More

    Sujiwo Tejo Ngawur Karena Benar

    A. Fauzan Sazli

    Sujiwo Tejo FOTO : A. FAUZAN SAZLI

    Ia banyak membicarakan hal-hal dasar, penting, tapi sering dilupakan banyak orang. Sekilas tampak ngawur tapi tidak. Bisa jadi itu gara-gara cara ngomongnya ceplas-ceplos, penuh sindirian dan sarkas.

    Orang “ngawur” ini terlahir dengan nama Agus Hadi Sudjiwo tapi kita mengenalnya dengan nama Sujiwo Tejo.

    - Advertisement -

    Kali ini KaKa beruntung bisa bertemu dengan salah satu orang yang hidupnya penuh dengan mencipta karya. Mulai sastra, musik juga mendalang. Karyanya menyentuh persoalan budaya, sosial juga politik. Begitu juga soal demokrasi Indonesia saat ini. Ia punya pandangan tersendiri.

    “Mengapa sebuah kebenaran itu ditentukan oleh orang banyak? Kenapa seseorang itu cantik kalau didasarkan pemungutan suara 90 persen bilang dia cantik? Mengapa untuk membangun jembatan Selat Sunda harus ditanya ke semua anggota dewan? Kenapa tidak ditanyakan kepada insinyur ahli jembatan,” kata Sujiwo Tejo mencontohkan soal demokrasi di Indonesia saat mendiskusikan buku terbarunya berjudul “Ngawur Karena Benar” dalam rangkaian Islamic Book Fair di Istora Senayan Jakarta (13/06).

    Matanya melotot. Tapi para pecinta buku yang hadir malah tersenyum.

    Buku “Ngawur Karena Benar” adalah buku keempat Tejo setelah “Dalang Edan”, “Kelakar Madura Buat Gusdur”, dan “The Sax”.

    Buku ini menggambarkan berbagai persoalan ngawur bangsa Indonesia soal presiden, guru, partai politik, wakil rakyat, dan sebagainya. Ia memberi judul pada topik presiden misalnya dengan “Seandainya Saya Bukan Presiden.” Soal presiden ini Tejo memang teridentifikasi suka gondok. Marah. Tapi ia membungkusnya dengan kata-kata yang buat kita geleng-geleng kepala.

    Beberapa artikel diantaranya berjudul “Pasemon Anas-SBY”, “Bapak Ceplas-Ceplos Nasional”, “Amir Membolos Kata Bu Guru”, “Wakil Rakyat Klapis Ireng”, dan sebagainya.

    Pada artikel berjudul “Pasemon Anas-SBY” misalnya, lelaki kelahiran Desa Ambulu, Jember, Jawa Timur ini menyentil soal hubungan Anas-SBY yang tegang. Ia menggunakan kata pasemon untuk menginstilahkan saling silang pidato kedua pentolan Partai Demokrat saat membuka Rakornas beberapa waktu lalu.

    Pasemon bisa diartikan sebagai sebuah cara berkomunikasi dalam budaya Jawa yang penuh pujian sekaligus sebuah tamparan. Bahasanya santun tapi sebenarnya saling memberi jap dalam olahraga tinju.

    Dalam tafsir ki dalang edan, pasemon Anas ke SBY: apabila engkau mendongkelku, maka aku pun sudah siap mendongkelmu. Ingat, tuduhan dan fitnah kepadamu justru lebih besar.

    Di akhir artikel, Tejo pun membuat manuver pikiran. Semuanya berasa ditampar. Semuanya berasa harus membuat pasemon.

    “Mungkin Anas dan SBY buka-bukaan sajalah. Pasemon – nya: jiwa mata duitan kalian, jika kelak itu terbukti, belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan jiwa mata duitan kami, segenap rakyat. Kami hanya belum mendapat kesempatan berkuasa.”

    Masih dalam tema-tema kehidupan berbangsa dan bernegara. Buku “Ngawur Karena Benar” juga menyoal sirene yang sering kita dengar saat berlalu-lintas di jalan raya. Menurut Tejo, kenapa masyarakat ketika mendengar suara sirine mobil polisi langsung mingggir. Padahal menurut undang-undang lalu lintas hanya ada lima yang berhak didahulukan di jalan raya yaitu, presiden dan wakil presiden, tamu negara, ambulan, kereta api,  dan pemadam kebakaran.

    “Menteri dan gubernur nggak berhak meminggirkan kita.”

    Kata-kata Tejo memang seperti gerakan kungfu. Khususnya gerakan kungfu Jackie Chan. Menghantam ke sana dan ke sini, melompat, jungkir balik, berantakan tapi tepat sasaran.

    Di dunia sosial media, twitter, Tejo dengan akun @sudjiwotedjo dinobatkan sebagai Presiden Jancukers. Ribuan pengikutnya. Khas dari presiden ini, selalu ada “jancuk” di tiap kata-katanya. Tejo sangat aktif. Bisa jadi melebihi para galauers.

    Menurut suami dari Rosana Nurbani serta ayah dari Rembulan Randu Dahlia, Kennya Rizki Rinonce, dan Jagad, ada banyak hal yang cuma bisa disampaikan melalui akting, musik, dan senirupa. Tapi juga ada banyak hal yang bisa disampaikan melalui kata-kata.

    Meskipun kata-kata itu dianggap ngawur. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here