
Cerpen Jakarta
Di sebuah pagi yang belum sempurna, ketika matahari baru mengusap pucuk-pucuk gedung dengan cahaya yang masih malu-malu, Jakarta terbangun seperti seorang tokoh tua yang penuh kisah, kota yang selalu tampak letih, namun tetap berjalan dengan degup yang keras kepala. Jakarta bukan sekadar titik di peta Nusantara; ia adalah suar yang menjaga mimpi Republik, tempat berkali-kali sejarah dipertaruhkan.
Jauh sebelum jalan-jalan padat dan jembatan layang melingkari tubuhnya seperti sarung mekanik, Jakarta bernama Sunda Kelapa. Pelabuhan kayu, suara kapal jung, dan aroma rempah menjadi bahasa yang dipahami orang-orang dari Gujarat, Eropa, China, Arab, hingga Nusantara sendiri. Mereka datang bukan hanya untuk berdagang, tapi untuk merasakan denyut kosmopolitan yang bahkan kala itu sudah menjadi semacam takdir bagi kota ini.
Ketika Fatahillah pada 22 Juni 1527 menaklukkan Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta, ‘kota kemenangan,’ maka ditetapkanlah garis nasib yang akan terus diikuti kota ini: bahwa ia akan menjadi panggung pertarungan besar. Di sini VOC membangun Batavia, di sini pula kolonialisme memperkeras wajahnya dan menebalkan luka-luka yang kemudian akan diwariskan kepada Republik yang belum lahir.
Namun sejarah tak pernah selesai pada satu bab. Jakarta, seperti tokoh dalam novel, selalu bergerak dari jurang ke harapan, dari kejatuhan ke kebangkitan.
Pada abad-abad berikutnya, di bawah nama Batavia, kota ini mengalami intensifikasi kolonialisme: eksploitasi sumber daya, pendidikan segregatif, hingga sistem ekonomi yang menempatkan bumiputra sebagai manusia kelas dua. Namun justru dalam tekanan inilah muncul embrio nasionalisme modern. Studi ilmu sosial kerap menyebutnya sebagai paradoks kolonial: penindasan global justru melahirkan kesadaran kolektif untuk merdeka.
Dalam penindasan kolonialisme Belanda, Jakarta menjelma menjadi laboratorium politik bagi generasi terdidik bumi pertiwi. Para pemuda yang bergulat dengan ide kebangsaan mulai membangun jaringan, media, dan forum diskusi. Kota ini memelihara percakapan sosial yang kemudian menjadi arus utama: tentang persatuan, keadilan sosial, dan kemerdekaan.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>






