More

    Ruang Terbuka Hijau Sebagai Tempat Rekreasi dan Sosialisasi Masyarakat Kota

    Agus Oloan Naibaho

    Siang itu, raungan sirene melengking menusuk pendengaran warga kota Medan. Nyala lampu merah berputar menyilaukan mata. Pengguna jalan paham bahwa akan ada arakan pejabat yang akan lewat. Pada arakan terdepan, terlihat mobil terbuka membawa sebuah piala yang tampaknya sangat-sangat dibanggakan oleh seluruh pejabat kota Medan. Piala itu bernama Piala Adipura.

    Dua anggota masyarakat yang berdiri di pinggir jalan saling menatap. Mereka tersenyum sinis, “Huh Adipura. Apa bukan Adi pura-pura ?”, rungut mereka. Arak-arakan berlalu. Semua kembali seperti biasanya. Masyarakat yang berjalan di trotoar harus turun ke badan jalan karena terhadang pedagang kaki lima yang terlebih dahulu menempati badan trotoar, dan di lokasi badan jalan karena terhambat oleh papan reklame.

    - Advertisement -

    Di samping badan jalan yang mereka lalui, ada parit tergenang air karena penuh sampah dan gulma. Mereka bergegas berjalan untuk mencari tempat yang teduh, karena hanya sebahagian kecil jalan yang ada pohon pemeduhnya.

    Gambaran itu bukan hanya terjadi pada satu kota saja. Kota-kota yang lain di Indonesia juga ada yang seperti itu. Warga masyarakat yang merasa kotanya belum bersih dan teduh, tetapi pemerintah kota diberi penghargaan akan mencibir dengan penerimaan penghargaan Adipura ini. Sebaliknya kota yang warganya telah turut bekerja membantu pemerintah menjadikan kota yang hijau, teduh, bersih dan perbuatan wargannya akrab dengan lingkungan yang bersih akan protes bila tidak mendapat penghargaan Adipura atau bahkan Adipura Kencana. Tentunya ada juga pemerintah kota yang sangat bernafsu memperoleh Adipura Kencana dengan berbagai cara, walau warganya tidak merasa ada perubahan kinerja pemerintah yang membuat hidup di kota mereka menjadi lebih nyaman dan pantas mendapat penghargaan seperti itu.

    Sejarah Adipura

    Penghargaan Adipura bermula tahun 1986 untuk mendorong agar pelaksana pemerintahan mengelola kota menjadi bersih dan teduh. Karena masalah politis, tahun 1998 program Adipura terpaksa dihentikan. Tahun 2002, program Adipura tahap dua mulai dijalankan kembali hingga saat ini. Penilaian dilakukan berdasarkan kondisi non-fisik berdasarkan penilaian kebijakan dan fisik kota yang bersih dan hijau. Di setiap titik penilaian dinilai cara pengelolaan sampah, bersih dari sampah atau sampah bertabur dan beberapa efektif keberadaan tempah sampah. Keberadaan sampah dalam selokan atau parit juga masuk dalam kategori penilaian. Parit tergenang air karena sampah, sedimen atau gulma akan mendapat nilai rendah. Hujan turun, banjir karena parit tersumbat oleh tumpukan sampah, parit dangkal juga akan mendapat penilaian rendah. Pohon berfungsi dengan baik sebagai peneduh yang menempati lebih dari tujuh puluh lima persen wilayah, penilaian juga akan diberi dengan nilai yang tinggi. Selain peneduh, minimal tumbuhan tanaman penghijauan harus ada. Penilaian juga dilakukan terhadap efektifitas lembaga pengelola kebersihan, anggaran yang dialokasikan, fasilitas yang disediakan termasuk pengelolaan air limbah domestic. Indicator teranyar, bahkan mencakup kinerja lalu lintas, tingkat kemacetan, polusi udara yang ditimbulkan oleh kemacetan lalu lintas, pelayanan terhadap volume sampah masyarakat, ketersediaan air bersih (PAM), IPAL domestic dan juga kualitas air sungai dan udara.

    Penghargaan Adipura dirancang untuk menghargai berbagai tingkat pencapaian kinerja pemerintah pengelola kota. Ada plakat Adipura, Piagam Adipura, Adipura dan pada tingkat paling bergengsi, ada Adipura Kencana. Adipura Kencana diberikan kepada kota yang mampu meningkatkan rasio RTH minimal 20%, memiliki lubang biopori dan sumur resapan serta memiliki instalasi pengolahan limbat domestic. Pemerintah pengelola kota juga harus meningkatkan penggunaan energy terbarukan serta mendapat dukungan pihak swasta.

    Tujuan Utama Bukan Adipura

    Pengelola kota sebenarnya tidak pantas berpuas diri bila mendapat penghargaan Piala Adipura. Mendapatkan penghargaan Adipura justru baru merupakan pelunasan kewajiban dasar pengelola kota untuk ditunaikan kepada warganya. Peraturan menyatakan bahwa setiap warga masyarakat berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bersih dan teduh hanyalah sebahagian dari indicator lingkungan yang baik dan sehat. Adipura harus dimaknai sebagai kemampuan pencapaian minimal pengelola kota dalam mengelola wilayah kepemerintahannya, bukan sebagai prestasi maksimal yang pantas dibanggakan. Walikota yang tidak mampu menjadikan kotanya bersih dan hijau adalah walikota yang gagal untuk memenuhi hak azasi warganya. Pejabat pengelola kota harus tahu bahwa seandainya seluruh titik pantau dalam sebuah kota dapat dijadikan bersih dan hijau memenuhi standar baik dalam penilaian Adipura, kota tersebut belum bisa disebut kota layak huni. Masih ada criteria lain yang harus dipenuhi untuk disebut sebagai layak huni kota, yaitu: (1) memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti bangunan layak huni dan layak pakai, tersedia air bersih (PAM), listrik, dll. (2) memiliki fasilitas public seperti taman, trotoar yang manusiawi, rumah ibadah, tempat parkir yang memadai dan layak, dll. (3) tersedia fasilitas pendukung sector ekonomi, social, politik, dan budaya. (4) tersedia ruang dan tempat berinteraksi dan berkembang warga masyarakat, dan (5) memenuhi syarat kenyamanan, keamanan, keindahan fisik, serta kemajuan pembangunan dan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan.

    Indikator Kota Adipura

    Tentunya syarat kota layak huni yang sudah diakui secara global jauh di atas standar bersih dan hijaunya Adipura. Keberadaan fasilitas public seperti taman sebagai lahan terbuka ada yang seakan beban pandang dan perasaan bagi pejabat, karena menurut mereka lahan tersebut lebih bernilai bila menjadi ruko atau mall. Bahkan ada Dewan Kota bersama dengan pihak legislative serta beberapa tokoh masyarakatnya berusaha mengalihfungsikan lahan hutan kota menjadi bangunan sebagai ikon kota. Fasilitas pertemuan warga yang merupakan unsur penting bagi kestabilan social belum mampu disediakan, apalagi untuk memaksimalkan fungsinya. Padahal ruang pertemuan warga mendukung proses interaksi yang memperkuat kebersamaan dan keharmonisan warga kota. Bila pengelola ingin kotanya dinyatakan sebagai layak huni, mereka harus berusaha agar kota tersebut stabil secara social, menyiapkan fasilitas layanan kesehatan yang baik, membangun fasilitas dan pengembangan seni budaya, memenuhi syarat lingkungan yang baik, fasilitas pendidikan yang cukup, serta infrastruktur pendukung yang memenuhi kebutuhan warga.

    Sebagai contoh, kota Melbourne di Australia yang dinyatakan layak huni teratas dari 140 kota-kota di dunia mampu menghidupkan dan menunjukkan keragaman budayanya, memiliki kelompok seni budaya dan menghidupkan kegiatan serta pertunjukan kesenian, menjadikan kota sebagai pusat wine dan kuliner kelas dunia, sekaligus menjadi pusat perbelanjaan dan hiburan terbaik. Walaupun penduduk muslim minoritas, namun di Melbourne terdapat restoran, kafe dan took-toko ritel yang melayani atau menjual makanan halal. Melbourne menyediakan diri sebagai tuan rumah untuk kegiatan yang menunjukkan bahwa kota mereka memiliki peradaban yang tinggi, yaitu acara kebudayaan dan olahraga paling bergengsi di dunia. Hidupnya kegiatan seni budaya itu penting bagi sebuah kota. Tanpa seni dan budaya, kita hanya sedikit diatas binatang.

    Bila melihat kondisi kita saat ini, tentunya kita akan sangat bingung, dari mana kita harus memulai. Kita sudah terlanjur lama dan hidup menghuni kota yang menurut orang lain adalah kota yang tidak layak huni. Tentunya ketidak layakan ini akan mempengaruhi kejiwaan warga kota. Kita hampir kehilangan nilai-nilai Kemanusiaan, Kekeluargaan, Gotong-royong, Saling Menghargai, dan nilai-nilai luhur yang ditinggalkan oleh para pendahulu kita yang tercantum dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

    Kekumuhan, sampah, banjir dan paparan debu menjadi keseharian yang tidak lagi kita anggap gangguan. Kasus criminal dan gangguan keamanan yang muncul di media massa hanya kita anggap sebagai infotainment yang biasa saja. Tentu saja hal ini tidak boleh terus berlangsung. Kita mulai saja dari kota yang dianggap nyaman dihuni berdasarkan persepsi masyarakat Indonesia.

    Berdasarkan hasil survey Ikatan Ahli Perencana, kriteria kota yang nyaman itu dinilai dari kualitas penataan ruang, jumlah ruang terbuka, kualitas angkutan umum, perlindungan bangunan sejarah, kebersihan, pencemaran, kondisi jalan, fasilitas bagi pejalan kaki, kaum lansia, orang hamil dan cacat, fasilitas kesehatan yang terjangkau dan mudah dijangkau, pendidikan yang baik, air bersih, listrik, jaringan telekomunikasi, pelayanan publik, hubungan antar penduduk, dan fasilitas rekreasi.

    Pertumbuhan penduduk tidak dilakukan dengan mempersempit ruang terbuka hijau dan pertumbuhan ekonomi, tidak merampas ruang publik, apalagi sampai menghancurkan situs-situs bersejarah. Kota ditata lebih baik, teratur, nyaman dan aman. Kota harus nyaman bagi lansia, ibu hamil, penderita cacat untuk anak-anak. Trotoar dan ruang di jalan umum maupun fasilitas publik seperti mall dan rumah ibadah harus tersedia dan dapat dimanfaatkan semua orang, termasuk kaum kurang upaya.

    Salah satu kelemahan kota Metropolitan di Sumatera adalah ruang bermain anak hanya tersedia di mall. Kita semua tahu bahwa mall jadi pemicu syahwat konsumerisme. Ruang terbuka hijau adalah salah satu upaya untuk memupus syahwat konsumerisme. Di dalam ruangan mall, kontak manusia lebih terlihat dari perpindahan materi. Sementara dalam ruang terbuka hijau selain menerima pasokan oksigen yang sangat cukup dari alam, juga memberdayakan fungsi sosial, fungsi lingkungan dan fungsi keindahan.

    Taman kota dalam Adipura dinilai baik bila areal resapan baik, jenis dan kerapatan tumbuhan tinggi, dapat diakses masyarakat serta difasilitasi dengan kamar mandi yang baik, terawat dan bersih. Proses interaksi manusia akan berlangsung secara alami dan lebih manusiawi bila dekat dengan alam, khususnya bagi kita yang masih bisa menikmati suasana alami dengan murah. Hal itulah yang ingin dicapai program Adipura dengan kewajiban pemerintah daerah kabupaten/kota mengelola taman dan mencukupi luasan ruang terbuka hijau.

    Kebijakan Kota Dalam Negeri vs Kebijakan Kota di Luar Negeri

    Bila di belahan bumi lain masyarakatnya bekerjasama dengan pemerintah daerahnya berlomba-lomba menciptakan kota yang layak huni, kita terpaksa berhadapan dengan kenyataan bahwa warga kota menganggap kotanya tidak nyaman untuk ditempati. Dari 12 kota di Indonesia, Medan merupakan kota yang paling rendah nilai kenyamanannya.

    Tentu saja hal ini harus jadi pertimbangan bagi pengelola kota dan juga kota lainnya. Pemerintah pusat harus dapat memperhatikan kelemahan pemerintah kabupaten/kota. Perlu pengawasan lebih ketat.

    Menciptakan kota yang nyaman atau layak huni tidak cukup hanya dengan menurunkan petunjuk. Ada berbagai penyebab lemahnya visi dan pemahaman pemerintah kabupaten/kota terhadap hak warga atas kota yang nyaman dan layak huni. Kelemahan ini harus di sikapi bersama dan dijadikan pertimbangan dalam memperbaikinya. Organisasi masyarakat, partai politik, pemuka dan tokoh agama, cendikiawan, pemuda, pengusaha, dan terutama DPRD harus memberikan perhatian terhadap perkembangan dan arah pertumbuhan kota.

    Walaupun kita belum mampu menjadikan kota kita memenuhi persyaratan kota layak huni secara global, minimal secara bersama kita harus menjadikan seluruh kota menjadi kota nyaman untuk ditempati. Paling minimal kita jujur dalam memenuhi criteria baik untuk mendapatkan Adipura, yaitu: hijau dan bersih dan air dalam saluran drainasenya mengalir dengan lancar.

     

    Catatan :

    Luas Kota Medan adalah 26.510 Ha. (dua puluh enam ribu lima ratus sepuluh)

    Luas Tanah Pertamanan adalah 53,49 Ha (Lima puluh tiga koma empat puluh Sembilan atau termasuk lapangan olah raga dan jalan besar. Tahun 2012 taman yang berada di bundaran segi tiga sebagian besar sudah dihilangkan dengan alasan untuk memperlancar arus lalu lintas)

    Pemerintah Kota Medan menganggap pohon penghijauan sama dengan pohon pelindung. Berdasarkan jenis pohon yang dilaporkan, maka yang dikategorikan pohon pelindung hanya 60% dari jumlah pohon yang ada.

    Bila dihitung dengan jumlah penduduk kota Medan adalah 2.117.224 jiwa, maka jumlah pohon per penduduk adalah 0,15. Sebahagian besar dari pohon yang dilaporkan adalah tanaman muda yang fungsi lindungnya masih rendah.

    Dari http://m.koran-sindo.com/node/337998 Dinas Pertamanan mengklaim bahwa keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Medan terus bertambah, dan saat ini sudah mencapai 15% dari total luas wilayah (3.976,5 Ha). Seandainya benar, maka kita pantas member penghargaan sebagai hasil kerja yang amat sangat maha luar biasa karena berhasil menambah luas RTH 3.923 Ha (7341%) itu hanya dalam jangka waktu satu tahun.

    Sumber : Dinas Pertamanan Kota Medan (Landscape Service of Medan City), jayaarjuna2003@yahoo.com

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here