Slamet Mardiyanto, namaku. Saat jemariku menekan keyboard menuliskan essay ini, tak terasa hampir genap lima tahun sudah aku mengabdi di tanah perantauan ini. Kembali kuteringat beberapa memori dulu sewaktu gelar S1 telah aku sandang. Berkali-kali ku berpindah pekerjaan di pulau kelahiranku.
Ada yang karena perampingan jumlah karyawan (bahasa halusnya) atau PHK (pemutusan hubungan kerja) ataupun disebabkan ketidakbetahanku terhadap sistem kerja malah juga pernah karena ketidaknyamananku dengan kondisi kehidupan di sekitar tempat kerjaku. Kemudian ketika lima tahun lalu (tahun 2009) aku diterima bekerja di luar pulau, aku berspekulasi, apakah aku akan survive atau tidak? Dan sampai sekarang ternyata aku masih tetap mengajar di sebuah sudut kecil di tanah Celebes. Yang berarti diriku dapat beradaptasi.
Suatu daerah yang tak pernah sekalipun terbersit dalam pikiranku dahulu bahwa aku akan mencari penghidupan di sini. Suatu daerah yang telah berbeda satu bagian waktu dengan Pulau Jawa.
Menapaki hari demi hari, meniti waktu demi waktu telah kulalui di dunia hijaunya kebun kelapa sawit, karena di sinilah tempatku memperoleh rezeki-Nya. Masih terngiang pula saat pertama kali kupijakkan kaki di pulaunya pahlawan yang tersohor sebagai ayam jantan dari timur ini. Selepas landing di Bandara Mutiara Palu, di dalam mobil jemputanku, kutelusuri jalanan dan alam yang terasa benar perbedaannya dengan daerah asalku Purworejo, sebuah kota di Jawa Tengah. Tak hanya mataku yang menikmati pengalaman baru tapi juga badanku yang tergoncang ikut merasakannya karena jalan yang aku lewati masih belum diaspal sepanjang puluhan kilometer. Selama perjananan sejauh 150 km, perbukitan hijau di sisi kiriku dan keindahan pantai di sebelah kananku, sebuah view yang teramat jarang aku alami. Sungguh betapa Indonesia, negeri yang amat kaya dengan berbagai panoramanya yang begitu mempesona.
Polusi udara akibat aktivitas pabrik dan banyaknya kendaraan tak aku temukan di daerah tempat tinggalku ini. Pagi hari saat kubuka pintu dan jendela, hawa sejuklah yang langsung menerobos masuk mengisi rumahku. Begitu segar terasa di paru-paruku. Mataku pun turut hanyut menikmati keasrian dan hijaunya alam di belakang dan samping rumahku. Tampak jelas ratusan batang pohon kelapa sawit dari bagian belakang dan samping rumahku. Merekalah makhluk Alloh yang menjadi perantara rezeki bagi ratusan bahkan ribuan karyawan di perkebunan ini, termasuk bagiku.
Dengan butir-butir buah merahnya yang terkumpul berbentuk tandan dan semerbak aroma manisnya saat telah masak dan menyentuh tanah merupakan padu padan tersendiri yang menjadi karakteristik khas daerah sini. Tak hanya karyawan yang datang dari berbagai penjuru nusantara yang menikmati kesegaran dan keindahannya. Tapi penduduk sekitar wilayah perusahaan pun tak luput darinya, karena banyak masyarakat yang telah pula menanami tanah mereka dengan pohon penghasil minyak nabati ini (kelapa sawit).
Tak terasa memang, bulan ini genap lima tahun sudah aku mendidik dan mengajar siswa di sebuah SMP di Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat. Mencoba mentransfer ilmu dan memberikan bekal bagi mereka cikal bakal penerus bangsa kita. Jauh dari hiruk-pikuk kota tak lantas membuat semangat belajar mereka kalah dengan anak-anak perkotaan.
Bayangkan saja, bagi sebagian anak yang bertempat tinggal jauh dari sekolah, mereka harus berdisiplin tinggi untuk naik bis jemputan jam lima pagi, yang berarti mereka harus bangun dini hari sekitar jam empat untuk siap-siap ke tempat belajarnya. Belum lagi saat kembali pulang. Bel pulang sekolah berdentang pada pukul dua siang. Waktunya mereka harus naik bis lagi yang akan mengantar mereka. Bahkan sebagian dari mereka ada yang baru tiba di rumahnya dua jam kemudian (jam empat sore). Hal tersebut mereka alami tiap hari, dengan tetap ceria, walaupun terkadang binar kelelahan tergambar di wajah-wajah mereka.
Sungguh tak terasa hampir lima tahun sudah aku mengabdi di sini, sebuah sekolah yang dikelilingi kebun sawit. Sebuah sekolah milik perusahaan agribisnis yang bergerak di bidang kelapa sawit. Sebuah sekolah tempat meretas asa bagi anak-anak karyawan dan anak-anak penduduk sekitar perusahaan. Di sini ratusan murid yang pernah aku ajar telah lulus.
Di sini beberapa siswa telah aku dampingi untuk melihat dunia luar melalui beberapa event tingkat nasional. Siswa-siswa tersebut mampu unjuk gigi karena dengan sabar mereka telah melakukan riset kecil-kecilan, belajar meneliti sebagian kecil dari bertumpuk-tumpuk keanekaragaman hayati yang ada di hijaunya perkebunan kelapa sawit. Ada yang bertanding ke Jogja karena penelitiannya terhadap tandan kosong kelapa sawit sebagai media tumbuh jamur konsumsi.
Ada siswa yang turut ambil bagian pada ISPO (Indonesian Science Project Olympiad) 2011 di Jakarta berkat bakteri asam laktat burung kruwo yang telah ditelitinya (burung kruwo:burung endemik Sulawesi yang banyak hidup di perkebunan kelapa sawit). Bahkan ada pula siswa yang mampu membawa pulang medali emas atas kerja kerasnya meneliti kandungan gizi burung kruwo pada LPIR (Lomba Penelitian Ilmiah Remaja) 2012 di Banjarmasin. Seorang siswa juga lolos sebagai finalis ISPO 2013 di Jakarta lantaran telah belajar meneliti mengenai kandungan gizi jamur janjang kelapa sawit.
Beberapa siswa lain pernah aku damping untuk beradu di tingkat nasional pada bidang sanitasi. Mencoba mengajarkan pada anak didikku untuk belajar meneliti lingkungan sekitarnya yang begitu hijau dan menyimpan beragam keanekaraman hayati merupakan green lifestyleku sebagai guru. Berusaha mengajarkan dan mempraktikkan bersama anak didikku tentang sanitasi dan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan sekitar sebagai upaya pembangunan berkelanjutan demi pencegahan dan pengurangan global warming pun aku lakukan. []