Bayu Arga Dewantara – Universitas Brawijaya
Sebelum menyangkut pada gaya hidup hijau ada baiknya kita bahas dulu bagaimana asal muasal Green LifeStyle ini berkembang. Alam senantiasa menyediakan berbagai kebutuhan manusia namun manusia belum bisa memahami tentang alam.
Kita anggap alam sebagai sebuah sumber daya yang tidak terbatas dan harus dieksploitasi habis demi apalagi kalau bukan uang, kesenangan dunia. Keterkaitan alam dan manusia seringkali menjadi sebuah simbiosis parasitisme dimana alam selalu menjadi yang dirugikan dan manusia mencaplok habis semuanya. Tapi manusia yang mana dulu ini? Ternyata tidak semua manusia sikapnya seperti itu bukan?
Ternyata masih banyak manusia venakular (desa, pedalaman) tetap memegang teguh posisi alam sebagai sumber kehidupan yang harus dilestarikan.
Terlepas dari kepercayaan/mistis mereka hanya mengambil secukupnya dan memberikan alam ruang dan waktu untuk berkembang dan memperbarui diri. Mereka terbiasa hidup dengan selaras, seimbang dan menahan diri demi menjaga kelangsungan hidup manusia dan alam itu sendiri.
Kita dapat melihat kebiasaan masyarakat Kampung Naga yang tetap membiarkan wilayahnya sebagai hutan dan berpindah lokasi pada lahan baru jika jumlah populasi sudah mencapai batas.
Juga masyarakat Wae Rebo dengan Bale Niangnya, Batak Karo dan Si Waluh Jabunya dan Dayak dengan rumah Panjangnya, mereka membangun arsitektur dan masyarakat mereka berbasis alam, arsitektur mereka tidak menentang alam namun malah menyelaraskan dengan alam seperti konstruksi panggung, arah hadap bangunan terhadap matahari, penggunaan material seperti (maaf) tahi kerbau mereka gunakan sebagai lapisan lantai bangunan mereka.
Dan masih banyak lagi dimana alam tidak merasa terancam dengan berbagai perbuatan yang mereka lakukan.
Selanjutnya mari kita beralih ke kota, masyarakat modern yang mengatakan dirinya beradap, berpendidikan, maju dan hal-hal Maha lainnya dan malah menjadi penyumbang terbesar Global Warming. Yaaa… pemanasan global yang saat ini menjadi permasalahan alam paling pelik bagi seluruh penduduk dunia ini berawal dari keingintahuan, keinginan bahkan nafsu manusia agar dapat meringankan segala macam beban pekerjaannya.
Kemajuan teknologi yang secara cepat dan tidak terbendung membuat hal-hal seperti alam dikebelakangkan. Berbagai macam hal yang ada di alam dimanfaatkan seefektif dan sebanyak mungkin tanpa memperdulikan efek sampingnya. Alam tergerus oleh asap pabrik, kendaraan. Ozon terlubangi oleh freon. Bumi terkeruk, terkoak dijarah mineralnya yang semua itu dilengkapi dengan terkungkungnya panas matahari dalam lapisan atmosfer dan membuat keseimbangan es di kutub melumer dan kekacauan cuaca di belahan bumi ini.
Meski semua itu dilakukan dengan tujuan mulia namun harus tetap dipikirkan bagaimana efeknya. Dan kini mereka berusaha memperbaiki hidup dan alam mereka melalui penemuan dengan basis-basis alam dan tindakan-tindakan yang menjaga kelestarian alam. Memang tidak ada yang terlambat untuk sebuah perubahan.
Perubahan itu bisa dimulai dari penggunaan air secara hemat, reuse, recycle, recreate, material-material yang tidak bisa diuraikan tanah, hingga earth hour untuk mengurangi polusi cahaya dan penghematan energi dan berbagai macam hal lainnya yang sudah seharusnya dilakukan sejak dulu.
Mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan itu akibat dari perilaku mereka yang terdahulu dan sekarang saatnya berinovasi dari hal terkecil atau bisa saja kita mengadaptasi, memodifikasi, mengkontemporarisasi gaya hidup green masyarakat venakular yang sesuai dengan perkembangan jaman agar dapat membuat bumi yang sedang sakit ini setidaknya bisa bertahan lebih lama lagi.[]