Shani Pranantiyo
Revolusi Industri di Inggris adalah titik awal dari kemajuan peradaban bumi. Ada dua hal yang perlu kita cermati dari kejadian ini. Pertama; manusia bukan menjadi fokus utama dalam pengadaan barang-barang industri yang mulai tergantikan oleh keberadaan mesin. Kedua; revolusi Industri adalah buah dari pemikiran dan kecerdasaan dari manusia itu sendiri. Melalui kecerdasan, manusia dapat menciptakan dunia baru, dunia dimana dimensi mesin mulai mendominasi kegiatan – kegiatan operasional industri.
Namun, kekhawatiran itu muncul ketika kecerdasan manusia dalam berfikir mulai menurunkan sifat yang bernama ketamakan. Ketamakan berasal dari kata tamak, yang menurut KBBI online berarti pada selalu ingin beroleh banyak untuk diri sendiri; loba; serakah.
Salah satu ketamakan yang marak di zaman milenium ini adalah ekspansi bisnis para pemangku beberapa industri yang merambah ke ranah lingkungan, terutama hutan. Deforestasi dan degradasi hutan yang berlebihan berpotensi menimbulkan anomali iklim di bumi. Global warming salah satu indikatornya. Global warming adalah pemanasan global yang salah satunya disebabkan oleh aktivitas penyalahgunaan fungsi lahan hutan. Hutan, yang sering dipersonifisasikan sebagai paru – paru bumi, kini sedang kritis seiring dengan aktifitas penebangan liar, kepentingan alih fungsi dan lain sebagainya demi memenuhi hasrat makhluk yang bernama manusia. Mungkin ini mengandung pernyataan sentimentil yang berlebih, namun itulah adanya, riil dan konkret.
Aktivitas industrial dengan menjadikan lingkungan atau hutan sebagai komoditi memang hal yang wajar dalam perspektif ekonomi. Namun apakah pernah terbersit di benak kita, bahwa sumber daya alam itu terbatas? Keterbatasan ini lah yang harus kita cermati, bahwasannya sumber daya itu terbatas dan eksploitasi macam apapun itu harus dikontrol sedemikian rupa sehingga generasi setelah kita masih dapat menikmati keanekaragaman hayati di bumi ini.
Lantas, bagaimana seharusnya manusia menyikapi isu global warming sebagai seorang individu?
Green lifestyle atau gaya hidup yang cenderung ramah lingkungan adalah salah satu solusi sebagai tindakan preventif dalam potensi penguatan global warming di bumi. Green lifestyle mengedepankan pada bagaimana perilaku kita menyikapi masalah global warming yang sudah terlampau kronis ini. Green lifestyle adalah oase, penyegar sekaligus penyejuk dalam kita menghadapi isu – isu mengenai lingkungan terutama global warming. Bayangkan apabila kegiatan ini dijalankan secara masif dan berkesinambungan, lalu coba lihat dan imajinasikan dampaknya.
Persoalannya adalah, bagaimana memulainya?
Jawaban paling rasional dari alinea sebelumnya ialah memulai dari sendiri, dan dengan nurani yang tinggi. Tunjukan pada khalayak, bahwa kita peduli lingkungan melalui tindakan atau perilaku yang relevan dengan gaya hidup ramah lingkungan. Hal itu bukan tanpa sebab, perwujudan dan aksi nyata yang dimulai dari diri sendiri adalah stimulus bagi orang lain agar mau ikut berpartisipasi untuk tetap menjaga bumi asri dan lestari. Lakukan dengan nurani yang tinggi. Nurani dan aksi adalah pilar utama dalam pengejawantahan bumi kita tetap terjaga.
Manusia, yang berakal dan penuh kecerdasan semestinya paham, bagaimana seharusnya mereka merawat bumi. Ketergantungan manusia terhadap bumi sepantasnya dapat membuat mereka berfikir, bahwa bumi dan unsur – unsur lainnya adalah poros utama dalam kehidupan. []