Ahmad Fauzan Sazli
Kisruh ini bermula dari sebuah film arahan Hanung Bramantyo dan Hestu Saputra berjudul “Cinta Tapi Beda.” Film itu mengisahkan tentang cinta gadis asal Padang beragama Khatolik dengan laki-laki Jawa beragama Islam. Film ini digugat oleh Komunitas Keluarga Besar Minang di Jabodetabek.
Dalam film itu, hubungan insan yang dimabuk asmara tersebut harus kandas. Perbedaan keyakinan membuat kedua keluarga tidak setuju. Akhirnya Diana dijodohkan dengan laki-laki yang seiman. Sedangkan Cahyo melewati masa terburuk dalam hidupnya.
Komunitas Keluarga Besar Minang menggangap cerita film yang dibintangi oleh Ayu Dyah Pasha, Reza Nangin, Agni Pratistha, dan Hudson Prananjaya tersebut keluar dari adat orang Minang yang bernafaskan Islam. Mereka menuntut agar si sutradara meminta maaf dan menarik film tersebut.
“Adat minang itu berlandaskan pada agama Islam. Sedang agama Islam berdasarkan pada Al-Quran,” kata Muhammad Rozi, Pengurus Pusat Keluarga Mahasiswa Minang Jaya kepada KabarKampus, Rabu, (09/01/2013) menjelaskan alasan mereka menolak film tersebut.
Menurutnya, Padang identik dengan Minang. “Minang itu kental dengan Islam.” Namun, dalam film “Cinta Tapi Beda” tokoh Diana berasal dari Padang beragama Khatolik. Ia makan babi rica-rica. Apalagi sebagian film tersebut berada di Minang.
“Kehadiran film ini merusak paradigma adat Padang atau Minang yang bernafas Islam. Nanti, dampaknya bagi generasi muda, orang Minang boleh menikah dengan agama lain. Orang Minang juga boleh makan babi,” jelas Rozi.
Padahal menurut Rozi, agama Islam melarang menikah dengan agama lain. Bahkan orang Minang itu akan dikeluarkan dari keluarga dan adatnya.
Komunitas Keluarga Besar Minang, tak hanya ingin film tersebut ditarik. Senin, (07/01/2013) lalu, mereka juga melaporkan Raam Punjabi sebagai Produser, Hanung Bramatyo sebagai Sutradara, dan pemeran wanita yaitu Agni Pratistha ke Polda Metro Jaya. Mereka akan dituntut dengan Pasal 156 KUHP Jo Pasal 4 dan 16 UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Robi mengatakan, bahwa protes yang mereka lakukan bukan karena persoalan agama. Menurutnya, di Padang sendiri kehidupan beragama berjalan rukun dan berdampingan. “Bahkan ketika terjadi kerusuhan tahun 1998 di Jakarta. Di kota Padang tidak ada konflik antar agama.”[]