More

    Seni Avant Garde: Presensi Dari Epifani Dan Konsep Logis

    ————–
    CATATAN
    ————–

    1. PRINSIP LEDAKAN (ABSURDITAS) DAN LOGIKA PARAKONSISTENSI

    Prinsip ledakan (Latin: ex falso quodlibet: “dari kesalahan dapat muncul kesimpulan apa pun”; atau ex contradictione quodlibet: “dari kontradiksi dapat muncul kesimpulan apa pun”), atau prinsip “Pseudo-Scotus”, adalah salah satu prinsip inferensi di dalam logika klasik, logika intuisionalistik, dan sistem logika yang sejenis. Di dalam prinsip ledakan pernyataan apa pun dapat dibuktikan dari kontradiksi atau kesalahan infrensi logis. Artinya, sekali inferensi logis memunculkan kontradiksi, maka setiap konklusi apa pun dapat tercipta darinya. Bila hendak dituliskan dalam bahasa logika intuisionalistik, maka prinsip ledakan itu dapat diformulasikan menjadi sebuah inferensi logis seperti ini: (ϕ ∧ ¬ϕ) ⊢ ψ. Contoh, bila saya menyatakan bahwa “saya ada di sini” dan (sekaligus) “saya tak ada di sini”, maka konklusinya adalah “sebuah meteor sedang melintasi langit”. Itu jelas merupakan inferensi logis yang absurd karena konklusi itu tidak ada sebagai terma di dalam premis-premisnya, seperti tiba-tiba saja muncul dari kehampaan.

    - Advertisement -

    Dengan menggunakan bahasa logika intuisionalistik, berikut bukti (proof) dari prinsip ledakan: (ϕ ∧ ¬ϕ) ⊢ ψ

    Bila:
    ϕ (phi), ψ (psi), ω (omega) = proposisi atomik
    ∧ = konjugasi (operator logika untuk “dan”)
    ¬ = negasi
    ∨ = disjungsi (operator logika untuk “atau”)
    ⊢ = “terbukti (dalam satu sistem tertentu)” atau “implikasi” (operator logika untuk “maka”)

    Maka:

    1. ϕ ∧ ¬ ϕ (asumsi)

    2. ϕ (dari 1 dengan menggunakan eliminasi konjungsi)

    3. ¬ ϕ (dari 1 dengan menggunakan eliminasi konjungsi)

    4. ϕ ∨ ψ (dari 2 dengan menggunakan penambahan disjungsi)

    5. ψ (dari 3 dan 4 dengan menggunakan silogisme disjungtif)

    6. (ϕ ∧ ¬ϕ) ⊢ ψ (dari 5 dengan menggunakan pembuktian implikasi pada asumsi 1)

    Logika parakonsistensi berusaha membantah argumen dari logika klasik tentang “prinsip ledakan”. Menurut para logikawan parakonsistensi, seperti Jean-Yves Beziau dan Graham Priest, bila hendak meninggalkan “prinsip ledakan”, maka seseorang harus meninggalkan setidaknya satu dari tiga prinsip logika proposisional berikut ini:

    1. Penambahan disjungsi: ϕ ⊢ ϕ ∨ ψ
    2. Silogisme disjungsi: ϕ ∨ ψ, ¬ ϕ ⊢ ψ
    3. Transitivitas dari infrensi: Jika ϕ ⊢ ψ dan ψ ⊢ ω, maka ϕ ⊢ ω

    Jika dan hanya jika para logikawan telah meninggalkan satu dari tiga prinsip logika di atas di dalam inferensinya, maka kontradiksi akan terbukti koheren secara parakonsistensi, tanpa menjadi absurd:

    4. Bukti kontradiksi adalah logis: Jika ϕ ⊢ ψ ∧ ¬ ψ, maka ⊢ ¬ ϕ

    Namun, sayangnya, jika prinsip “negasi eliminasi” (¬ ¬ ϕ ⊢ ϕ) digunakan dalam bukti kontradiksi itu, maka setiap proposisi masih dapat dibuktikan dari kontradiksi. Negasi eliminasi ini masih merupakan kelemahan bukti kontradiksi dari logika parakonsistensi, meski logika intuisionalistik tidak mengenal prinsip negasi eliminasi.

    Intinya logika parakonsistensi mencoba membuktikan bahwa kontradiksi bisa tetap koheren secara logika dan tidak terjebak pada absurditas. Logika parakonsistensi membuktikan bahwa dua hal yang bertentangan tidaklah menghasilkan kesimpulan yang absurd, melainkan kesimpulan yang logis. Bila prinsip ledakan menyatakan bahwa dua premis yang berkontradiksi akan menghasilkan konklusi apa pun (tidak peduli apa pun premisnya), maka logika parakonsisten membuktikan bahwa dua premis yang bertentangan tidak bisa menghasilkan konklusi apa pun.

    ———————————————–
    ———————————————–

    2. TEORI GAMBAR DALAM BAHASA DARI WITTGENSTEIN

    2,1. Kita menggambarkan fakta-fakta untuk diri kita sendiri.

    2,11. Sebuah gambar menyajikan satu situasi dalam ruang logis, eksistensi maupun non-eksistensi, dari situasi konkrit tertentu.

    2.12. Sebuah gambar adalah sebuah model dari realitas.

    2,13. Dalam sebuah gambar, objek-objek memiliki elemen-elemen gambar yang berkorespondensi dengan objek-objek itu.
    2,131. Dalam sebuah gambar, elemen-elemen dari gambar adalah representasi dari objek-objek.

    2,14. Hal yang merupakan sebuah gambar adalah elemen-elemen yang terkait satu sama lain dengan satu cara determinan.
    2,141. Sebuah gambar adalah sebuah fakta.

    2,15. Fakta bahwa elemen-elemen dari gambar yang terhubung satu sama lain dengan satu cara determinan merepresentasikan bahwa hal-hal tersebut terhubung satu sama lain dengan cara yang sama. Mari kita sebut perihal tersebut sebagai relasi elemen-elemen dari struktur gambar, dan mari kita sebut kemungkinan dari struktur tersebut sebagai bentuk piktorial*) dari gambar.

    2,151. Bentuk piktorial adalah kemungkinan bahwa hal-hal yang terhubung satu sama lain dengan cara yang sama sebagai elemen-elemen dari gambar.
    2,1511. Begitu adalah cara sebuah gambar terpasang pada realitas; gambar itu menjangkau langsung keluar dengan cara itu.
    2,1512. Gambar itu diletakkan terhadap realitas sebagai ukuran.
    2,1513. Jadi sebuah gambar, disusun dengan cara ini, juga termasuk relasi piktorialnya, yang membuatnya menjadi sebuah gambar.
    2,1514. Korelasi ini, karenanya, seperti antena dari elemen-eleman gambar, yang dengannya sebuah gambar menyentuh realitas.

    2,16. Jika satu fakta menjadi sebuah gambar, maka fakta itu harus memiliki sesuatu yang sama dengan apa yang menggambarkannya.
    2,161. Pasti ada sesuatu yang identik dalam gambar dan apa yang menggambarkannya, untuk memungkinkan satu fakta menjadi sebuah gambar yang berbeda dari setiap gambar lainnya.

    2,17. Hal yang membuat sebuah gambar harus memiliki kesamaan umum dengan kenyataan, agar dapat menggambarkannya—benar atau salah—dalam cara tertentu, adalah bentuk piktorialnya.
    2,171. Sebuah gambar dapat menggambarkan realitas apa pun yang berbentuk. Sebuah gambar spasial dapat menggambarkan hal yang spasial, sebuah gambar yang berwarna menggambarkan hal yang berwarna, dll.
    2,172. Sebuah gambar tidak bisa, bagaimana pun, menggambarkan bentuk piktorialnya: gambar menampilkan sendiri bentuk piktorialnya.
    2,173. Sebuah gambar merupakan subjek dari posisi di luar bentuk piktorialnya. (Sudut pandang terhadap sebuah gambar adalah bentuk representasionalnya). Itu sebabnya sebuah gambar mewakili subjek yang benar atau tidak benar.
    2,174. Sebuah gambar tidak bisa, bagaimanapun, menempatkan dirinya di luar bentuk representasionalnya.

    ……………..

    7. Perihal yang tak dapat kita bicarakan, harus kita lampaui dengan diam.

    Sumber: Traktat Filsafat-Logika karya Ludwig Wittgenstein, 1920 -1921

    ——————————–

    *) Bentuk piktorial adalah satu cara menampilkan gambar benda yang mendekati bentuk dan ukuran sebenarnya secara tiga dimensi dari perspektif tertentu. Gambar piktorial disebut juga gambar ilustrasi, tetapi tidak semua gambar ilustrasi termasuk gambar piktorial. (AYE, 2013)

    —————————————————
    —————————————————

    3. EPIFANI DALAM SENI AVANT GARDE

    James Joyce, sastrawan avant garde dari Irlandia pencipta teknik arus kesadaran di dalam sastra modern, pernah mengungkapkan di dalam novel otobiografinya “Stephen Hero” (1940), bahwa pilihan estetikanya terkait sastra avant garde dimulai setelah ia membaca teori estetika Thomas Aquinas. Ia menyadari bahwa epifani—seperti pendapat Aquinas—merupakan syarat bagi keindahan (integritas, proporsi, dan kejelasan), bahwa dengan itu objek-objek “dicerahkan”. Pandangan estetika Thomas Aquinas itu sejajar, menurut Umberto Eco, dengan pandangan estetika strukturalisme modern. Hal ini membuktkan bahwa teknik sastra “arus kesadaran” James Joyce itu berakar dalam pandangan estetika klasik Thomas Aquinas (seorang filsuf Italia yang berhasil memadukan pikiran Aristoteles dengan Iman Kristen), dan bukan berdasar pada konsep alam bawah sadar dalam konsep psikoanalisa Sigmund Freud. Dengan kata lain, teknik arus kesadaran tidaklah sama dengan teknik penulisan semau-maunya, sengawur-ngawurnya, tetapi justru bertolak dari prinsip epifani klasik.

    “Now for the third quality. For a long time I couldn’t make out what Aquinas meant. He uses a figurative word (a very unusual thing for him) but I have solved it. Claritas is quidditas. After the analysis which discovers the second quality the mind makes the only logically possible synthesis and discovers the third quality. This is the moment which I call epiphany. First we recognise that the object is one integral thing, then we recognise that it is an organised composite structure, a thing in fact: finally, when the relation of the parts is exquisite, when the parts are adjusted to the special point, we recognise that it is that thing which it is. Its soul, its whatness, leaps to us from the vestment of its appearance. The soul of the commonest object, the structure of which is so adjusted, seems to us radiant. The object achieves its epiphany.” (Stepen Hero, James Joyce, 1940)

    Lantas, apa yang dimaksud epifani dalam pandang Thomas Aquinas? Epifani (dari kata “epiphaneia” dalam bahasa Latin, yang berarti manifestasi atau penampakan jelas) atau teofani (dari kata “theophaneia” dalam bahasa Latin, yang berarti “penampakan Tuhan”), pada teologi Kristen konsep ini diwujudkan dengan adanya Hari Raya Penampakan Tuhan yang diperingati sejumlah denominasi gereja Kristen setiap tanggal 6 Januari. Hari raya tersebut adalah hari untuk merayakan wahyu Tuhan yang menjelma sebagai manusia, yaitu Yesus Kristus atau manifestasi Yesus Kristus ke dalam dunia dalam bentuk kelahiran-Nya. Dalam konsep estetika Thomas Aquinas, epifani menjadi syarat bagi keindahan. Maksudnya, sang seniman terlebih dahulu harus melihat objek-objek sebagai presensi dari Tuhan, dan dengan demikian “mencerahkan” objek-objek, sebagai syarat bagi presensi keindahan karya seni.

    Sedangkan menurut James Joyce, momen epifani atau pencerahan sekilas terhadap objek sehari-hari, bisa dihadirkan kembali oleh karya seni. Namun, sebelum sampai ke epifani, objek perlu dianalis, perlu dilihat relasi antara setiap unsur-unsurnya, barulah setelah itu secara sintesis objek itu akan menampakkan dirinya sebagai sebuah epifani, sebagai objek yang tercerahkan. Perhatikan bahwa sastrawan yang merupakan pelopor teknik sastra arus kesadaran ini, teknik avant garde dalam sastra modern dunia, sama sekali tak bicara bahwa sastra arus kesadaran muncul dari alam bawah sadar, tapi justru muncul dari momen epifani, momen presensionis yang kemudian dianalis dengan logika, dan terakhir melompat ke dalam sintesis yang memungkinkan kejelasan dari kehadiran: “objek yang tercerahkan” di dalam ruang estetika seni.

    Pandangan Thomas Aquinas dan James Joyce soal epifani itu sebenarnya sama dengan pandangan Buddha Siddhartha ketika ia bicara perihal momen pencerahan: “Ketika aku tercerahkan, seluruh dunia ikut tercerahkan.” Apa artinya itu? Artinya dunia dan subjek yang tercerahkan ada dalam integrasi, ada dalam kesatuan, ada dalam momen presensionis. Yang menarik dari pandangan Thomas Aquinas dan James Joyce bahwa seni juga dapat menjadi medium dari pencerahan, dari epifani. Namun, pandangan ini juga sebenarnya sama dengan pandangan para master Zen di Jepang terkait estetika sejak abad ke-12, yang menyatakan bahwa para penyair haiku, pemain drama noh, seniman keramik, pelukis sumi-e (tinta Cina) atau lukisan cukil kayu tidak mencipta karya seni semata sebagai ekpresi pribadi, tetapi juga untuk menghadirkan kembali satori (pencerahan).

    Lantas, bagaimana menghadirkan epifani di dalam karya seni? Thomas Aquinas telah secara gamblang menjelaskannya, yaitu melalui tiga tahapan: integrasi (kesatuan benda-benda dan kesadaran, kesatuan dari objek dan subjek), proporsi (analisis logis relasi unsur-unsur dalam objek oleh subjek untuk mencapai simetri), dan kejelasan (sintesis, objek dan subjek tercerahkan, epifani). Thomas Aquinas dan James Joyce telah membuktikan bahwa kesatuan dari seni, sains, dan spiritualias adalah sebuah fakta estetika.

    ———————————————–
    ———————————————–

    4. EPISTEMOLOGI DINAMIS KARL RAIMUND POPPER

    Begini skema epistemologi pemecahan masalah berdasarkan prinsip falsifikasi dari Karl Raimund Popper:

    Bila:P1 = Problem Awal
    TT = Teori Tentatif
    EE = Eliminasi Error (pembuangan kesalahan)
    P2 = Problem Akhir

    Maka skema Epistemologi Pemecahan Masalah adalah:
    P1 —–> TT ——> EE ——–> P2

    Yang menarik dalam epsitemologi Popper bahwa pengetahuan itu bertumbuh lewat masalah. Masalah awal (P1) yang coba dipecahkan lewat TT (teori tentatif) dan dikritisi lewat tahap EE (eliminasi error) ternyata pada akhirnya menghasilkan masalah baru (P2). Demikian seterusnya sehingga pengetahuan pun terus bertumbuh secara evolusioner, makin dalam dan makin luas, untuk mengantisipasi perubahahan alam dan kondisi sosial kemasyarakatan.

    Mungkin, epistemologi Popper bukanlah epistemologi yang memuaskan bagi mereka yang ingin menemukan satu “teori segalanya” bagi semua masalah, sebuah “narasi besar” yang dianggap mampu menjawab semua problem dalam narasi-narasi kecil, sebuah ideologi atau keyakinan yang diasumsikan secara revolusioner mampu memecahkan semua masalah manusia. Namun, setidaknya kita sekarang tahu, seperti pengertian kesadaran menurut teori khaos, bahwa pengetahuan manusia memang terbatas tetapi berpeluang untuk menjadi tak terbatas di dalam waktu—sama seperti kesadaran manusia sebagai titik atraktor yang berkembang menjadi tak terhingga di dalam ruang fase.

    —————————————————————————————————
    Esai, Puisi, dan Terjemahan @ Ahmad Yulden Erwin, 2013 – 2016
    —————————————————————————————————

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here