, dan sebagai ekspresi eksistensi; “mengada” sebagai sebuah kata kerja intransitif seperti “pergi”; “identik” sebagai sebuah kata sifat; dengan begitu kita tidak hanya berbicara tentang sesuatu tetapi juga fakta tentang terjadinya sesuatu.
(Dalam proposisi: “Hijau adalah hijau”—di mana kata pertama adalah nama dari kata ganti diri dan yang terakhir adalah kata sifat—kedua kata ini memiliki makna yang tidak hanya berbeda tetapi mereka juga merupakan simbol yang berbeda.)
Penjelasan saya atas proposisi 3,323 di atas adalah begini:
Dua buah kata di dalam sintkasis bahasa sehari-hari tidak selalu berhubungan dengan makna yang sama, fungsi yang sama, bahkan tidak merupakan simbol yang sama di dalam sebuah proposisi logika.
Contoh proposisi: “Hijau adalah hijau” (bila dirumuskan dalam logika proposisional menjadi p = p). Kedua kata hijau itu memiliki makna dan fungsi yang tidak sama di dalam proposisi yang sama. Kata “hijau” yang pertama berfungsi sebagai subjek (kata ganti diri) yang merupakan penanda dari “sesuatu yang hijau”, sedangkan kata “hijau” yang kedua adalah predikat yang berfungsi menjelaskan subjek. Makna subjek pada kata hijau yang pertama merujuk pada benda tertentu yang berwarna hijau, sedangkan predikat berfungsi menjadi hal yang menjelaskan sifat hijau dari benda tertentu di dalam subjek sebagai sebuah gagasan atau ide di dalam pikiran. Dengan demikian ketidakjelasan dari perbedaan makna, fungsi, dan simbol di dalam bahasa sehari-hari diklarifikasi oleh logika.
Dalam konteks semiotika, proposisi “p = p” tersebut bisa juga dijelaskan begini: “p” yang pertama (subjek) adalah penanda dari “p” yang kedua (predikat), sebaliknya “p” yang kedua (predikat) adalah petanda dari “p” yang pertama (subjek). Pertama kali konsep semiotika diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure (1857 – 1913), seorang ahli linguistik dari Swiss, melalui dikotomi sistem tanda: signified (petanda) dan signifier (penanda) yang bersifat atomistis—di sini terlihat pemikiran Wittgenstein dalam “proposisi 3,323” dipengaruhi oleh konsep semiotika Ferdinand de Saussure. Konsep semiotika Saussure melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau “in absentia” antara “yang ditandai” (petanda) dan “yang menandai” (penanda). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide atau petanda—konsep kesatuan tanda ini sama dengan prinsip identitas dalam logika Aristoteles. Dengan kata lain, tanda adalah “bunyi yang bermakna” (dalam bahasa lisan) atau “grafem yang bermakna” (dalam bahasa tulis). Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa.
Berdasarkan analisis logika dan semiotika di atas, maka saya membuat pengembangan lebih jauh, misalnya proposisi berikut in: “S adalah Subjek.” S pada poposisi itu bukan merupakan kata yang bermakna apa pun, tetapi hanya sebuah huruf yang berfungsi sebagai subjek. Sedangkan kata “Subjek” berfungsi sebagai predikat yang menjelaskan huruf “S” sebagai subjek. Subjek menjadi bermakna sebagai sebuah simbol setelah dijelaskan oleh predikat, tetapi tak bermakna apa pun ketika dilepaskan dari predikat di dalam proposisi itu. Ini berarti kita telah keluar dari “teori gambar” dalam logika Wittgenstein dan “konsep penanda” dalam semiotika Saussure. Subjek bukan lagi sebuah fakta yang menggambarkan dunia dalam logika Wittgenstein, juga bukan penanda yang merujuk pada satu hal di luar sistem tanda Saussure, tetapi telah menjadi predikat atau petanda itu sendiri. Subjek tak lain predikat itu sendiri, sebuah proses yang menjelaskan dirinya sendiri, sebuah petanda yang menjelaskan petanda. Subjek menghilang di dalam predikat. Penanda menghilang di dalam petanda. Simbol “S” pada prosisi di atas telah menjadi seperti angka 1—yang tak bisa dijelaskan oleh teori gambar maupun teori semiotika—sebab kedua simbol itu bukan lagi bagian dari sistem tanda atau logika berdasarkan prinsip korespondensi. Di sini simetri menjadi sempurna dan logika berdasarkan prinsip korespondensi mencapai batasnya. Apakah dengan demikian logika berakhir? Tidak. Logika mulai memasuki prinsip koherensi di dalam logika simbolis: sebuah simbol tak berelasi dengan realitas di luar sistem simbol, tetapi berelasi dengan ide-ide yang disepakati dalam semesta pembicaraan tertentu.
Berdasarkan argumen di atas, saya membuat satu puisi avant garde yang berjudul “Dua Puluh Ribu Cawan dalam Bilangan Phi”. Isi puisi itu hanyalah deretan angka acak hasil penghitungan program komputer terhadap “golden ratio” dari bilangan Fibonacci. 20.000 angka acak itu merupakan bilangan irasional yang disebut sebagai bilangan Phi. Yang dimaksud dengan bilangan irasional dalam matematika bukanlah bilangan yang tidak masuk akal, tetapi bilangan yang “tidak bisa habis dibagi”. Begini definisi tepatnya dalam matematika: Bilangan irasional adalah bilangan riil yang tidak bisa dibagi (hasil baginya tidak pernah berhenti). Dalam hal ini, bilangan irasional tidak bisa dinyatakan sebagai “a dibagi b”, dengan “a” dan “b” sebagai bilangan bulat dan “b” tidak sama dengan nol. Karenanya bilangan irasional bukan merupakan bilangan rasional. Contoh yang paling populer dari bilangan irasional—selain bilangan Phi—adalah bilangan π (dibaca Pi), bilangan akar kuadrat dari 2, dan bilangan e.
Di dalam sejarah matematika penemu bilangan irasional adalah Hippasus dari Metapontum (500 SM) karena ia berhasil membuktikan akar kuadrat dari 2 adalah bilangan acak. Namun, penemuannya tersebut justru menyebabkan ia dihukum mati oleh Pythagoras karena dianggap sebagai penganut ajaran sesat (menyanggah sistem matematika mistik dari Phytahoras). Di dalam sejarah Yunani kuno, Pythagoras adalah orang yang menganggap bahwa matematika merupakan wujud dari Logos, dari pikiran Tuhan sendiri. Sementara Hippasus dari Metapontum adalah seorang filsuf penganut aliran Phytagoras, namun ia tidak membuat matematika menjadi semacam mistik seperti yang dilakukan oleh Pythagoras. Hippasus sebenarnya termasuk ke dalam golongan filsuf dari aliran Phytagoras Awal, yakni sebelum sekolah dari aliran Phytagoras di Kroton ditutup pada abad ke-5 SM. Ketika aliran Phytagoras terpecah menjadi dua kelompok, akusmatikoi dan mathematikoi, Hippasus menjadi pemimpin dari kelompok mathematikoi. Kelompok akusmatikoi melihat perlunya menaati semua peraturan aliran Phytagoras dengan ketat, karena aturan itu dianggap merupakan “perintah” dari Tuhan atau Logos. Sedangkan kelompok mathematikoi lebih mengutamakan pengajaran ilmu pengetahuan, khususnya ilmu alam dan matematika.
Ketika melihat dua puluh ribu bilangan Phi itu saya mengalami momen epifani: Saya melihat 20.000 keramik dan lukisan dan patung dan arsitektur Yunani kuno dan bunga matahari dan pola daun-daun seruni dan fraktal brokoli dan sekian pola tenun tradisional dan piramid dan candi dan sekian rumus matematika dan inferensi logis dan proposisi kalkulus predikat dan grafik saham di bursa Wall Street dan peperangan dan pembunuhan para ilmuwan pada masa kegelapan di Eropa dan pembakaran ratusan ribu buku di Perpustakaan Alexandria dan air mata dan senyum Monalisa dan pola spiral galaksi dan teks prosa Organon karya Aristoteles dan satu teks haiku karya Matsuo Basho dan puisi dan puisi dan puisi di dalam deretan 20.000 angka “golden ratio”. 20.000 angka acak dalam momen epifani saya itu adalah metafora dari sejarah kebudayaan manusia dan riwayat alam semesta. Tidakkah angka-angka acak itu begitu “puitis”? Saya “melihatnya”, sungguh-sungguh melihatnya, dan karenanya saya menuliskannya menjadi sebuah puisi sepanjang 11 halaman buku—puisi terpanjang yang pernah saya tulis. Terserah orang mau menganggapnya sebagai puisi atau bukan, tetapi saya telah membuat konsep estetis dan logis dari pengalaman epifani saya itu. Saya menuliskannya sebagai sebuah karya seni avant garde. Kenapa puisi tidak boleh dituliskan dalam “grafem” angka? Jika, dalam contoh proposisi sebelumnya, “S adalah Subjek” terbukti benar dalam kerangka prinsip koherensi, maka saya bisa membuat proposisi berikutnya yang sama benarnya, yaitu: “20.000 bilangan Phi adalah Subjek Epifani”. Jika angka-angka irasional itu membuat saya merasakan pengalaman puitis, pengalaman presensionis, pengalaman keserentakan, maka bagi saya deretan angka acak itu juga sebuah puisi yang dibatasi dalam semesta pembicaraan tertentu.
Kenapa puisi avant garde itu mesti dibatasi dalam semesta pembicaraan tertentu? Alasannya agar puisi itu tidak jadi absurd, tidak terjebak oleh “prinsip ledakan” di dalam logika. Saya memang sengaja membatasi penghitungan bilangan Phi hingga 20.000 angka acak saja, padahal komputer sekarang sudah bisa mencapai perhitungan hingga sejuta angka acak atau lebih terhadap bilangan Phi. Kenapa mesti 20.000 angka acak? Alasannya karena saya ingin meletakkan 20.000 angka acak itu dalam kerangka “semesta pembicaraan”: sebuah hipotesis terkait kemampuan berpikir abstrak manusia yang dimulai sejak 20.000 tahun lalu. 20.000 tahun adalah “usai” pecahan keramik tertua yang ditemukan dalam gua di Xianrendong, provinsi Jiangxi, Cina Selatan. Temuan artefak ini telah menghebohkan dunia arkeologi dan mengubah teori antropologi sebelumnya yang menyatakan bahwa keramik hanya ada pada masa manusia purba mulai menetap, dari kehidupan berburu menjadi agraris, sekitar 10.000 tahun lalu. Temuan ini, berdasarkan hasil uji radiokarbon, menyatakan bahwa keramik (gerabah) sudah ada ketika manusia purba masih dalam periode berburu, sekitar 20.000 tahun lalu. Keramik adalah simbol peradaban awal manusia, juga bukti arkeologis terkait kemampuan berpikir abstrak manusia, oleh sebab manusia-manusia purba itu telah mampu membuat aneka bentuk geometris keramik serta mampu menciptakan teknologi awal pembakaran tungku keramik. Keramik tak akan mampu bertahan sampai ribuan tahun bila tidak dibakar pada tungku bersuhu antara 300 – 1250 derajat celcius. Dengan kata lain, kemampuan berpikir abstrak itulah yang membuat manusia bisa berimajinasi, melahirkan bahasa, mencipta mitos, membuat puisi, dan mampu berpikir logis.
Jadi, apa sebenarnya seni avant garde itu? Bagi saya, sama seperti pandangan estetika dari Thomas Aquinas dan James Joyce, seni avant garde itu adalah “seni-konsep” yang harus dibangun dari pengalaman epifani dan kemudian dijelaskan dengan logika tertentu. Seni avant garde bukanlah seni kebebasan berekspresi sekehendak hati, seni tanpa konsep, sebaliknya justru merupakan seni dengan konsep yang “sangat logis” untuk melawan konvensi estetika tertentu. Perlawanan itu harus mampu menyadarkan apresian seni dan atau seniman tentang adanya “jalan lain” dari estetika, bukan sebaliknya. Artinya, seni avant garde membuat seni menjadi ruang yang terbuka, bukan ruang tertutup, di dalam sejarah estetika. Seni avant garde menjadi cara untuk memfalsifikasi konvensi estetika, dan memungkinkan inovasi atau invensi di dalam seni sebagai bagian dari estetika dinamis—sama seperti konsep epistemologi dinamis dari Karl Raimund Popper—dengan catatan bahwa falsifikasi itu dilakukan melalui argumen atau inferensi logis yang valid, bukan sekadar melakukan inversi atau konversi.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>