More

    Memburu Pengakuan dari Agama di KTP

    Laban Laisila

    ktp dan agama

    Ilustrasi / foto : metrotvnews.com

    - Advertisement -

    Putusan Mahkamah Agung Indonesia yang tidak mempersoalkan identitas agama dalam ruang pengadilan mendapat sambutan baik dari berbagai kalangan, bahkan mulai muncul desakan untuk menghapuskan kolom agama dari KTP karena menghambat hak sipil dan pelayanan publik.

    Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), salah satu organisasi yang menyerukan pluralisme dan kebebasan berkeyakinan, menyambut positif yang dilakukan oleh Mahkamah Agung untuk mengakui dan tidak mempersoalkan keyakinan orang yang berperkara.

     Hal itu diketahui dari sebuah lampiran putusan perkara tingkat kasasi di Mahkamah Agung terkait kasus penipuan yang menulis keyakinan identitas terdakwa dengan kepercayaan penghayat Tuhan.
    Sementara dalam kasus tuduhan kriminal lainnya di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, MA juga menuliskan dalam putusan diantara lima terdakwa memilih Kepercayaan Marapu.
    Putusan tersebut tergolong baru karena mulai mencantumkan keyakinan lain di luar enam agama yang diakui Pemerintah Indonesia, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu.
    Wakil Ketua ICRP, Yohanes Hariyanto mengungkapkan, hal ini adalah sebuah langkah awal bagi negara mulai mengakui para penganut keyakinan yang tersebar di seluruh Indonesia.
    Namun menurutnya itu saja belum cukup dan perlu dilanjutkan untuk penghapusan kolom agama dari Kartu Tanda Penduduk (KTP).
    Hingga kini banyak para penganut kepercayaan dan agama leluhur di Indonesia masih terpaksa memilih agama yang diakui atau tidak membuat KTP.
    Buat mereka yang tidak memiliki KTP karena menolak mencantumkan agama akan kehilangan hak hak sipilnya.
    “Anda tahu ya di Indonesia kalau tidak punya KTP anda bukan siapa-siapa dan tidak bisa mengurus apapun untuk administrasi kependudukan yang lain. Untuk naik keretapun perlu KTP, begitu juga beli tiket pesawat,” ujar Hariyanto.
    “Jadi bisa dibayangkan orang di cut hak-hak sipilnya justru dilakukan oleh negara,” tambah Hariyanto.
    Untuk itulah, kata Hariyanto, perlu ada penghapusan kolom agama dan negara harus mengakui semua warganya, terlepas dari latar belakang pengakuan agamanya.
    “Kalau negara mau tahu berapa jumlah penganut agama tertentu, tinggal lakukan saja sensus secara reguler, tidak ada masalah,” jelasnya.
    Pengakuan para pengkhayat
    Masalah dengan layanan publik dan respon negatif dari masyarakat memang kerap dirasakan oleh penganut kepercayaan.
    Salah satunya adalah Tenri Bibi, penganut agama komunitas Tolotang dari Sidrap, Sulawesi Selatan.
    Dia mengaku terpaksa mencatumkan agama yang diakui pemerintah dalam KTP agar tidak dipaksa sembahyang oleh penganut agama mayoritas.
    “Itu tadi pemaksaaan untuk sembahyang, padahal kami tidak mau sujud. Dulu karena ga ada pengakuan kami bernaung di agama Hindu karena ga mau bersujud dan dengan perjanjian kita tidak melakukan ritual agama Hindu seperti di Bali,” cerita Bibi.
    Menurut Bibi, kini penganut kepercayaan Tolotang memang sudah sedikit leluasa untuk melaksanakan ritual di daerahnya, meski sebagian tetap ada yang mencibir dengan kata kafir.
    Tapi baginya yang tersulit tetap mendapat pengakuan dari Pemerintah melalui pencantuman di KTP.
    Hal yang mirip juga dialami oleh para komunitas penghayat Sunda Wiwitan dari Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
    Ela Romlah, warga komunitas penghayat Sunda Wiwitan, terpaksa memilih mencatumkan agama Katolik untuk menyelamatkan masa depan keluarganya.
    Romlah beralasan melakukan itu supaya tiga anaknya bisa punya akte kelahiran dan tidak sulit mendapat perkerjaan serta pengakuan pernikahan seperti yang sekarang dialami oleh banyak keturunan pengkhayat.
    “Kalau ada yang mendapat kesempatan menjadi pegawai negeri dan perempuan kita menikah dengan seorang lelaki karena adat yang tidak punya akte kelahiran dan akte perkawinan, tunjangan keluarga yang biasa diterima oleh pegawai negeri itu tidak bisa diterima oleh kami,” katanya.
    Kesulitan Romlah belum berhenti sampai di situ.
    Dia mengenang peritsiwa 27 tahun lalu, saat jenazah suaminya tidak bisa dikuburkan di kampungnya karena otoritas setempat tidak mau mengakui.
    “Lapor ke desa tapi belum juga dimakamkan sampai datang perwakilan departemen agama. Pertanyaan datang terus-menerus saat saya sedang berduka. Saya tidak mengerti soal politik soal kebijakan. Tapi yang saya tahu, mayat harus segera dikuburkan,” kenang Romlah.
    Masih ada puluhan ribu orang lagi yang mungkin menghadapi diskriminasi dan berharap ada pengakuan dari negara seperti Ela Romlah dan Tenri Bibi.
    Terdapat lebih dari seribu komunitas adat dan agama lokal di Indonesia yang terdaftar di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
    Kesempatan pengakuan komunitas penganut agama lokal ini juga semakin sempit sejak upaya uji materi Undang Undang Penodaan Agama ditolak Mahkamah Konstitusi.
    Tapi sebagian besar masih berharap kesetaraan.[]
    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here