More

    The Power Of Money

    Efi Salinda

    Di tengah kompleksnya persoalan sosial saat ini, masalah  perekonomian agaknya menjadi isu sentral dari berbagai persoalan tersebut. Ketika kita berbicara tentang ekonomi, maka secara tidak langsung kita membicarakan uang. Karena uang adalah nama lain dari ekonomi.

    Terlepas dari itu semua, tidak dapat dipungkiri bahwa hidup pada abad 21 ini sangat tergantung pada lembaran yang menjadi alat tukar tersebut. Seperti benda yang mempunyai kekuatan sihir, kerta-kertas itu dapat membuat orang melakukan apapun untuk mendapatkannya. Bahkan hal-hal yang tidak pernah terfikirkan sekalipun. Sebut saja sederetan catatan kriminal seperti pencurian yang sering dilakukan mulai dari rakyat kecil sampai para pejabat berdasi yang terlihat elegan. Namun dibungkus dengan nama yang berbeda.

    - Advertisement -

    Ironisnya, diakui atau tidak, jiwa matrealialistis sejatinya ada dalam diri setiap orang. Hanya kadar dan cara masing-masing individu dalam mengendalikannya yang berbeda. Menjadikan yang satu terlihat tamak dan rakus sementara yang lain terkesan lebih arif dalam menyikapi nafsu.

    Kalau pelakunya berasal dari kalangan rakyat, maka namanya adalah kasus pencurian, penjambretan atau perampokan. Tapi kalau dilakukan “tikus berdasi”, maka namanya menjadi korupsi. Apapun namanya, substansinya tetap sama. Mengambil sesuatu yang bukan haknya. Yang pertama sering dilakukan karena kebutuhan hidup yang mendesak, sedangkan yang kedua lebih dikarenakan kerakusan dan rasa tamak yang telah menggerogoti hati sehingga kehilangan rasa kepedulian.

    Kertas yang memiliki sejumlah angka disudut atas itu juga bisa menghipnotis seseorang untuk menjual harga diri dengan murah. Lihat saja para PSK yang menjajakan tubuhnya untuk dinikmati oleh siapa saja yang sanggup membayar dengan beberapa lembar kertas itu, dengan dalih keterpurukan ekonomi, uang menghalalkan yang haram.

    Tak peduli dari kalangan apa orang yang datang kepadanya atau latar belakang pendidikannya, selama ia menjanjikan benda yang bernama uang, mereka bersedia menjadi budak nafsu.

    Uang tak hanya dapat membeli sesuatu berupa benda yang bersifat kongkrit. Ia juga mampu membeli hati nurani. Hal ini tergambar dengan jelas pada watak para sindikat penjualan anak dan pembunuhan yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah uang. Uang dengan segala daya tariknya memiliki kekuatan yang luar biasa. Nyawa pun seolah tak berharga demi uang.

    Kekuatan uang nyaris tanpa batas. Semua orang tunduk padanya. Tingkat pendidikan dan status sosial tak berkutik dihadapannya. Bahkan ia dapat mengatur status dan pedidikan seseorang. Orang yang memiliki gunungan lembaran kertas tersebut, akan menjadi konglomerat yang disegani. Dengannya pula seorang pelajar dapat melanjutkan pendidikan dengan mudah ke lembaga pendidikan manapun yang ia mau. Dengan embel-embel gelar pendidikan yang memperpanjang namanya, seseorang akan ditempatkan dalam strata tertinggi dalam sebuah sistem sosial.

    Para karyawan “menjilat” atasan agar dipromosikan untuk jabatan yang lebih tinggi dan gaji yang lebih besar. Para pelajar mati-matian menghafal agar lulus dalam ujian dan mendapatkan pekerjaan yang layak dan gaji yang lebih dari cukup. Para kuli bekerja sepanjang hari agar  mendapatkan upah untuk menyambung hidup.

    Ratusan orang rela mati menuntut penguasanya agar meninggalkan singgasana kekuasaan, dan berharap perbaikan ekonomi yang lebih baik ditangan pemimpin yang akan datang. Mesir telah sukses dan Indonesia telah lebih dulu mencetak sejarah. Sedangkan Libya masih menumpahkan darah untuk menggulingkan Khadafi. Semuanya berharap untuk sesuatu yang lebih baik. Dan semuanya berakar pada uang.

    Kekuasaan uang sungguh mengerikan. Ia tak hanya merajai pasar, tapi ilmu pun dapat diperjual belikan dengan uang. Deskripsi ini tampak nyata pada oknum-oknum yang bersedia meminjamkan kecerdasan otaknya pada orang yang ingin meraih gelar kesarjanaan tanpa usaha keras. Siapapun yang memiliki uang, dapat membayar orang lain untuk mengerjakan tugas-tugasnya. Kemudian lulus dan menyandang gelar kesarjanaan dengan usaha minim.

    Wajar saja jika semua orang ingin menjadi kaya. Karena Islam pun mengajarkan umatnya untuk menjadi orang kaya. Karena untuk memberikan zakat seseorang harus memiliki kelebihan harta. Kelebihan, berarti jumlah yang kita miliki melebhi dari yang kita butuhkan. Dan kaya berarti memiliki sejumlah kelebihan harta.

    Sedekah, infaq dan hibah semuanya dapat dilakukan jika seseorang memiliki kelebihan harta. Orang yang hidup dalam garis kemiskinan tidak bisa melakukan semuanya. Karena untuk memberi pada orang lain, kita harus mencukupi semua kebutuhan diri sendiri dan orang-orang yang menjadi tangungan kita.

    Semuanya bermula dari satu paradigma. Paradigma bahwa uang adalah segalanya. Ia adalah symbol kejayaan, kekuasaan dan penghormatan. Uang memiiki kekuatan yang luar biasa akibat penciptanya sendiri. Karena ia tidak pernah meminta kekuasaan, tapi diberi kekuasaan.

    Uang diciptakan dengan tujuan mempermudah proses jual beli dari cara barter. Tapi seiiring perjalanan waktu, uang justru menjadi lambang sebuah kehormatan dan standar kemewahan serta kekayaan. Uang menentukan masa depan. Uang menjadi tolak ukur sebuah keberhasilan. Tidak ada kekayaan tanpa uang.

    Semua celah yang dapat mendatangkan uang akan disikat langsung tanpa memberi kesempatan pada orang lain untuk mendapatkannya. Ibarat jin Aladin yang mampu mengabulkan permintaan majikannya, uang pun dapat mewujudkan semua mimpi, tidak hanya tiga, tapi semua yang dinginkan.

    Mulai dari rumah mewah, perabotan nan berkelas, kendaraan mahal, pendidikan bahkan kekasih pun akan  datang dengan mudah jika digengaman kita ada segepok uang. Semuanya bermuara pada lautan uang. Uang yang diciptakan untuk mempermudah transaksi jual beli kini justru berbalik memerintah penciptanya. Memperbudak manusia dengan cara yang sangat arogan. Sejatinya keputusan ada ditangan kita. Apakah kita rela diperintah uang atau kita mau berubah dan menghentikan penjajahan yang tidak kita sadari ini? []

     

    *Penulis merupakan Pemimpin Redaksi LPM Suara Kampus IAIN IB Padang

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here