DEPOK, KabarKampus – Menurut Pakar budaya China, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI), Dr. Rahadjeng Pulungsari Hadi, M.Hum., generasi muda etnis China tidak lagi terikat pada trauma-trauma politik, mereka lebih bebas mengekspresikan diri dan lebur dalam masyarakat.
“Sepanjang waktu ini, saya melihat generasi sekarang lebih terbuka. Generasi muda etnis China tidak lagi terikat pada trauma-trauma politik, bahkan lebih bebas mengekspresikan diri dan lebur dalam masyarakat. Kondisi ini memungkinkan hilangnya sekat-sekat sosial di masyarakat,” ujar Dr. Rahadjeng Pulungsari Hadi, M.Hum., dalam keterangan pers yang diterima redaksi KabarKampus (31/01/2023).
Menurutnya, yang menjadi tantangan bagi masyarakat diaspora di seluruh dunia adalah ketika datang ke perantauan, mereka tidak memiliki wilayah. Sebagai pendatang, masyarakat diaspora harus mampu beradaptasi, sebagaimana yang dilakukan diaspora China di Indonesia. Meski tetap memelihara budayanya, pendatang dapat beradaptasi dengan kehidupan setempat. Pada tahap ini, percampuran atau akulturasi budaya terjadi dan identitas nasional terbentuk dengan tetap memperlihatkan identitas budayanya.
“Identitas para perantau terus bergerak, karena tidak bersifat tetap. Mereka perlahan-lahan mengalami proses ‘menjadi’ atau ‘becoming’, tetapi tetap mempertahankan budaya asalnya. Inilah yang menjadi kekhasan dari masyarakat diaspora. Masyarakat diaspora pada umumnya mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari wilayah yang ia tinggali,” kata Dr. Rahadjeng.
Akulturasi budaya merupakan salah satu strategi para pendatang untuk dapat bertahan. Melalui akulturasi, masyarakat diaspora mengelaborasikan budaya China dengan budaya lokal tanpa menghilangkan identitas masing-masing. Akulturasi budaya ini melahirkan kolaborasi yang unik karena budaya China berpadu dengan budaya Indonesia yang beragam.
Sebagai contoh, akulturasi budaya China di Sumatera melahirkan produk yang berbeda dengan akulturasi di Jawa, begitu juga dengan daerah lain. Kebaya Encim, misalnya, merupakan produk modifikasi pakaian khas peranakan China yang disesuaikan warnanya dengan selera masyarakat Betawi. Sementara itu, di pesisir Jawa, muncul ragam motif baru pada batik Indonesia berupa gambar burung phoenix, naga, serta tumbuhan dan satwa yang disusun seperti dalam seni lukis China.
Dr. Rahadjeng menyebutkan, pada mulanya, motif berciri khas China diperkenalkan melalui keramik, guci, atau benda lain yang dibawa untuk diperdagangkan oleh saudagar China yang datang dengan kapal besar. Karena perjalanan dari China ke Nusantara memerlukan waktu yang lama, mereka membawa makanan, herbal, dan obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan selama dalam perjalanan. Ketika mereka berlabuh dan menetap di sebuah wilayah, terjadi akulturasi pada aspek sandang, pangan, dan bidang lainnya.
“Kebudayaan China yang masuk ke Nusantara menambah khazanah budaya Indonesia. Kita tidak perlu khawatir dengan budaya lain yang masuk karena keragaman budaya Indonesia adalah kekayaan dan kekuatan kita. Percampuran budaya, selama masih disebut ‘akulturasi’, tidak memberi dampak negatif. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah ketika budaya luar mendominasi dan lebih dielu-elukan daripada budaya sendiri. Saya rasa mengalirnya arus budaya luar di era globalisasi harus disikapi dengan bijak, dan kita menjaga budaya negeri sendiri agar terus berdiri dengan kokoh,” ujar Dr. Rahadjeng.