Oleh: Gita Jonelva*
Hampir semua ahli memprediksi di Indonesia tidak akan lagi terjadi involusi (berputar-putar) kebudayaan, dan justru negara ini akan segera memasuki era yang berkebudayaan modern. Dengan kata lain, masyarakat sedang mengalami transisi dari masyarakat agraris tradisional ke arah industrial modern.
Pengalaman negara-negara maju menunjukkan masyarakat industrial modern akan membawa konsekuensi munculnya nilai-nilai baru. Pertama, rasionalisme akan menyebabkandipertanyakannya sejumlah nilai yang berkembang dari doktrin-doktrin agama. Kedua sekularisme, yang berarti mengecilnya wilayah agama yang kemudian hanya terbatas pada soal-soal pribadi dan keluarga, dan sama sekali doktrin-doktrin agama itu menjadi tidak relevan dengan soal-soal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ketiga, terdesaknya nilai-nilai idealisme oleh pragmatisme, nilai-nilai kebersamaan oleh individualisme, nilai-nilai sakral (suci) oleh profance (dunia).
Nilai-nilai itu sesungguhnya berkembang bersamaan dengan paham materialisme, hedonisme dan konsumerisme. Dilihat dari sudut berkembangnya nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat industrial modern itu, ada tantangan yang dihadapi pendidikan Islam. Pertama, lembaga-lembaga pendidikan formal agama akan kehilangan daya tarik bagi masyarakat. Sebab pengetahuan agama tidak menjanjikan masa depan material yang cukup untuk mengikuti arus budaya mo dern. Kedua, pendidikan agama di sekolah umum juga semakin kurang diminati oleh pelajar.
Hal ini disebabkan oleh pandangan anak didik bahwa sukses di mata pelajaran agama tidak akan ikut menentukan karir pendidikan dan kehidupan. Problem Internal Jika ditinjau dari sudut kualitas, sesungguhnya ada tantangan internal yang harus segera dijawab jika kita tidak ingin pendidikan agama akan kehilangan relevansinya.
Salah satu di antaranya ialah kenyataan bahwa agama itu tidak disuguhkan menjadi suatu materi pendidikan yang menarik. Banyak sekali pengulangan materi dari tingkat terbawah sampai tingkat teratas. Hal ini menyebabkan pelajaran agama menjadi hal yang menjemukan. Hal ini ditambah pula dengan kenyataan pendidikan agama lebih bersifat indoktrinatif dari pada rangsangan untuk berpikir kritis. Keadaan demikian, kecuali menyebabkan pendidikan agama itu menjadi tidak menarik, juga menyebabkan kurang mendukung perkembangan intelektualisme.
Padahal perkembangan Indonesia di masa-masa yang akan datang justru sangat memerlukan pijakan intelektual yang lebih kokoh. Dan karena keadaan itu, maka pertumbuhan intelektualisme Islam dari lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak seperti yang diharapkan. Oleh karena itu tampaknya perlu reorientasi mendasar terhadap pendidikan agama. Kecuali perlunya penjenjangan materi, pendidikan agama itu sendiri jangan hanya bersifat normatif tetapi juga bersifat historis.
Anak didik harus sudah mulai diperkenalkan sejak dini kaitan antara ajaran-ajaran Islam normatif dan tradisi-tradisi Islam yang lahir dalam konteks historis. Dengan demikian, anak didik akan terbiasa berfikir kritis, suatu kemampuan yang sangat dibutuhkan masyarakat kita di masa depan. Di samping kenyataan di atas, ada suatu penekanan pendidikan yang tidak memberikan pijakan yang kondusif bagi lahirnya manusia yang memiliki prospek intelektualisme yang cerah.
Di sekolah-sekolah agama, juga di sekolah-sekolah umum, pendidikan tampaknya memberikan bobot yang berat pada pendidikan untuk komitmen masa lalu. Pelajaran PPkn, sejarah nasional, sejarah Islam, dan budi pekerti diberikan bukan dalam wataknya yang dinamis tetapi konservatif. Persoalan lain yang tampaknya menjadi kendala bagi lahirnya manusia untuk terjun ke dalam era industrial ialah pendidikan yang tidak merangsang berkembangnya kreativitas.
Kelihatannya dari sekian banyak materi pelajaran merupakan ilmu yang sudah jadi. Di lain pihak, masih sedikit materi itu diberikan dengan metode merangsang pelajar untuk melakukan penelitian secara mandiri maupun kolektif.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>