Ahmad Fauzan Sazli
Perasaaan bingung tengah menjangkiti Patrisius Berek, mahasiswa jurusan Pemerintahan, Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Sanksi skorsing yang dijatuhkan oleh pihak kampus, membuat orang tuanya kecewa dan tak lagi mengirimkan uang bulanan.
Sanksi skorsing itu itu keluarkan pihak rektorat pada 03 Febuari 2014 lalu, melalui SK Rektor Nomor : 03/SK-REK/SM/II/2014. Patrisius diskorsing selama lima semester atau dua setengah tahun.
Putusan itu ia dapat setelah Patrisius bersama teman-temannya menggelar demonstrasi memprotes kebijakan kampus. Aksi demonstrasi tersebut digelar di depan kampus, di jalan Sunter Permai Raya, Jakarta Timur. Dalam aksi itu mereka membawa poster dan membakar ban di depan kampus. Tanpa anarki.
Dalam aksi itu mereka menyuarakan penolakan atas denda yang diberikan kampus kepada mahasiswa. Mereka meminta denda 25 ribu perhari apabila telah membayar uang kuliah dihapuskan. Tak hanya itu, mereka juga menolak pungutan atas ujian susulan sebesar 200 ribu rupiah.
“Saya pernah di denda sekitar 800 ribu rupiah pada bulan November 2013 lalu. Saat itu saya pulang kampung selama sekitar satu bulan,” kata Patrisius.
Patrisius merupakan mahasiswa asal Kobalima Timur, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Kampungnya itu, terletak di pantai selatan Pulau Timor yang berbatasan langsung dengan Distrik Covalima, Timor Leste.
Menurut Patrisius, kampungnya merupakan daerah terpencil di NTT. Kampungnya itu tak memiliki mesin ATM. Untuk bisa melihat ATM penduduk kampung tersebut harus ke kota Antambua. Dan setiap hari hanya ada satu bis yang ke sana.
“Saya telat membayar kuliah ketika itu karena orang tua saya sedang tidak punya uang. Jadi perlu waktu untuk mengumpulkan uang,” katanya.
Selain itu menurutnya karena orang tuanya petani, jadi memiliki kemungkinan besar untuk terlambat.
Namun bagi Patrisus, aksi yang mereka lakukan bukan hanya persoalan tentang dirinya. Namun juga persoalan nasib banyak mahasiswa. Ada kebebasan berekspresi di kampus yang diberangus. Ada empat temannya diberhentikan dari kampus. Dan semua organisasi kemahasiswaan dihapus.
Kemudian setelah mereka protes, justru mereka juga kena skorsing dan DO. Kini terdapat enam mahasiswa telah diberhentikan dan enam mahasiswa lainnya diskorsing termasuk dirinya. Sementara dirinya kini rajin berhutang karena uang bulanannya tak lagi dikirim dari kampung.
Partisius sendiri masuk kampus UTA 45 di jurusan Pemerintahan pada tahun 2010. Pilihannya kepada Universitas 17 Agustus 1945 karena nama UTA 45 melambangkan nasionalisme. Apalagi jurusan Pemerintahan yang diinginkannya juga ada di sana.
Partrisius juga merasa bangga dengan almamaternya itu. Kadang saat pulang kampung ia membagi-bagikan brosur Universitas 17 Agustus 1945 kepada orang di kampungnya agar kuliah di tempat ia menimba ilmu sekarang.
Namun tak disangka, kampus yang dibangga-banggakannya tersebut, ternyata menerapkan denda seperti itu. Mahasiswa di dalamnya juga dibuat menjadi mahasiswa “kupu-kupu” alias kuliah pulang-kuliah pulang.
Kini yang dapat mereka lakukan adalah berjuang agar dapat kembali ke bangku kuliah. Selain itu mereka juga ingin kampus mereka kembali seperti semula, memberikan kebebebasan berekspresi dan kesempatan mengembangkan diri melalui organisasi.
Sejumlah upaya yang telah dilakukan Patrisius dan teman-temannya yaki, mendatangi Komnas HAM, menggugat secara hukum melalui LBH Jakarta. Dan rencananya mereka akan mendatangi Kemdikbud serta menggalang solidaritas mahasiswa se-Jabodetabek.
Bagi Patrisius, sebagai putra daerah ia bertanggung jawab menyelesaikan pendidikannya di Jakarta. Ia ingin setelah lulus nanti dapat pulang kampung dan membangun daerah.
“Saya harus lulus kuliah,” katanya.[]