More

    Bunuh Diri, Mengapa dan Bagaimana Pencegahannya

    ABC AUSTRALIA NETWORK
    29 10 2013 ilustrasi bunuh diriLynne Malcolm
    Bagi mereka yang belum pernah mengalami keinginan bunuh diri, mungkin sulit memahami, mengapa ada orang yang mengambil keputusan mengakhiri hidup mereka sendiri. Menurut Biro Statistik Australia, setiap tahun 2.000 hingga 2.500 orang meninggal karena bunuh diri.

    Bunuh diri menempati posisi kedua penyebab kematian terbanyak di kalangan pemuda, setelah kecelakaan mobil. Hampir 80 persen mereka yang melakukan bunuh diri adalah laki-laki.

    Susan Beaton, ahli psikologi yang bekerja untuk organisasi anti-depresi Beyond Blue, telah bekerja di bidang pencegahan bunuh diri selama 25 tahun. “Untuk kebanyakan orang…mereka sebenarnya tidak ingin mati, mereka ingin agar apapun yang terjadi dalam hidup mereka berhenti,” jelasnya.

    - Advertisement -

    Menurut Beaton, dalam menyikapi bunuh diri, isunya lebih mengarah pada membantu seseorang menemukan cara untuk hidup, ketimbang mencegah mereka mengakhiri hidup. Mic Eales, seniman yang kini sudah memiliki cucu, mengakui bahwa Ia sudah mulai menyakiti diri sendiri saat berusia Sembilan tahun. Penyebabnya, menurut Eales, bermacam-macam, mulai dari tinggal kelas hingga diejek oleh kakaknya.

    Pada saat Ia sudah berkeluarga dengan dua anak, kakaknya bunuh diri, dan Ia kembali mengalami krisis.

    Eales menggambarkan rasa ingin bunuh diri:

    “Saya bisa menggambarkan rasa sakit itu mirip dengan saat anda pertama mengalami migren yang amat sangat parah, di mana anda tak bisa tahan terhadap cahaya, suara, anda harus berusaha keras untuk sekadar bernafas. Namun lebih parah lagi dibanding itu. Dan anda bukannya ingin mati, anda hanya ingin rasa sakit itu berakhir.”

    Menurut Eales, saat mengalami krisis ingin bunuh diri, sebenarnya akan membantu bila ada yang bertanya padanya “apakah anda sedang merasa ingin bunuh diri?”

    “Yang kita butuhkan adalah berhubungan dengan orang lain, kita butuh tahu bahwa kehidupan kita berarti dan bahwa ada pilihan lain yang lebih baik dibanding bunuh diri,” jelasnya.

    Menurut Beaton, bekerja dengan orang-orang yang ingin bunuh diri butuh keahlian tersendiri, dan harus dilakukan dengan rasa empati yang khusus.

    Kathy McKay, seorang peneliti di University of New England, beberapa kali bersentuhan dengan kasus bunuh diri. Pertama, saudara laki-lakinya bunuh diri saat McKay berusia 21 tahun. Selain itu, teman baiknya juga meninggal karena sebab yang sama.

    Saat ini, McKay meneliti tentang perilaku bunuh diri di kelompok-kelompok rawan, termasuk penduduk bumiputra Australia. Menurutnya, angka bunuh diri jauh lebih tinggi di kalangan bumiputra. Bahkan, mencapai dua tiga kali dibanding populasi non-bumiputra.

    “Satu hal yang paling menyedihkan adalah ada indikasi bahwa bunuh diri di kalangan anak kaum aborigin pun meingkat,” ceritanya.

    Menurutnya, salah satu sebab tingginya angka ini adalah trauma antar generasi, yang melibatkan kematian tidak hanya karena bunuh diri namun juga sebab lain.

    McKay pernah bekerja dalam program Alive And Kicking Goals, di Broome, Australia Barat.

    “Itu adalah kelompok laki-laki muda yang melihat tragedy bunuh diri di sekeliling mereka dan memutuskan bahwa mereka ingin melakukan sesuatu untuk membantu,” jelasnya.

    Menurutnya, salah satu kegiatan terpenting yang mereka lakukan adalah melakukan focus group dengan anak-anak berusia 10 hingga 15 tahun.

    “…mereka belum pernah melihat orang Aborigin lain pergi ke Irlandia atau ke komunitas lain, jadi mereka melihat bahwa kita bisa memiliki impian di luar komunitas, dan mereka bisa bekerja di tambang, ke luar negeri atau jadi bintang football. Dan mereka mulai berbincang tentang mimpi yang sebelumnya tak mereka punya,” jelas McKay.

    Menurutnya, layanan-layanan pencegahan bunuh diri harus sesuai dengan budaya yang berlaku di komunitas tempat layanan tersebut dilakukan. Contohnya di tempat kerja, komunitas Aborigin, atau tempat pengungsian.

    Angelo De Gioannis, psikiater dari Brisbane, selama 10 tahun mengkoordinasi servis luar rumah sakit bagi orang-orang yang pernah mengalami kecenderungan ingin bunuh diri. Menurutnya, ada orang –orang yang bekerja terlalu keras melebihi kemampuan mereka, hingga akhirnya tidak tahan lagi.

    “Salah satu kasus yang paling saya ingat adalah seorang laki-laki berusia 40an tahun yang telah menghabiskan hidupnya bekerja 16, 18 jam sehari. Menurutnya tidak pernah ada cukup pekerjaan, hingga Ia sampai pada ke titik di mana Ia mengalami migren terus-menerus…tiba-tiba Ia tak tahan lagi, dan itulah saat Ia mencoba bunuh diri pertama kali,” cerita De Gioannis.

    De Gioannis bercerita bahwa Ia dan rekan-rekannya di klinik yang Ia jalankan mengobati “mental overactivity”, atau “terlalu banyak menggunakan otak.”

    “Kebanyakan orang yang ke klinik kami menjelaskan aktivitas mental mereka secara lebih cepat dan intens dibandingkan pembicaraan normal satu orang dengan orang lain. Pengobatan kami berusaha agar intensitas tersebut dikembalikan ke tingkat aktivitas mental yang selaras dengan pembicaraan yang normal,” jelasnya. []

    SUMBER : RADIO AUSTRALIA

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here